Penulis: Luthfi Baihaqi Riziq
Editor: Wa Ode Zainab Zilullah
Metafilsafat secara literal bermakna ‘melampaui filsafat’; bermakna filsafat dari filsafat. “Apa itu filsafat?”, “Dari mana awal mula filsafat?”, “Untuk apa filsafat?”, “Bagaimana seharusnya filsafat dilakukan?”. Pertanyaan tersebut merupakan diskursus dalam “metafilsafat”.
Para filsuf kerap mengajukan pertanyaan mendasar tentang tujuan, metode, atau nilai dari filsafat mereka sendiri, bahkan sampai menghasilkan sejumlah karya terkait dengan hal tersebut; ini juga merupakan “metafilsafat”. Dalam filsafat terdapat kajian tematis, yaitu Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi. Hal yang sama berlaku ketika filsafat digunakan untuk mengkaji filsafat itu sendiri [metafilsafat].
Sebenarnya, dari mana awal mula filsafat? Apakah Yunani Kuno, Cina Dinasti Zhou, India Era Weda, Iran masa Zoroastrianisme, atau bahkan jauh sebelum itu? Terlepas dari pertanyaan tersebut, menurut para filsuf, filsafat dimulai ketika kita bertanya-tanya mengenai hal yang sebelumnya kita terima begitu saja (taken for granted). Rasa keingintahuan mendorong manusia untuk melakukan eksplorasi. Manusia pun berpikir. Pertanyaan selanjutnya yang bisa ditelaah, “Apa makna berpikir?”
Pertanyaan penting lainnya dalam metafilsafat, “Sebenarnya filsafat itu apa, sih?”, “Tepatnya, apa hakikat problem filosofis?”, “Tetapi, memangnya pertanyaan itu perlu dipertanyakan?”, “Apakah ada alasan untuk mengetahui ‘apa itu filsafat?'” Pertanyaan metafilosofis terkadang dianggap memiliki bobot yang lebih ringan daripada pertanyaan filosofis akibat ketiadaan hubungannya dengan kehidupan manusia. (Overgaard, dkk., 2013).
Segala pemikiran filsafat pasti memiliki suatu metafilsafat di baliknya. Metafilsafat menjadi penting sebab sebuah metafilsafat akan mengubah suatu pemikiran filosofis secara keseluruhan. Mempertanyakan sebuah metode yang digunakan dalam filsafat akan menggoncang seluruh hasil dari metode tersebut. Nah, mempertanyakan sebuah metode filsafat adalah sebuah usaha metafilosofis. Dalam konteks ini, untuk menilai ketepatan sebuah metode, kita harus mengetahui hal yang diusahakan oleh filsafat.
Oleh karena itu, untuk menjawab “Apa itu Filsafat?” setidaknya ada dua pendekatan, yaitu deskriptif dan preskriptif. Deskriptif: “Sejauh ini, apa saja yang merupakan problem filosofis?”; sedangkan preskriptif: “Seharusnya, apa saja yang merupakan problem filosofis?”.
Secara deskriptif
Para filsuf sepanjang sejarah menggunakan banyak sekali metode untuk merumuskan pemikiran filosofis mereka, misalnya: Dialog Sokratik, Fenomenologi, dan Analisis Konseptual. Adapun metode-metode filsafat dalam An Introduction to Philosophical Methods: Common sense (akal sehat), Analysis (analisis), Thought experiment (eksperimen pikiran), Simplicity (kesederhanaan), dan Science (sains).
Dalam konteks ini, mempertanyakan metode filosofis adalah mempertanyakan “apa yang harus mendisiplinkan usaha kefilsafatan?” Data suatu rumusan kefilsafatan dapat berupa: kepercayaan akal sehat, fakta saintifik terkini, hikmah dari kehidupan sehari-hari, opini yang membentuk worldview kontemporer, tradisi (termasuk agama), dll. (Rescher, 2001)
Namun, secara preskriptif, dari metode dan data tersebut, “Adakah metode yang benar dan tidak benar?”, “Adakah metode yang tepat dan tidak tepat?”, “Jika ada, yang mana?”, “Apakah semua jenis data filsafat memiliki bobot yang sama?”
Selanjutnya, pertanyaan “Kenapa kita berfilsafat?”; tidak dimaksud sebagai pertanyaan psikologis atau sosiologis semacam “dorongan apa yang membuat kita berfilsafat?”. “Kenapa kita berfilsafat?” dimaksudkan sebagai pertanyaan aksiologis. Dengan kata lain, “Apa yang membuat usaha filsafat bernilai untuk dilakukan?” Jawaban dari pertanyaan ini akan banyak bergantung pada hakikat filsafat.
Sebagai contoh, jika Anda melihat hakikat filsafat sebagai bagian dari sains, maka nilai pengetahuan filosofis terletak pada nilai intrinsik bagi pemiliknya dan nilai kegunaan bagi orang lain.
Menyoal hal ini, kita coba komparasikan antara pandangan Russell dan Marx. Nilai filsafat berbeda pada kedua filsuf tersebut. Pada Russell, filsafat ada untuk memahami dunia, sedangkan Marx, tidak cukup jika tidak tidak mengubah dunia. Nilai filsafat menurut keduanya juga akan berbeda tergantung kategori subyek pembelajarnya. Pada Russell, filsafat bernilai bagi pembelajar filsafat. Pada Marx, filsafat bernilai bagi pembelajar filsafat dan melampauinya.
Referensi:
Chris Daly, An Introduction to Philosophical Methods, Broadview Press, 2010
Peter S. Fosl dan Julian Baggini, The Philosopher’s Toolkit: A Compendium of Philosophical Concepts and Methods, Wiley-Blackwell, 2010
Fahruddin Faiz, Sebelum Filsafat, MJS Press, 2018
Gilles Deleuze dan Fellix Guattari, What is Philosophy?, Columbia University Press, 1994
Soren Overgaard, Paul Gilbert, dan Stephen Burwood, An Introduction to Metaphilosophy, Cambridge University Press, 2013
This article is under the © copyright of the original Author:
(Zona-Nalar)
Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.