Di artikel sebelumnya, kita telah membahas filsafat dari segi metafisika dan epistemologi. Merujuk pada tulisan tersebut, metafisika membahas apa yang “ada” atau hakikat realitas, sedangkan epistemologi membahas bagaimana kita bisa mengetahui hal tersebut. Kini, kita akan masuk dalam bidang filsafat nilai. Adapun urgensi dari pembahasan nilai adalah menentukan baik dan buruk dari yang “ada” tadi, serta menentukan benar dan salah dari yang kita “ketahui” tadi, juga menentukan indah atau tidak indah dari yang “ada” tadi. Mari Zoners renungkan perlahan-lahan, pembahasan di artikel sebelumnya dan di artikel ini. Lalu, kita akan melihat apa yang sebenarnya ingin dicapai dalam filsafat.

Pembahasan kita pada artikel bagian 1 sampai pada Immanuel Kant, seorang filsuf epistemologi Jerman yang meyakini bahwa pengetahuan kita mengenai dunia dipengaruhi oleh kategori-kategori apriori di dalam pikiran kita. Misalnya, pengetahuan kita mengenai benda kursi bukanlah kursi pada dirinya sendiri. Kursi tergambarkan dalam pikiran kita melalui berbagai kategori pikiran, diantaranya: kualitas kursi di dalam pikiran, kuantitas kursi di dalam pikiran, modalitas kursi di dalam pikiran, dan seterusnya. Kant meyakini dikotomi penting dalam epistemologi, yaitu pembedaan pengetahuan benda pada dirinya sendiri, atau Das Ding An Sich yang mana kita tidak memiliki pengetahuan mengenainya dan Das Ding Vur Micht atau benda sesuai tergambar dalam pikiran kita.

Filsuf setelah Kant melanjutkan kajian mengenai Das Ding Vur Micht. Mereka mencoba mengkaji bagaimana pengetahuan dapat terepresentasi dalam pikiran kita. Dan hal ini memicu kajian filsafat berikutnya dalam ranah bahasa. Mengapa harus bahasa? Karena pengetahuan kita mengenai dunia terepresentasi di dalam bahasa. Dengan bahasalah kita dapat mendaku dunia. Kebahasaan kita mula-mula dibentuk dari susunan proposisi demi proposisi. Apa itu proposisi? Proposisi adalah satuan terkecil di dalam bahasa yang berisikan justifikasi kita mengenai realitas. Apabila terdapat realitas kursi, maka proposisinya akan berbunyi “ini adalah sebuah kursi”, “itu adalah kursi dan seterusnya.

Untuk menilai kebenaran dari proposisi dan kombinasi berbagai proposisi, kita harus menggunakan satu pendekatan yang dinamai logika.

Logika

Sebelumnya perlu digaris bawahi bahwa logika tidak dimasukkan dalam kategori cabang filsafat nilai menurut konvensi umum, namun logika diakui sebagai alat untuk memeriksa “nilai” benar tidaknya pengetahuan kita. Filsafat logika berisi metode-metode dan prinsip-prinsip yang membedakan penalaran benar dan penalaran tidak benar (arti penalaran adalah proses pengolahan pengetahuan di dalam pikiran). Terdapat 2 prinsip utama dalam menilai sebuah pengetahuan dikatakan benar atau tidak, pertama adalah prinsip kebenaran dan kedua adalah prinsip validitas.

  • Prinsip Kebenaran

Nilai kebenaran dari sebuah proposisi, harus berdasarkan pada keadaannya di dunia nyata, prinsip ini juga disebut sebagai prinsip korespondensi. Ketika sebuah proposisi berbunyi “Ibukota negara Indonesia adalah Bandung”, proposisi ini akan bernilai salah. Proposisi yang benar seharusnya berbunyi “Ibukota negara Indonesia adalah Jakarta”.

  • Prinsip Validitas

Kemudian, penalaran kita akan sampai pada proses mengkombinasi proposisi demi proposisi. Seperti dalam rangkaian proposisi ini.

