Published On
Categories

Apakah yang kita ketahui tentang cinta? Seorang sufi bernama Jalaluddin Rumi mengatakan bahwa tidak ada yang kita ketahui tentang cinta selain nama-Nya. Kendati demikian, eksistensi cinta hadir sejalan dengan eksistensi manusia; begitu pula dengan diskursus yang menyertainya. Tak dapat dipungkiri, cinta menjadi inspirasi bagi lahirnya karya tulisan, puisi, musik, dan film yang tak terhitung jumlahnya. Cinta bisa dimaknai dengan takdir, belas kasih, atau bahkan penderitaan. Namun, pada akhirnya, kita memahami bahwa tidak ada kata yang mampu menjelaskan “cinta” secara utuh. Tak syak, cinta merupakan misteri yang tersembunyi di balik keterbatasan rasio manusia.

Meskipun tampaknya abstrak, pada kenyataannya, cinta menjadi sebuah penggerak yang paling kuat dalam kehidupan manusia. Karena cinta, sepasang kekasih berusaha untuk dapat bertemu meskipun mereka terpisah beratus ribu kilometer jauhnya. Karena cinta itu pula, seorang ibu rela bertaruh nyawa untuk dapat melahirkan anak yang ia nantikan selama sembilan bulan sepuluh hari lamanya. Kita pun harus mengakui betapa cinta menjadi alasan banyak hal–hal menakjubkan yang dialami manusia di dunia ini. 

Namun, pernahkah terbesit dalam pikiran kita untuk bertanya tentang apakah yang menjadi motif mencintai? Apakah yang membuat mereka yang jatuh cinta menjadi begitu mengasihi, bahkan sampai rela bertaruh nyawa untuk kebaikan atau kepentingan orang lain? Apakah di zaman sekarang yang sarat dengan egoisme dan pertarungan berbagai kepentingan, cinta yang sejati bisa kita temukan? 

Pemikiran seorang filsuf bernama Santo Thomas Aquinas (1225-1274) mungkin akan membantu kita menemukan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Meskipun terdengar usang, akan tetapi pemikiran Thomas Aquinas sebagai filsuf abad pertengahan tidak dapat dipungkiri masih relevan bagi kita, terutama menelaah mengapa cinta dapat menjadi motif kuat yang menggerakkan manusia. Pemikiran Thomas Aquinas akan mengherankan bagi kita yang hidup di zaman sekarang. Menurutnya, keinginan manusia untuk mencintai pribadi yang lain justru berawal dari kecintaan manusia terhadap dirinya sendiri.

Thomas Aquinas menjelaskan bahwa syarat mencintai itu terdiri atas dua, yaitu ada objek yang dicintai dan keinginan untuk memberikan yang baik terhadap objek tersebut. Hal tersebut dapat dijelaskan secara sederhana, dengan ilustrasi bahwa ketika kita sedang sakit, maka kita akan meminum obat. Dalam hal ini, objek yang dicintai adalah diri kita sendiri, sedangkan meminum obat adalah keinginan baik yang kita harapkan agar kita sembuh. Objek yang dicintai itu bisa siapa saja. Maka, diri sendiri menjadi objek yang paling pertama harus dicinta karena ia adalah yang paling dekat dengan diri kita sendiri. Mencintai dalam konteks ini senantiasa mengarah pada kebaikan. 

Oleh karena itu, ketika cinta terhadap diri sendiri itu sudah mampu disadari, maka manusia kemudian akan menyadari bahwa terdapat pula kebaikan yang berada di luar dirinya ketika ia menjalin relasi dengan pribadi yang lain. Kebaikan yang dimiliki oleh orang lain akan dianggap sebagai kebaikannya sendiri. Ketika manusia menganggap bahwa pribadi yang lain adalah bagian dari dirinya, maka di tahap ini, manusia akan berusaha mewujudkan kebaikan. Selain itu, manusia akan turut berbahagia ketika kebaikan itu telah tercapai. 

Ilustrasi yang mudah untuk menjelaskan hal ini dapat kita lihat ketika seorang ayah rela bekerja demi menghidupi keluarganya betapapun lelahnya. Kecintaan telah membuat sang ayah mencintai istri dan anak-anaknya (objek cinta) dan kemudian bekerja keras untuk menghidupi keluarganya (keinginan baik). 

Sebuah ungkapan dari bahasa latin berbunyi demikian “Nemo dat quod non habet”; bahwa manusia tidak akan pernah bisa memberi apa yang ia tidak punya. Apa yang dijelaskan oleh Thomas Aquinas kerap berbeda dengan apa yang orang-orang pahami di zaman ini. 

Cinta yang luhur telah direduksi maknanya dan bahkan bergeser. Cinta hanya dianggap sebagai kebaikan untuk satu pihak. Seringkali kita gagal mewujudkan apa yang baik untuk orang lain. Hal ini terjadi ketika cinta lebih sering dipahami sebagai egoisme dan pemuasan diri. Kita kerap menolak mewujudkan apa yang baik untuk orang lain, hanya karena kebaikan itu terlihat berbeda dengan yang kita inginkan.  

Pada akhirnya, pemahaman yang buruk tentang cinta diri membawa kita pada kegagalan untuk mencintai pribadi manusia yang lain. Atas dasar itu, penting untuk disadari bahwa jika cinta terhadap sesama senantiasa diawali dengan pemahaman yang benar terhadap cinta-diri sendiri. Mereka yang gagal mencintai dirinya sendiri, maka tidak akan pernah mampu untuk mencintai yang lain. 

Penulis: Edward Ferdinand

Editor: Wa Ode Zainab Zilullah Toresano

Referensi:

Gallagher, D.M., 1999. Thomas Aquinas on self-love as the basis for love of others. Acta philosophica8(1), pp.23-44.



This article is under the © copyright of the original Author: Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
(Zona-Nalar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

fourteen + fourteen =