PENULIS: M. Ihza Fazrian
EDITOR: Wa Ode Zainab Zilullah T.

Pada era digital, kita sering dihadapkan pada berbagai iklan yang bermunculan. Iklan politik, produk kecantikan, dan makanan; baik yang berasal dari TikTok, Instagram, Facebook, dan berbagai marketplace. Tentu hal tersebut merupakan bentuk dari arus teknologi yang semakin berkembang. Namun, apakah kita pernah berpikir tentang bahaya yang dapat muncul jika kita tidak siap dengan kemajuan tersebut? Di sini, kita akan merefleksikan pemikiran kritis seorang tokoh post-strukturalis asal Prancis bernama Jean Baudrillard.

Konsumerisme dan Manipulasi Tanda

Konsumsi merupakan aspek penting dalam kehidupan ini. Menurut KBBI, konsumsi adalah penggunaan barang hasil produksi. Di sini artinya konsumsi merupakan sebuah tindakan yang bahkan dapat menandai posisi sosial.[1] Namun, di era sekarang muncul istilah yang dikenal dengan konsumerisme. Konsumerisme melampaui istilah konsumsi. Maksudnya adalah tindakan konsumsi yang tidak lagi dikonsepkan sebagai pemenuhan atas kebutuhan saja, melainkan sebuah cara hidup yang menjadi kesadaran praktis seseorang.[2]

Menurut Baudrillard, di era sekarang, seseorang hidup dengan kecenderungan tertuntut oleh benda atau objek. Dalam memenuhi kebutuhannya, seseorang tidak lagi melandasi hal tersebut dengan “kekurangan atas sesuatu” sehingga harus dipenuhi. Melainkan, karena sesuatu tersebut diiklankan dan diinginkan oleh orang lain. Begitu juga, bahwa di sini keindahan merupakan aspek terpenting. Misalnya, ketika seseorang ingin mengisi ruang tamunya, biasanya meja dan kursi sudah cukup. Namun, seseorang tersebut merasa perlu untuk mengisinya dengan benda-benda lain seperti lampu, taplak, figura, tempat tisu, dan lain sebagainya semata-mata untuk “memuaskan” hasrat keindahannya.

Menekankan iklan (dalam hal ini dijabarkan dengan tanda), di era sekarang, seseorang cenderung menganggap hal tersebut sebagai realitas. Misalnya, ketika ada iklan penjualan rumah, seorang ayah yang berniat membeli rumah tersebut mengatakan pada anaknya bahwa kamarnya nanti berada pada posisi atas, dan perabotannya akan diisi sesuai dengan kesukaan si anak. Begitu juga kepada istrinya, ia diberitahu oleh suaminya bahwa nanti akan dibuatkan kitchen set agar istrinya semakin semangat dalam memasak. Perlu ditekankan bahwa di sini, padahal rumah tersebut hanya terlihat dalam iklan (berupa poster atau video), dan tanah tempat dibangunnya pun masih lahan kosong, namun si ayah/suami sudah memikirkan dan menyampaikan sejauh hal tadi. Perlu diketahui juga bahwa sebenarnya iklan memuat pesan yang ingin disampaikan. Hanya saja, seseorang cenderung mendramatisirnya sehingga pesan yang ingin disampaikan menghilang. Contohnya adalah ketika terdapat video sekumpulan tentara yang memegang senjata di hutan, seseorang langsung mengklaim bahwa sedang terjadi perang, padahal tentara itu hanya sedang latihan.

Mental konsumtif menyebabkan tekanan psikis. Seseorang akan merasa gelisah jika ia gagal memenuhi kebutuhannya. Ia takut kegagalan tersebut menyebabkan dirinya tidak diakui komunitasnya. Di sini, konsumsi menentukan fungsi sosial dan memproduksi makna sebagai cara menunjukkan nilai sehingga standar kebahagiaan adalah “kesamaan” atas sesuatu. Proses konsumsi simbolis menjadi pembentuk gaya hidup. Suatu benda itu laku jika ia menjadi tanda integrasi sosial. Tanda merupakan kekuatan kolektif yang diindividualisasikan. Seseorang yang memiliki uang merasa bebas dan tidak dipaksa ketika membeli sesuatu, padahal hal tersebut sudah dikondisikan sesuai dengan selera kelasnya. Artinya, mengonsumsi bukan sekadar memenuhi kebutuhan, melainkan juga tuntutan dari komunitas.

Logika Hasrat dan Simbol

Logika hasrat dapat diibaratkan dengan kasus seseorang yang membeli jam serupa milik temannya; setelah memiliki jam yang sama, ia malah merasa harus membeli yang lebih berkualitas dan mewah. Atau ketika seseorang mengajak temannya untuk makan di warung tegal (warteg), temannya menolak dengan alasan ia mudah sakit perut (higienis). Padahal, ia di sini ingin menunjukkan perbedaan kelas yang mengindikasikan perbedaan kebutuhan. Sedangkan logika simbol dapat diibaratkan dengan kasus seorang karyawan di suatu perusahaan membeli mobil dengan merek Ferrari seperti bosnya. Setelah diketahui oleh bosnya, ia malah dipersekusi. Di sini simbol “mobil Ferrari” seakan menunjukkan kelas atas; hanya bos yang berhak memilikinya. Oleh karena itu, terdapat pelanggaran bagi mereka yang melanggar perbedaan status. Inilah yang disebut Baudrillard sebagai nilai tanda (hasrat) dan nilai simbol sebagai mekanisme dari konsumsi.[3]