Proposisi pertama

“Semua manusia pasti mati”

Proposisi kedua 

“Socrates adalah manusia”

Kesimpulan

“Socrates pasti mati”

Terdapat keterkaitan antara proposisi pertama dan kedua karena proposisi pertama merupakan proposisi yang berisi kebenaran umum dengan nilai kuantitas “semua manusia”. Lalu nilai “Socrates” pada proposisi kedua termasuk dalam cakupan nilai kebenaran umum tersebut. Kesimpulan “Socrates pasti mati” merupakan kebenaran khusus yang diturunkan dari langkah-langkah logis yang valid dan penalaran ini dikategorikan benar. Inilah yang dimaksud dengan prinsip validitas. Setelah pengetahuan kita dinilai benar, ia juga harus diurutkan berdasarkan standar logis yang benar.

Demikian pembahasan singkat mengenai penilaian benar dan salah dalam penalaran. kemudian masih terdapat dua cabang filsafat nilai lagi yang harus Zoners cermati. Mari kita mengingat kembali pembahasan mengenai definisi fungsi filsafat Thomas Aquinas. Aquinas mengkategorisasi fungsi filsafat tersebut dalam 4 hal, yaitu.

Verum, penelaahan benar salah;

Bonum, penelaahan baik dan buruk;

Pulchrum, penelaahan bagus dan jelek; dan

–  Unum, penelaahan kesatuan utuh yang universal.

Kita telah melihat sekilas kajian filsafat yang berfungsi sebagai Verum (kajian nilai benar dan salah) di dalam cabang filsafat logika. Kini kita akan masuk kepada kajian fungsi “bonum” (kajian nilai baik dan buruk). Untuk menelusuri awal kajian tersebut, kita akan kembali ke masa Yunani kuno dan menemui tokoh yang telah kita bahas sebelumnya yaitu Socrates. 

Socrates mengingatkan warga Athena bahwa hidup yang tidak diuji nilainya bukanlah hidup yang baik. Untuk mendaku hidup yang baik (hidup yang dieksaminasi) kita harus memiliki pengetahuan. Dengan pengetahuan, kita akan mendaku kebaikan/virtue. Setelah kita mengetahui tindakan-tindakan yang baik, hendaklah kita melakukan tindakan-tindakan tersebut karena bagi Socrates, tindakan baik akan membawa kebahagiaan. Sebaliknya mengenai kejahatan, Socrates tidak percaya bahwa ada orang yang memiliki kehendak untuk berbuat jahat, bagi Socrates perbuatan jahat semata-mata dilakukan karena orang tersebut tidak memiliki pengetahuan atas kebaikan.

Pemikiran Socrates ini, akhirnya melahirkan cabang khusus di dalam filsafat yang dinamai dengan cabang filsafat etika.

Etika

Cabang filsafat moral (etika) berusaha mensistematisasi dan merekomendasikan konsep-konsep perilaku manusia dalam dikotomi baik dan buruk. Terdapat 3 fokus utama dalam kajian etika diantaranya Meta-etika, Etika terapan , dan Etika Normatif.

  • Meta Etika

Di dalam meta etika, kita lebih berfokus dalam ranah teoritis dari etika. Salah satu penyelidikan teoritis di dalam meta etika mempertanyakan definisi “kebaikan”. Berbagai aliran dalam filsafat etika memiliki definisinya sendiri mengenai kebaikan. Misalnya, dalam aliran konsekuensialisme kebaikan didefinisikan sebagai hal yang benar, dengan kebaikan kita akan mendaku kebenaran, dan hal yang benar akan menyebabkan konsekuensi menguntungkan bagi diri kita. Atau di dalam etika deontologi yang meyakini kebaikan dibimbing oleh nalar alamiah di dalam diri kita dengan prinsip dasar apabila tindakan x pada dirinya sendiri baik, maka kita akan melakukannya, dan masih banyak lagi definisi teoritis lain.

  • Etika Terapan

Pada perkembangannya, telaah filosofis etika digunakan dalam berbagai bidang kerja praktis. Misalnya dalam politik, diperlukan pertimbangan etis yang mendalam bagi penerbitan sebuah kebijakan. Begitu pula dalam ranah bisnis, orang perlu mempertimbangkan nilai-nilai etis yang berkelindanan dengan konteks sosial dan alam (etika lingkungan). Hampir tiap bidang praktis dalam dunia modern mengembangkan konsepsi etikanya sendiri.

