Diskursus kebebasan dalam peradaban filsafat Eksistensialisme barat merupakan respon terhadap meletusnya Perang Dunia (PD) 2. Fenomena ini menyebabkan kelaparan, kemiskinan, dan penindasan kelas yang mengarahkan pada rendahnya kualitas dan semangat hidup masyarakat. Para eksistensialis memandang bahwa tujuan hidup manusia adalah mencapai kesejahteraan di dunia. Pandangan ini, merupakan sebuah catatan pemikiran terhadap kaum materialisme barat. Mereka menilai bahwa kesejahteraan merupakan dasar kehidupan manusia. Berangkat dari persoalan tersebut, Jean Paul Sartre, merupakan pemikir Eksistensialisme memandang bahwa kekuatan eksternal telah memisahkan manusia dari tujuan hidupnya. Hal dasar, manusia terpisah dari tujuan hidupnya, ialah manusia telah diatur dan digerakan oleh berbagai paradigma yang memanjarakan kacamata manusia untuk memandang kualitas hidup berdasarkan legitimasi kekuasaan.
PD 2, merupakan contoh konkrit yang diangkat oleh Jean Paul Sartre bahwa setiap kelompok masyarakat saling berperang untuk memperoleh legitimasi kekuasaan. Padahal, dampaknya adalah kehancuran kualitas hidup manusia. Di satu sisi, pertikaian boleh jadi tidak didasari oleh kemauan manusia, akan tetapi tujuan dari sebagian individu untuk memanfaatkan keberadaan individu lain. Berangkat dari fenomena yang ada, Jean Paul Sartre dalam bukunya “Being and Nothingness” mengungkapkan; “I am responsibe for myself” yang berarti saya bertanggung jawab untuk diri saya sendiri. Ungkapan Jean Paul Sartre pada dasarnya ingin menginformasikan bahwa citra individu adalah tanggung jawabnya. Sehingga manusia dituntut untuk bergerak bebas untuk beraktivitas, tanpa dipaksa. Jean Paul Sartre belajar banyak dari sejarah kehidupan manusia yang menghadapi berbagai aturan dan kondisi yang membatasi dirinya.
Perihal Kebebasan
“Man is free, because he is not himself but presence to himself” yang diartikan sebagai kebebasan yang dimiliki manusia untuk menentukan arah hidupnya. Menurut Jean Paul Sartre, manusia sejak lahir telah sadar bahwa dia ada di dunia. Keadaan ini yang membawanya untuk sadar bagaimana menentukan keberadaan di realitas. Jean Paul Sartre sepakat dengan Martin Heidegger bahwa kehidupan otentik dibangun dari bagaimana manusia mulai menyuarakan dirinya. Akan tetapi, dalam pemaknaan lain, Jean Paul Sartre juga tidak setuju dengan gurunya yang menilai bahwa kehidupan otentik justru harus dimulai dari kesadaran akan kebebasan.
Kebebasan adalah aspirasi yang dibangun oleh manusia, bukan dibangun oleh beberapa oknum yang justru memisahkan diri dan visinya. Lebih lanjut, Jean Paul Sartre menawarkan tiga indikator memperoleh kebebasan, antara lain; pengingkaran, penderitaan, dan keputusan. Pengingkaran dalam pandangan Jean Paul Sartre adalah penolak terhadap Tuhan. Menurut Jean Paul Sartre, jika manusia percaya Tuhan itu ada, maka manusia tidak dapat bertindak secara bebas. Sebab, Tuhan telah melihat berbagai tindakannya dan bahkan membatasi sebagai dari aktivitasnya. Akibatnya, manusia justru tidak memiliki kebebasan untuk membangun citra dirinya di dunia. Demi mengatasi permasalahan tersebut, manusia harus melupakan atau mengikari Tuhan.