Ideologi Konsumsi

Konsumsi seakan sebuah ideologi yang memiliki fungsi merekatkan meskipun penuh dengan pencitraan Orang-orang mengonsumsi sesuatu tidak pada esensinya (kebutuhan aktual), melainkan hanya permukaannya.[4] Ketika berbicara ketampanan, seseorang spontan menjadikan Jefrry Nichol sebagai role modelnya. Atau ketika berbicara tubuh yang ideal bagi perempuan, seseorang langsung menjadikan Inul Daratista sebagai role modelnya. Dari kedua hal tersebut, sebenarnya semuanya telah dikonstruksi oleh masyarakat, bukan karena nilai tampan atau tubuh yang ideal itu sendiri. Iklan-iklan seakan menggambarkan sesuatu yang “melampaui” realitas. Di sinilah bahwa konsep benar salah tidak berfungsi lagi. Hal ini terjadi karena tidak adanya peningkatan atas kualitas hidup pengembangan atas kehidupan ke depannya, melainkan pemenuhan atas kebahagiaan instan. Seseorang tidak lagi melihat iklan sebagai media untuk melihat realitas, tetapi mematuhinya dengan membabi buta.

Iklan-iklan muncul bukan karena para agen yang menyebarkannya ingin merayu pelanggan, melainkan seakan karena pelanggannya yang suka ditipu karena tidak sadar, tidak terorganisir, dan soliter.[5] Iklan seakan menjadi sabda kenabian yang menjadikan seseorang tidak lagi berpikir dan belajar, melainkan berharap. Adanya iklan obat penurun berat badan misalnya, gambar dan keterangan “before-after” seharusnya dipikirkan secara kritis. Apakah gambar tersebut diedit? Apakah foto after yang menggambarkan seseorang yang kurus diambil sebelum ia menjadi gemuk? Apakah itu orang yang berbeda namun mirip? Di sinilah seharusnya hal-hal tersebut dipikirkan agar seseorang tidak tertipu, bukan terjebak dengan opini iklan tersebut.

Simulasi dan Hipperrealitas

Simulasi merupakan representasi atas objek yang malah menjadi objek itu sendiri. Representasi dianggap lebih penting daripada suatu objek sebenarnya. Simulasi ada supaya hal-hal yang direpresentasikan diberlakukan secara riil. Hal ini menimbulkan realitas yang melampaui batas (hipperealitas). Contohnya adalah ketika seseorang pergi ke Dufan, seakan menggambarkan bahwa orang dewasa berada di tempat lain karena Dufan disimulasikan untuk anak-anak. Padahal di tempat inilah orang-orang dewasa menjadi seperti anak-anak lagi sehingga faktanya adalah jiwa kekanak-kanakan itu berada di mana-mana. Terdapat empat tahap pencitraan; Representasi (citra sebagai cerminan dari realitas), citra sebagai cara untuk menyembunyikan dan memalsukan suatu realitas, citra menggambarkan hilangnya realitas (pemandangan luar jendala tertutup oleh gambar pemandangan misalnya), tidak ada hubungan antara citra dan realitas.[6]

Referensi

Bakti, Indra Setia, Nirzalin Nirzalin, and Alwi Alwi. “Konsumerisme Dalam Perspektif Jean Baudrillard.” Jurnal Sosiologi USK (Media Pemikiran & Aplikasi) 13, no. 2 (December 17, 2019): 147–66. https://doi.org/10.24815/jsu.v13i2.15925.

Baudrillard, Jean. The Consumer Society: Myths and Structures. Rev. edition. Tcs Series. Thousand Oaks, CA: Sage Ltd, 2016.

Fitrianti, Rizqi. “SIMULACRUM MEDIA DI ERA POSTMODERN: Analisa Semiotika Jean Baudrillard Dalam Narasi Iklan Kecantikan Dove Edisi ‘Dove Real Beauty Sketches.’” Bureaucracy Journal : Indonesia Journal of Law and Social-Political Governance 1, no. 2 (August 30, 2021): 92–117. https://doi.org/10.53363/bureau.v1i2.29.

Haryatmoko, Johannes. Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan Dan Diskriminasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010.

Miles, Steven. Consumerism as a Way of Life. Repr. London: Sage, 2002.

Warde, Alan. Consumption: A Sociological Analysis. United Kingdom: Palgrave Macmillan, 2017.


[1] Alan Warde, Consumption: A Sociological Analysis (United Kingdom: Palgrave Macmillan, 2017), 1.

[2] Steven Miles, Consumerism as a Way of Life, Repr (London: Sage, 2002), 3–4.

[3] Jean Baudrillard, The Consumer Society: Myths and Structures, Rev. edition, Tcs Series (Thousand Oaks, CA: Sage Ltd, 2016), 76–77.

[4] Indra Setia Bakti, Nirzalin Nirzalin, and Alwi Alwi, “Konsumerisme Dalam Perspektif Jean Baudrillard,” Jurnal Sosiologi USK (Media Pemikiran & Aplikasi) 13, no. 2 (December 17, 2019): 159, https://doi.org/10.24815/jsu.v13i2.15925.

[5] Johannes Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan Dan Diskriminasi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), 23.

[6] Rizqi Fitrianti, Simulacrum Media Di Era Postmodern: Analisa Semiotika Jean Baudrillard Dalam Narasi Iklan Kecantikan Dove Edisi ‘Dove Real Beauty Sketches,’” Bureaucracy Journal : Indonesia Journal of Law and Social-Political Governance 1, no. 2 (August 30, 2021): 102–3, https://doi.org/10.53363/bureau.v1i2.29.



This article is under the © copyright of the original Author: Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
(Zona-Nalar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

three + two =