Dari Power ke Naked Power: Problem Legitimasi Di Indonesia

Stats: 50 Views | Words: 745

4 minutes Read








Penulis: Aryo Wasisto

Editor: Murteza Asyathri

Seorang pengemudi ojek online melintas di depan gedung DPR pada 28 Agustus tepat ketika sebuah kendaraan polisi melaju kencang dan menabraknya hingga tewas. Video kejadian itu viral, yang kemudian memotivasi aksi demonstrasi susulan, yang semula damai berubah menjadi kerusuhan nasional. Massa penjarah bahkan menyerang rumah lima pejabat, termasuk milik menteri keuangan.

Awalnya protes hanya menyoroti tunjangan perumahan mewah yang baru saja diputuskan oleh anggota parlemen yang nilainya hampir sepuluh kali lipat dari upah minimum di Jakarta. Akan tetapi, kemarahan rakyat meluas: dari sikap represif aparat hingga mempertanyakan kerumitan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, mantan jenderal yang terpilih tahun lalu.

Dalam kerangka teoritis, protes massal yang meledak di Indonesia dapat dibaca melalui perspektif Hannah Arendt sebagai tanda erosi legitimasi politik yakni negara yang kehilangan basis persetujuan rakyat cenderung menggantikan power dengan violence. Demonstrasi  adalah aktivitas akhir dari komunikasi politik warga dengan perwakilan ketika suara mereka tidak didengar. Bisa dikatakan, demonstrasi adalah akumulasi dari ketidakpuasan yang menumpuk, sedangkan aparat yang melindungi gedung parlemen berupaya untuk menghadang kemarahan publik.

Jika dianalisis dengan filsafat politiknya Bernard Williams, represi aparat kepolisian dapat melahirkan “naked power” yang gagal memenuhi basic legitimation demand yang artinya alasan rasional yang dapat diterima rakyat soal mengapa otoritas negara patut ditaati oleh warga. Solusi yang ditawarkan Williams mengoreksi diagnosis Arendt: krisis legitimasi yang terejawantah dalam protes rakyat tidak dapat diselesaikan melalui kooptasi maupun kekerasan, melainkan melalui pemulihan legitimasi politik. Misalnya dengan membuka ruang oposisi yang sehat, menyusun kebijakan publik yang adil dan transparan, dan juga menyediakan dasar moral-institusional yang memungkinkan rakyat menerima kekuasaan tanpa paksaan.

Dalam video-video yang tersebar di Youtube, diketahui Presiden Prabowo tampak seperti pemimpin tak suka berhadapan dengan oposisi. Presiden Prabowo beralasan, hal ini sesuai dengan budaya Indonesia. Menurutnya, orang Jawa sopan dan tidak menyukai perdebatan terbuka. Ia bahkan mendorong agar mega-koalisi ini menjadi permanen. Akan tetapi,  hal itu justru membuka peluang korupsi. Semua ini untuk menjaga harmoni untuk mendorong terciptanya stabilitas pembangunan. Akan tetapi, panpa oposisi di parlemen, rakyat kehilangan saluran formal untuk menyuarakan kekecewaan. Maka satu-satunya cara yang tersisa adalah turun ke jalan. Ini membuat tekanan terhadap Presiden Prabowo untuk memperbaiki tata kelola.

Bagi Arendt, power lahir dari kesepakatan kolektif, partisipasi warga, dan keberadaan ruang publik tempat perbedaan dapat diartikulasikan secara terbuka. Dengan menghapus oposisi formal melalui mega-koalisi, Presiden Prabowo justru menutup kanal deliberasi politik yang sah sehingga rakyat kehilangan mekanisme untuk menyalurkan ketidakpuasan. Dalam kondisi seperti ini, satu-satunya ruang yang tersisa adalah “jalanan”.  Tersumbatnya komunikasi politik dua arah memberi beban legitimasi warga terhadap negara yang jika terus dipertahankan akan menimbulkan kerusuhan menjadi ekspresi politik rakyat. Arendt menegaskan bahwa ketika kekuasaan tidak lagi didukung oleh persetujuan dan hanya bertumpu pada kooptasi serta patronase, rezim tersebut tidak sedang memperkuat power, melainkan mengikisnya. Akibatnya, negara cenderung makin bergantung pada violence dalam rangka menjaga stabilitas, padahal bagi Arendt hal itu merupakan tanda krisis legitimasi politik yang mendalam, bukan solusi.

Dalam membaca kasus Prabowo dan mega-koalisinya, dari kaca mata Bernard Williams, kemungkinan akan menganalisis bahwa persoalan utama bukan sekadar pada hadirnya kekerasan aparat atau bagi-bagi patronase politik, melainkan pada kegagalan pemerintah memenuhi basic legitimation demand. Dalam kasus Indonesia, ini berarti “tuntutan mendasar bahwa setiap rezim harus mampu memberikan alasan yang dapat diterima rakyat mengenai mengapa otoritasnya sah tanpa mengandalkan paksaan”. Tentu ini akan mengantar kita kembali pada proses sejarah yang panjang, misalnya persaingannya dengan Jokowi hingga bergabungnya Gibran yang hadir menjadi wakil melalui putusan MK yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan etika politik. Posisi Prabowo hari ini tidak terlepas dari hubungan tersebut yang dianggap kian menegang. Pada sisi parlemen, Williams mungkin mempertanyakan peran partai politik, kaderisasi, dan pendanaan partai politik yang juga menimbulkan tanda tanya besar.

Masalahnya, partai politik di Indonesia berangkat dalam sikap keuntungan di depan mata, dan jarang memperlihatkan kedalaman ideologis. Oleh karena itu, dalam kerangka Williams, langkah tersebut hanyalah bentuk “naked power”, yaitu kekuasaan telanjang yang disamarkan dengan justifikasi budaya atau retorika harmoni. Lebih jauh, Williams akan menyebut klaim bahwa “orang Jawa sopan dan tidak suka oposisi” sebagai ilusi moral narasi yang tampak normatif tetapi sebenarnya alat untuk menutupi kooptasi politik.

Dengan demikian, solusi bagi legitimasi yang merosot ini, bukanlah memperluas koalisi atau meningkatkan represi, melainkan membangun legitimasi yang nyata: membuka ruang oposisi sebagai mekanisme korektif, menata kebijakan publik yang rasional dan adil, serta menyediakan justifikasi politik yang dapat diterima rakyat sebagai alasan sah untuk mematuhi otoritas negara.

Referensi:
Arendt, H. (1970). On violence. New York: Harcourt, Brace & World.

Williams, B. (2005). In the beginning was the deed: Realism and moralism in political argument (G. Hawthorn, Ed.). Princeton, NJ: Princeton University Press.





Citation format :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *