Sebagai bagian dari bangsa yang majemuk, kita seyogyanya mengutuk aksi terorisme yang dilakukan oleh siapapun. Terlebih lagi, apabila tindakan tidak manusiawi tersebut dianggap sebagai jihad fi sabilillah. Jika ditelaah, ada sejumlah faktor yang memicu aksi terorisme [pengejawantahan intoleransi ekstrem], tetapi akar persoalan dari tindakan tersebut adalah “penafsiran keliru terhadap teks agama”.

Di kalangan para pemikir Islam, terdapat sejumlah teori dalam menafsirkan teks dengan beragam pendekatan, salah satunya  adalah “Hermeneutika Inklusif” yang diusung oleh Nasr Hamid Abu Zaid; ini dapat membantu kita dalam menyoroti penafsiran mengenai jihad.

Nasr Hamid Abu Zaid berpandangan bahwa Al-Qur’an adalah hasil proses metamorfosis dari teks oral menjadi teks tertulis. Proses ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an merupakan teks bahasa [sebagai medium] sebagai bagian dari sejarah. Al-Qur’an tidaklah lahir dalam ruang hampa, tapi lahir dalam konteks ruang-waktu. Dalam hal ini, realitas mengatur gerak manusia sebagai sasaran teks, serta mengatur penerima pertama teks, yaitu Rasululah Saw.

Berlandaskan pada hal tersebut, Nasr mengawali kajian teks Al-Qur’an. Beliau menempatkan teks Al-Qur’an sebagai produk budaya (muntaj al-tsaqafat), sekaligus memproduksi budaya (muntij li al-tsaqafat).

Hal ini menurutnya terjadi dalam dua fase:

  1. fase keterbentukan (marhalah al-tasyakkul) dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun, yaitu ketika Al-Qur’an membentuk dan mengkonstruksikan diri secara struktural dalam sistem budaya yang melatarinya.
  2. fase pembentukan budaya “baru” (marhalah al-tasykil), ketikateks Al-Qur’an membentuk dan mengkonstruksikan ulang sistem budayanya.

Nasr Hamid menegaskan bahwa keimanan terhadap sumber Ilahi teks Al-Qur’an tidak bertentangan dengan upaya menganalisisnya melalui pendekatan kultural dimana teks tersebut muncul. Dalam artian, teks tidak dapat ditafsirkan secara harfiah atau literal saja. Namun, harus memperhatikan aspek sosio-kultural yang melatarinya. Perspektif Nasr ini berdasarkan pada konsep ke-azalian Al-Qur’an dalam Lauh al-Mahfudz; sebagaimana perdebatan antara kelompok Asy’ariyah dan Mu’tazilah.

Nasr Hamid masih meyakini adanya makna objektif di balik suatu teks yang ditemukan setelah proses objektifikasi melalui piranti hermeneutika. Dia mengusulkan agar hermeneutika berpijak pada pemilahan yang tegas antara makna kesejarahan suatu teks dan pengertian atau interpretasi baru yang ditarik dari makna kesejarahan-obyektif tersebut. Menurutnya, makna historis itulah yang pertama-tama harus diungkap seorang penafsir, dengan pembacaan pada struktur internal dan dimensi historis teks tersebut. Setelah itu, dilakukan penafsiran yang diharapkan dapat menjawab problem-problem kehidupan dalam konteks kekinian.

Adapun tujuan Hermeneutika Inklusif Nasr Hamid adalah sebagai berikut:

  1. Untuk menemukan makna asal, dari sebuah teks, dengan menempatkannya dari sebuah konteks sosio-historisnya.
  2. Untuk mengklasifikasi kerangka sosio-kultural kontemporer dan tujuan-tujuan praktis yang mendorong dan mengarahkan penafsiran.

Terkait dengan Hermeneutika, Nasr Hamid menelurkan teori tentang tingkatan- tingkatan konteks, yaitu terdiri dari tiga teori:

  1. Teori Konteks Sosio Kultural
    Menurut Nasr Hamid, konteks kultural pada teks-teks kebahasaan adalah setiap parkara yang melalui otoritas epistimologis memungkinkan terjadinya interaksi yang bersifat kebahasaan. Ketika proses interaksi berlangsung antara penutur dan penerima, maka tidaklah cukup hanya mengetahui kaidah-kaidah bahasa; melainkan harus ada kerangka berpikir. Adapun rujukan epistimologis yang dimaksud di sini adalah kebudayan dengan segala aspeknya termasuk kebiasaan dan tradisi- tradisinya, yang tercermin dalam bahasa dan aturan–aturannya.
  2. Teori Konteks Narasi
    Teori ini berupaya menyingkap makna yang tersembunyi dalam suatu wacana. Selain itu, makna yang tersembunyi tersebut tidak berdasarkan pada gramatika wacana, tetapi diartikan oleh Nasr Hamid dalam level yang lebih luas untuk menyingkap konteks yang berkaitan dengan beberapa faktor-faktor eksternal bersamaan dengan makna konteks narasi.
  3. Teori Konteks Pembacaan
    Menurut Nasr Hamid, teori ini merupakan bagian dari keseluruhan sistem konteks, serta bagian dari stuktur teks, tetapi pembacaan itu sendiri terbentuk sebagai stuktur tersendiri dari tingkatan pembacaan. Nasr Hamid membaginya pada dua hal, yaitu kondisi pembaca itu sendiri dan beragamnya pembacaan. Dalam hal ini, interpretasi sangat tergantung dengan temporalitas sang pembaca atau penafsir. Adapun problem lain yang terdapat dalam konteks pembacaan ini adalah sang pembaca harus melakukan trasformasi wacana dari suatu fase peradaban tertentu kepada peradaban lain, serta melakukan suatu transformasi makna dari bahasa yang asli kepada bahasa lain.

Berdasarkan teori hermeutika inklusif Nasr Hamid, kita akan melihat adanya keterkaitan antara realitas, budaya, dan bahasa. Sekalipun Al-Qur’an bersumber dari Tuhan, tetapi hakikatnya Al-Qur’an termanusiawikan karena terikat oleh dimensi ruang dan waktu. Meskipun dalam posisi ini, kita bisa memperdebatkan apakah al-Qur’an kitab yang sakral ataukah produk budaya sebagaimana yang diyakini Nasr.

Dalam konteks aksi terorisme, yang membunuh diri sendiri dan mengancam jiwa orang lain, apakah bisa dikategorikan sebagai jihad dengan pendekatan Hermeneutika Nasr Hamid?

Penulis: Wa Ode Zainab Zilullah Toresano





This article is under the © copyright of the original Author: Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
(Zona-Nalar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

9 − three =