Kosmologi merupakan ilmu universal yang membincang realitas kosmos. Menurut Paul Brockelman, kosmologi pada prinsipnya terfokus pada persoalan bagaimana semesta berkembang dan bagaimana semesta berubah di masa mendatang. Kosmologi [kosmologi tradisional] pada awalnya membahas tentang gerak dan perubahan entitas langit. Semenjak Albert Einstein memproklamirkan teori umum relativitas-nya, dimulailah babak baru kosmologi yang dikenal dengan ’New Cosmology’. Kosmologi mengalami perubahan signifikan karena tidak hanya dibahas oleh kalangan agamawan dan filosof, melainkan para saintis atau ilmuwan.
Kosmologi baru termaktub dalam teori umum Relativitas Einstein yang bermula dalam makalahnya yang berjudul Cosmological Consideration on The General Theory of Relativity. Hal ini merupakan langkah awal membangun pondasi “kosmologi baru” menjadi sebuah rumah yang kokoh. Persamaan-persamaan Einstein memiliki solusi yang berbeda, sesuai dengan distribusi-distribusi yang berbeda dari medan dan materi. Di antara solusi tersebut adalah solusi memprediksikan sebuah alam semesta yang meluas dari kondisi yang ekstrem panas dan mampat pada t=0.
”Kosmologi baru” mengambil langkah untuk menyingkap asal-usul alam semesta. Selain itu, hukum-hukum fisika sudah digunakan pada sains berhubungan dengan struktur kosmos. Pada perkembangannya, pelbagai kosmologi baru muncul; yang mana perpaduan antara kosmologi tradisional dengan sains modern. Selain teori umum relativitas terdapat Hukum Hubble, gagasan Lamaitre, radiasi gelombang mikro kosmik (Cosmic Microwave Background Radiation [CMBR], Big Bang dan temuan lain yang terus mengalami perkembangan hingga sekarang. Penemuan-penemuan dalam dunia ”kosmologi baru” turut menggulirkan wacana mengenai ”eksistensi Tuhan”.
Penempatan Tuhan dalam peta kosmos tidak dapat dipungkiri berimplikasi pada religiusitas. Perkembangan kosmologi baru turut mewarnai persepsi para pemeluk agama. Selain itu, terjadi aksi timbal balik yakni, agama juga memberikan kontribusi bagi perkembangannya. Kosmologi baru tidak sekadar menggunakan paradigma promotif, akan tetapi paradigma preventif. Dengan kata lain, tidak hanya menjawab permasalahan yang sedang terjadi, tetapi menyuguhkan pemikiran yang bisa membangun peradaban yang berkeadilan. Hal inilah yang memicu kesadaran beragama.
Wajah kosmologi baru yang melukiskan dunia secara ilmiah membuahkan pemahaman kosmologi religius yang menemukan pendasaran ilmiahnya. Dengan kata lain, kemajuan sains justru menerangi dimensi religiusitas. Akan tetapi, kemajuan dari sains modern ternyata memberikan pekerjaan rumah bagi problem-problem filosofis yang berkaitan dengan religiusitas. Kondisi paradoks inilah yang merupakan seruan bagi kosmologi baru untuk menyelesaikan problem tersebut agar tidak mengikis kesadaran beragama dan keraguan pada eksistensi Tuhan yang sudah berlangsung di era positivistik dan matrealistik.
Greg Soetomo mengungkapkan bahwa kebenaran sains tidaklah tunggal, mutlak, dan kekal karena harus berdialektis. Hal yang mewarnai sains adalah kandungan dan muatan problematika filosofis yang ada di dalamnya. Maka, kita dapatkan bahwa sains ternyata merupakan sumber pikiran filosofis. Sains memang tidak bisa membuktikan eksistensi Tuhan lewat metodologinya, namun sains dapat mengorientasikan penegasan terhadap Tuhan.
Kosmologi baru memiliki implikasi terhadap religiusitas, ini bisa tercermin dalam teori Relativitas Einstein berkaitan dengan energi, yaitu E= m.c²; m dalam hal ini merupakan massa yang terdiri dari kualitas dan kuantitas. Ini terdapat hubungan kosmologi dengan m yakni, m merupakan ∑m dari realitas “materil” dan “immateril”. Realitas materil dan immateril merupakan pembahasan dari kosmologi. Sementara itu, c merupakan kecepatan untuk perubahan. Teori relativitas mentransformasikan segala bentuk eksistensi (m) yang ada di alam zahiriah dan malakuti. Ini terangkum menjadi suatu kapasitas Ilahiah, tetapi masih berbentuk Energi Potensial.
Kesadaran beragama dapat tumbuh melalui kepasrahan. Seiring dengan teori Relativitas Einstein bahwa c harus melebihi kecepatan cahaya 300.000 km/detik sehingga, akan menjadi kecepatan tak terhingga. Suatu benda yang bergerak relatif terhadap benda lain oleh Einstein termasuk mo (benda yang kita lewati). Adapun rumusnya,
m’= mo
√1-c²
u²
Jika, “u” lebih cepat dari kecepatan cahaya maka, massa yang bergerak itu menjadi makhluk malakuti (bukan menjadi dimensi material). m’ = 0 adalah tanpa bobot; dalam bahasa Ilahiah disebut “pasrah”.
Referensi:
Brockelman, Paul. Cosmology and Creation: The Spiritual Significance of
Contemporary Cosmology. New York: Oxford University Press. 1999.
Clark, Stuart Bdk, Towards the Edge of the Universe: A Review of Modern
Cosmology Bab. Observational Cosmology. John Wiley & Sons dan Praxis Publishing.
Davies, Paul. The Mind of God: Science and the Search for Ultimate Meaning. London: Simon
& Schuester. 1992.
Davies, Paul. God & the New Physics. England: Simon & Schuster, Inc., 1984.
Soetomo, Greg. Sains dan Problem Ketuhanan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1995.
Editor: Murteza Asyathri
This article is under the © copyright of the original Author:
(Zona-Nalar)
Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.