  • Etika Normatif

Berkebalikan dari studi teoritis dalam meta etika, etika normatif memusatkan kajiannya kepada topik tindakan etika. Sementara meta etika mendiskusikan kebahasaan moral dan fakta-fakta moral, sedangkan etika normatif lebih memusatkan pengujian standar-standar kebaikan dan keburukan dalam aksi atau tindakan. Terdapat berbagai aliran di dalam etika normatif, seperti etika kebaikan dari Socrates yang menganjurkan pencarian pengetahuan bagi hidup yang baik. Ada juga etika Stoisisme yang menganjurkan kepada kita untuk menjalani hidup dengan rasional ataupun etika Hedonisme yang menganjurkan kepada kita pemenuhan segala kebutuhan material untuk mencapai hidup yang baik.

Lalu, bagaimana dengan pengetahuan atas etika, apakah etika juga diolah dengan cara yang sama dalam akal budi kita. Kembali lagi kepada Immanuel Kant, ia meyakini bahwa pemikiran etika dalam penilaian kebaikan dan keburukan memiliki perbedaan dengan pengolahan penalaran kognitif biasa. Di dalam karya besar Kant berjudul Critique of Judgment, Kant mengungkapkan bahwa penilaian etika bergerak dalam alur yang teleologis, arti teleologis ialah lepas dari konsekuensi fakta ke fakta semata. Kant meyakini terdapat ruang teleologis di dalam manusia yang menyebabkan penilaiannya didasarkan pada sifat alamiah satu hal. Mengenai tindakan baik, manusia secara alamiah (teleologis) mengetahui nilai intrinsik dari tindakan tersebut.

Buku Critique of Judgment juga berisi satu bentuk penilaian lagi yang Kant disebut sebagai ‘judgment aesthetic’, yaitu penilaian dalam ranah keindahan dan ketidakindahan yang akan melengkapi fungsi filsafat “pulchrum” seperti yang telah diungkap Aquinas tadi. Kant meyakini bahwa hal yang kita anggap indah memiliki kedekatan dengan kesenangan dalam diri kita. Hal yang indah memicu kesenangan dan sense kesenangan ini letaknya juga apriori di dalam diri kita.

Masih banyak lagi definisi keindahan menurut berbagai filsuf, dan kajian mereka mengenai keindahan berada dalam cabang filsafat estetika.

Estetika

Kata estetika diserap dari bahasa Yunani aesthetikos yang memiliki arti sensitivitas, dan kesadaran persepsi sensori atau persepsi penampakan. Alexander Baumgarten seorang filsuf estetika awal meyakini bahwa estetika adalah ilmu untuk menelaah penampakan menggunakan perasaan. Mengenai penilaian keindahan, estetika juga selalu mengalami perkembangan dari masa ke masa. Tiap era memiliki definisi keindahannya masing-masing, dan hal itu direpresentasikan dalam karya seni dari masa ke masa. Beberapa contoh era tersebut antara lain;

  • Era Yunani klasik / Estetika kuno

Di masa Yunani klasik, keindahan karya seni berfokus kepada keidealan karya seni yang berdasar pada bentuknya di dunia nyata. Misalnya dalam patung-patung dewa-dewi Yunani yang dibuat semirip mungkin dengan bentuk ideal dari tubuh manusia.

  • Estetika abad pertengahan

Di masa ini definisi keindahan bergeser menuju keindahan yang dominan dipengaruhi ketuhanan. Karya seni abad pertengahan masih dapat kita lihat dalam karya-karya lukis di gereja-gereja Jesuit Romawi yang merepresentasikan gambar wajah Yesus dengan begitu indah.

  • Estetika era romantisme

Di era romantisme untuk pertama kalinya standar keindahan tidak didasarkan pada konvensi umum namun menekankan penghayatan subjektif. Kemunculan karya-karya seni romantisme seperti novel Romeo Juliet dan Don Quixote menggali sisi dramatis dari individu, demikian pula dalam keindahan diperlukan penghayatan sisi dramatis dari individu.

Masih terdapat beberapa era lagi dalam estetika yang akan Zona Nalar bahas di artikel selanjutnya. Demikianlah pengantar cabang-cabang utama filsafat. Pengantar kami dapat berbeda dengan konvensi pengkategorian cabang filsafat lain namun dari artikel cabang filsafat bagian 1 dan 2, Zoners akan melihat pengkategorian secara garis besar untuk pijakan awal dalam studi filsafat Zoners selanjutnya.

 

Editor: Wa Ode Zainab Z T



This article is under the © copyright of the original Author: Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
(Zona-Nalar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 × 4 =