Pemahaman mengenai Filsafat memang memiliki arti yang luas, akan sangat sukar untuk mendefinisikan filsafat secara puas. Definisi filsafat akan memiliki sifat yang beraneka ragam dan memiliki corak yang sesuai dengan filsafat yang dianut oleh masing-masing. Akan tetapi filsafat memiliki sifat yang serupa dengan ketiga kegiatan utama manusia untuk mecapai masyarakat idaman, termasuk dalam budaya Jawa.
Dalam kebudayaan Jawa, filsafat yang dimaksud adalah ngudi kasampurna. Manusia mencurahkan seluruh eksistensinya, baik jasmani maupun rohani untuk mencapai sebuah tujuan. Usaha tersebut merupakan suatu kesatuan yang bulat. Oleh karena itu, pada dasarnya dalam Filsafat Jawa tidak ada pembeda antara bidang metafisika, epistemologi dan etika. Ketiga bidang ini tidak dapat dipisahkan dalam kesatuan gerak menusia menuju sebuah kesempurnaan.
Filsafat Jawa tidak mempertanyakan “apakah ini,” karena menganggap seakan manusia dijadikan sebagai objek yang terpisah dari dirinya yang bertanya, atau rasio manusia yang memisahan dirinya sebagai subjek dengan mengadakan distansi. Filsafat Jawa tidak mananyakan apakah eksistensi manusia diasumsikan sebagai kenyataan. Di sini kita dapat melihat gerak dan keterlibatan manusia itu sendiri. Untuk mempermudah pemahaman ini, mari kita tinjau ketiga bidang filsafat tersebut.
Metafisika
Ungkapan tentang adanya alam semesta, tuhan dan manusia, dapat dianggap sebagai hasil dari pemikiran, pengalaman, dan penghayatan manusia. Hasil tersebut dapat dinyatakan sebagai hasil penuturan dengan kata verbal yang tersusun secara sistematis. Maka dapat dikatakan filsafat memiliki arti yang sempit. Ciri dasarnya adalah:
1. Tuhan adalah ada semesta atau ada mutlak
2. Alam semesta merupakan pengejewantahan tuhan
3. Alam semesta dan manusia merupakan suatu kesatuan
Pemikiran filsafat bertitik pada eksistensi manusia dan alam dunia sebagai perwujudan yang nyata dan dapat ditangkap oleh indra. Bukan sebagai dasar awal yang dicari dan dipertanyakan seperti yang dilakukan oleh para filsuf Yunani. Melainkan dari mana ke mana semua wujud ini atau dengan istilah sungkan paran:
1. Sangkan paraning dumadi (awal akhir alam semesta)
2. Sangkan praning manungsa (awal akhir manusia)
3. Dumadining manungsa (penciptaan manusia)
Pencarian manusia akan berakhir dengan wikan, weruh atau sangkan paran. Jadi dalam Filsafat Jawa berkesimpulan bahwa Tuhan merupakan sangkan paraning dumadi dan manungsa, yang berarti awal berasal dari Tuhan dan akhir akan kembali kepada Tuhan. Usaha manusia untuk kembali kepada asalnya baik itu dengan jalan jasmani maupun rohani, atau lahir maupun batin. Jalan batin ini, bisa didapatkan dalam kehidupan budaya bangsa lain dan biasa disebut mistisme. Maka pengalaman dan penghayatan mistis ini, bisa disebut filsafat mistika dengan unsur-unsur metafisika mistika dan antropologi mistika.
Tuhan, Manusia dan Alam
Adapun perinciannya mengenai penggambaran tuhan, manusia dan alam semesta adalah sebagai berikut:
1. Tuhan
Tuhan sebetulnya tidak dapat dibayangkan seperti apapun; dekat tetapi tidak bersentuhan dan jauh tetapi tidak ada pembatasan. Tuhan memiliki berbagai macam nama yang menggambarkan sifatnya seperti sang hyang taya, Wenang, tunggal, welas asih
2. Manusia
Manusia digambarkan sebagai Jasmani yang terdiri dari kakang kawah (air keruban), adhi ari-ari (plasenta), lobang sembilan, dan panca indera. Rohani yang terdiri dari sedulur papat kelimo pancer (empat saudara dan penuntut saudara kelima). Maksud dari keempat itu adalah mutmainah, amarah lauwamah dan supiah. Penuntun saudara kelima adalah sukma sejati yang merupakan percikan dari tuhan. Kembali kepada tuhan atau juga bisa disebut mulih mula mulanira (pulang kepada asal).
3. Alam semesta
Penuturan tentang penciptaan dunia dan gambaran dunia yang memiliki bentuk yang beranaka ragam dengan unsur budaya Hindu, Budha dan Islam yang sangat menonjol.