Penderitaan
Penderitaan, dalam pandangan Jean Paul Sartre merupakan satu tolak ukur untuk menilai kebangkitan manusia untuk memperoleh kebebasannya. Kelaparan, kemiskinan, dan diskriminasi antara kelompok masyarakat akan membangun relasi antara individu. Dapat dibayangkan bahwa masyarakat kelas bawah bersatu untuk menggulingkan masyarakat kelas atas untuk meraih apa yang seharusnya mereka dapatkan. “Man is nothing else but what he makes of himself” merupakan salah satu ungkapan Jean Paul Sartre dalam bukunya “Existenstialism and Humanism” yang mendeskripsikan manusia tidak lain adalah apa yang telah ia lakukan untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain.
Jean Paul Sartre sepakat dengan pandangan Karl Marx bahwa rentetan sejarah manusia senantiasa dihiasi oleh konflik antara kelompok masyarakat yang justru merupakan upaya untuk mempertahankan hidupnya. Begitupun dengan pandangan Friedrich Nietzsche terkait dengan kebebasan sebagai aspirasi kehidupan manusia.
Dua dasar pemikiran tersebut, telah membangun kerangka pemikiran Jean Paul Sartre untuk menilai lebih dalam makna kebebasan sebagai suatu bawaan yang telah dimiliki manusia. Artinya, bahwa manusia mengharapkan sebuah kebebasan untuk menentukan cara berada sebagai upaya mempertahankan hidupnya di dunia. Tentu, berbagai penderitaan akan menyadarkan manusia untuk melawan berbagai tindakan yang membatasinya.
Indikator Kebebasan Sartre
Keputusan, merupakan indikator terakhir manusia memperoleh kebebasannya. Jean Paul Sartre menjelaskan secara sistematis bahwa kebebasan berarti kemampuan manusia untuk menentukan berbagai putusan dalam hidupnya. Manusia bebas untuk mengikuti dan mengingkari berbagai permasalahan dalam hidupnya, selama sesuai dengan apa yang diinginkan. Perlawanan dalam penyesalan juga merupakan suatu putusan yang harus diambil oleh kelompok masyarakat untuk membebaskan dirinya dari belenggung penindasan. Bahkan sikap mengingkari Tuhan juga suatu perilaku untuk menghentikan berbagai konflik keagamaan dalam struktur sosial. Manusia ingin hidup secara damai dan sejahtera sehingga keinginan tersebut harus diaktualkan melalui kebebasan sebagai aspirasinya, “Man reality is free, basically and completely is free”.
Dari berbagai penawaran Jean Paul Sartre, kita dapat memahami bahwa kebebasan dalam wacana filsafat Eksistensialisme-nya merupakan aspirasi untuk meningkatkan kualitas hidupnya di era yang semakin membatasi pergerakan setiap individu untuk mencapai cita dan tujuan hidup. Atau boleh jadi, filsafat kebebasan Jean Paul Sartre yang telah dikemukakan sejak 66 tahun lalu ini, merupakan suatu sikap untuk mempersiapkan diri menghadapi konflik antar negara yang terjadi hari ini.
Editor: Ahmed Zaranggi
Referensi:
Heidegger, Martin. Being and Time. Newyork: Harper & Row Publisher, 1962.
Mehrnia, Hasan. An Introduction to Existentialism. Qom: Nasr-e Adyon, 1399 SH.
Nietzsche, Friedrich. Human All-Too-Human.Edinburgh: Morrison & GIBB Limited, 1997.
Sartre, Jean, Paul. Existenstialism and Humanism. London: Eyre Methuen LTD, 1973.
———————-. Being and Nothingness. New York: Philosophical Library, 1956.
Yunus, M. Firdaus. “Kebebasan dalam Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre”. Jurnal Al-Ulum, vol. 11, no. 2 (2011).
This article is under the © copyright of the original Author:
(Zona-Nalar)
Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
One thought on “Filsafat Kebebasan dalam Kerangka Eksistensialisme Jean Paul Sartre”