“Humor dan ilmu pengetahuan itu dasarnya nalar.
Bedanya, ilmu pengetahuan mempertahankan nalar, humor meruntuhkan nalar.” –
Maman Suherman, duta literasi & advisor IHIK3
Apa yang terngiang di kepala Anda saat mendengar kata “silogisme”? Materi pembelajaran sewaktu sekolah? Atau jenis soal yang sering muncul di seleksi CPNS atau tes-tes lainnya?
Saya yakin itu adalah jawaban-jawaban yang akan muncul dari mayoritas Anda. Mungkin, hanya segelintir dari Anda, para “ekstrimis” pencinta humor yang terpikirkan untuk mengasosiasikan silogisme sebagai salah satu bahan untuk melahirkan humor. Dari beragam literatur kajian humor yang coba saya jelajahi, memang betul ada korelasi antara silogisme, logical fallacy (kecacatan logika), dan humor.
Namun sebelum sampai ke penjelasan itu, saya akan coba mengenalkan silogisme dan kecacatan logika itu sendiri secara sangat sangat sederhana – alias dari perspektif seseorang yang tergolong awam dalam kajian filsafat: saya.
Silogisme dan Logical Fallacy
Jadi gampangnya begini, silogisme adalah proses penarikan kesimpulan secara logis dari pernyataan atau premis yang disajikan. Ketika penarikan kesimpulan itu tidak tepat, atau tidak ditemukan kesimpulan yang logis dan rasional, maka terjadilah kecacatan logika, pseudo-logic, atau yang juga popular disebut logical fallacy tersebut. Nah, dalam kondisi tertentu, kesalahan dalam penarikan kesimpulan ini bisa memunculkan humor.
Apa indikatornya? Apabila mengacu pada konsep yang dikemukakan oleh Palmer dalam The Logic of the Absurd (1987), jawabannya mudah saja. Kesimpulan yang humoristis harus berada di antara hal yang disebut make sense (masuk akal) dan nonsense (omong kosong).
Ketika Anda menarik kesimpulan secara lurus atau sesuai dengan premis-premisnya, maka artinya logikanya sudah tepat atau sesuai. Tidak ada kejutan di sini, karena kesimpulan yang dimunculkan seperti yang diharapkan. Make sense. Stimulus ini tidak memadai untuk dianggap sebagai humor oleh lawan bicara Anda.
Namun di sisi lain, apabila penarikan kesimpulan Anda atas premis-premis yang disediakan tidak nyambung, maka hasilnya bisa menjadi nonsense. Orang lain akan kesusahan memahami atau membayangkan apa yang Anda sampaikan. Alhasil, pernyataan Anda rentan dianggap omong kosong atau bualan belaka.
Humoritas
Nah, kesimpulan humoristis haruslah berada di tengah keduanya. Artinya, ia tidak boleh lurus-lurus saja supaya bisa menghasilkan keanehan (incongruity) hingga kejutan (surprise), tetapi juga tidak boleh terlalu melenceng dari premis yang telah disediakan agar tidak ditolak oleh nalar.
Tak hanya itu, dari beragam jenis logical fallacy, ada beberapa di antaranya yang sangat potensial untuk dijadikan formula membuat humor. Dalam suatu lokakarya yang diadakan oleh Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3) April 2022 lalu, saya mengajak audiens membedah sejumlah jokes sembari mengajak mereka untuk praktik menghasilkan kesimpulan humoristis langsung dengan “teknik” post hoc. Post hoc sendiri merupakan suatu kecacatan logika atas kegagalan memprediksi rangkaian kejadian.
Pertama-tama, kami hadirkan premis lelucon yang bagian akhirnya sudah dimodifikasi atau dihilangkan punchline-nya seperti berikut: “Menjadi sopir membutuhkan fokus yang tinggi. Seorang pria hari ini untuk pertama kalinya bekerja sebagai sopir taksi setelah 20 tahun menjadi sopir ambulans. Apa doa yang ia panjatkan pagi ini?”
Kemudian, kami ajak audiens untuk memberikan jawaban yang masuk akal, doa yang seperti orang normal panjatkan. Muncullah jawaban seperti: “Ya Tuhan, semoga hari ini rezeki saya lancar.” Lalu, kami lanjutkan dengan mendorong mereka untuk memberikan jawaban yang terdengar mustahil, macam: “Ya Tuhan, semoga mobil saya tidak berubah menjadi Transformers.”
Terakhir, kami pacu audiens untuk melahirkan jawaban-jawaban pseudo-logic yang termasuk humoristis. Ternyata jawaban yang muncul cukup mengejutkan dan beragam. Salah satu yang terbaik adalah “Ya Tuhan, semoga penumpang saya hari ini enggak diperban.”
Tidak terlalu jauh dari sesuatu yang make sense (dari sopir ambulans ke sopir taksi), tetapi masih bisa diterima nalar, juga believable, kan? Latihan bernalar seperti ini bila terus dilakukan pastilah bakal banyak membantu dalam pembentukan fleksibilitas mental dan memudahkan Anda untuk berpikir secara humoristis.
Bernalar Logis dan Humoris
Idealnya, latihan bernalar yang logis nan humoristis macam tadi bisa membantu Anda dari giringan opini atau konten di dunia maya yang kini makin banyak mengandung kecacatan logika demi kepentingan pihak tertentu. Kebutuhan untuk mempelajari kekeliruan untuk kembali atau tetap di jalur yang lurus sudah sangat mendesak. Mirip seperti yang Jaya Suprana pernah tulis tentang Kelirumologi: ilmu yang mempelajari kekeliruan demi mencari kebenaran.
Setelah itu, saya juga ingin agar Anda nantinya bisa merasakan sensasi tertawa – atau minimal terhibur – ketika berhasil mendeteksi suatu logical fallacy, alih-alih marah atau melakukan aktivitas yang mencerminkan kependekan akal kita.