Epistemologi
Dalam filsafat Jawa, epistemologi pada hakikatnya memiliki jalan yang serupa dengan proses-proses penggunaan cipta, rasa, dan karsa melalui berbagai tingkatann kesadarn:
1. Kesadaran panca inderawi
2. Kesadaran hening
3. Kesadan pribadi (ingsun, sukma sejati)
4. Kesadaran ilahi (sukma kawekas)
Pada tingkatan terakhir terjadi manunggal. Diperoleh pengtahuan yang mutlak atau kawicaksanan, kawruh sangkan paran dalam mencapai sebuah kesempurnaan. Ketiga kemampuan cipta, rasa dan karsa ini dalam kehidupan sehari-hari diusahakan dapat bersatu kemudian diwujudkan dalam bentuk upaya dan perbuatan.
Penggunaan kemampuan tersebut kemudian dihayati lebih dalam dari pada citpa, yaitu rasa dan rasajati yang digambarkan sangat baik dalam budaya Jawa. Dalam suatu pergaulan dipergunakan dua atau tiga tingkatan bahasa, yaitu ngoko untuk sesama. Kromo dan kromo inggil untuk yang lebih tinggi, baik secara usia maupun status sosial masyarakat.
Jika dalam bahasa Indonesia kita mengucapkan “pikir dahulu sebelum bertindak,” dalam bahawa Jawa bisa menggunakan Ngoko “dipikir dhisik” dan kromo “dipun galih rumiyin.” Galih berarti inti pusat terdalam. Dengan jalan “menggalih” kita lebih mepergunakan kemampuan yang lebih mendalam daripada pemikiran dan penginderaan. Di mana unsur rasa ikut serta, seperti intuisi yang mengandung perasaan dan pengetahuan. Untuk membedakan antara perasaan dan panca indera digunakan istilah rasajati atau rasa sejati.
Jika dalam budaya Barat menganjurkan berpikir secara radikal, yaitu berpikir sampai ke akar-akarnya. Maka adat Jawa juga menganjurkan untuk berpikir menggalih. Cara berpikir ini akan meningkatkan kesadaran diri aku (ego) kepada kesadaran pribadi. Jadi jika aku (ego) tidak dianggap kekal, melainkan dapat berubah dengan meningkatnya kesadaran.
Aksiologi Filsafat Nilai
1. Estetika (keindahan)
2. Zaman Jawa Hindu mengatikan keindahan dianggap sebagai pengejewantahan dari yang mutlak, maka semua keindahan adalah satu.
3. Zaman Jawa Islam mengatikan keindahan adalah kesusastraan sulu diperpadat kepada seluruh 20 sifat dan 99 nama Allah (Asma’ul Husna) dan empat sifat Allah. Dimana keindahan dimasukan, yaitu Agung (jalal), Elok (Jamal), Wisesa (kuasa) dan sempurna (kamal)
4. Etika (kesusilaan)
Dalam etika, yang dipermasalahkan adalah adanya baik dan buruk yang mempengaruhi perilaku manusia dan yang juga berhubungan dengan adanya tuhan. Dalam filsafat Jawa baik dan buruk dianggap tidak dapat lepas dari eksistensi manusia. Kemudian menjelma kedalam berbagai keinginan dan dikaitkan dengan empat nafsu, yaitu mutmainah, amarah, lawwamah, dan supiah.
Keinginan baik (mutmainah) akan selalu berhadapan dengan keinginan buruk (lawwaman, amara, dan supiah) untuk membentuk perilaku manusia. Dengan anggapan bahw tujuan hidup manusia adalah untuk mencapai kesempurnaan. Ia akan menjelma menjadi sifat ilahi, dengan tercapainya maunggaling kawula gusti. Maka pertentangan baik dan buruk akan diatasi dengan peningkatan kesadaran yang disebut kedewasaan jiwa manusia.
Dengan demikian, kesusilaan tidak dapat lepas dari laku dalam menuju kesempurnaan. Tingkat kedewasaan seseorang akan membentuk watak yang menentukan laku susilanya. Tingkat kedewasaan dan watak manusia tidak hanya bisa didapatkan dengan usahanya sendiri sewaktu hidup, melainkan juga dapat diberoleh sejak ia dilahirkan.
Editor: Ahmed Zaranggi
Sumber:
Abdullah Ciptoprawiro. Filsafat Jawa. Balai Pustaka, 1986.
Anan Hajid T. Orang Jawa Jimat dan Makhluk Halus. Narasi, 2005.
This article is under the © copyright of the original Author:
(Zona-Nalar)
Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
One thought on “Konsep Pemikiran Filsafat Jawa”