Manusia: Serigala Atau Domba? (Refleksi Pemikiran Erich Fromm)

Stats: 120 Views | Words: 1005

6 minutes Read




Penulis: Muhammad Hilmi Hafi R.
Editor: Fitriah Zahra

Banyak di kalangan kita yang meyakini bahwa manusia itu seperti layaknya domba. Namun, di sisi lain banyak juga yang meyakini bahwa manusia itu seperti layaknya serigala. Keduanya sama-sama mempunyai landasan. Yang berkeyakinan manusia adalah domba, membuktikan bahwa betapa manusia itu mudah dipengaruhi untuk taat kepada perintah.

Walaupun perintah itu cukup membahayakan bagi dirinya sendiri. Dalam sejarah-sejarah, banyak manusia-manusia yang patuh kepada pimpinannya untuk menjalankan peperangan yang sebenarnya menyebabkan penghancuran.

Sedangkan, yang berkeyakinan manusia adalah serigala, membuktikan bahwa betapa banyak manusia yang menggunakan kekuatan dan kuasanya untuk mencerabut kehendak manusia yang lainnya. Manusia yang puas saat membunuh dan menyiksa yang lainnya. Manusia yang bahagia di saat manusia yang lainnya terkena musibah.

Pemikir seperti Thomas Hobbes sampai berkesimpulan bahwa homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi manusia yang lainnya. Pendeknya, manusia domba berkeinginan untuk patuh, sedang manusia serigala berkeinginan untuk membunuh. Serigala yang menyuruh domba untuk membunuh, sedang domba melakukannya hanya sekedar ingin patuh.

Dari pernyataan di atas, maka muncul beberapa pertanyaan; apakah manusia itu sejatinya adalah serigala? Atau domba? Atau serigala yang berbulu domba?  Atau domba yang berbulu serigala? Jika jawabannya adalah manusia memang mempunyai dua jenis karakteristik, ada yang berkarakter seperti serigala dan ada juga yang seperti domba; maka, mengapa domba mudah dibujuk untuk bertindak seperti serigala?

Nah, dalam konteks inilah Erich Fromm mempunyai perspektif yang menarik.

Sekilas Biografi
Erich Fromm lahir pada tahun 1900, di Frankfurt, Jerman. Dia adalah seorang psikoanalis, sosiolog, dan sosialis demokrat. Fromm terkenal berkat karya-karyanya seperti Escape from Fredom (1941) dan The Art of Living (1956), dan asosiasinya dengan teori kritis Mazhab Frankfurt.

Masa kecil Erich Fromm tidak terlalu menyenangkan, yang mana Fromm kecil dikelilingi oleh tragedi kekerasan. Ayah yang bekerja sebagai pengusaha dan ibunya yang taat beragama seringkali bertengkar hingga ibunya mengalami depresi. Tidak hanya itu, saat Erich Fromm berumur 14 tahun terjadi tragedi peperangan besar yakni Perang Dunia I.

Dari peristiwa inilah, Fromm ingin sekali mengerti mengapa kejadian yang irasional itu terjadi. Dan pada kali ini dia memperoleh jawabannya dari tulisan-tulisan Karl Marx (Boeree, George C., 2010: 185). Setelah menerima gelar Ph.D. di tahun 1922 dari Heidelberg ia bekerja sebagai psikoterapis. Pada tahun 1934, ia pindah ke Amerika dan menjadi dosen yang produktif. Ia meninggal pada tahun 1980 di Swiss karena penyakit serangan jantung.

Nekrofilia dan Biofilia
Menurut Fromm ada jenis tipe kepribadian yang mencintai kehancuran dan kematian. Ia merasa puas saat dia bisa membunuh dan menyiksa orang lain. Ia kerahkan semua energinya, walaupun sebenarnya ia sadar akan nafsu ini. Fromm menyebut tipe kepribadian ini adalah nekrofilia.

Orientasi orang yang berkepribadian nekrofilia (nekrofilus) adalah cintanya terhadap kehancuran dan kematian. Ia terpikat dengan hal-hal yang berlawanan dari kehidupan. Kehidupan sifatnya dinamis, tak terkendali, sedangkan nekrofilus suka akan kepastian dan pengendalian. Sehingga supaya terkendali, kehidupan harus diubah menjadi kematian. Memang, kematian adalah satu-satunya yang pasti dalam kehidupan ini (Fromm, 2020: 21).

Pecinta kematian pasti juga cinta terhadap kekuatan (force). Meminjam definisi Simone Weil, kekuatan adalah kapasitas untuk mengubah manusia menjadi mayat. Dengan kekuatannya dia dapat mengendalikan, mengatur, dan merenggut kebebasan orang lain. Dia selalu berusaha mengubah kehidupan menjadi kematian, merusak demi kerusakan itu sendiri. Dia menggunakan kekuatannya bukan terpaksa karena keadaan, namun karena dengan kekuatannya dia bisa hidup.

Polaritas manusia normal adalah laki-laki dan perempuan, namun bagi nekrofil hanya ada dua jenis kelamin yaitu yang berkuasa dan yang dikuasai. Dia jatuh cinta pada yang orang yang membunuh dan benci pada orang yang dibunuh. Dia jatuh cinta pada yang orang yang  kuat (fisik) dan benci pada orang yang lemah.

Nekrofil dekat dengan sadisme. Dia  menganggap manusia adalah barang yang tak memiliki kehendaknya sendiri. Cenderung untuk memiliki daripada mengada, dia bisa mengaitkan diri dengan objek hanya jika dia memilikinya. Maka ancaman terhadap miliknya adalah ancaman terhadap dirinya, jika dia kehilangan miliknya maka dia kehilangan hubungan dengan dunia (Fromm, 2020: 19).

Lawan dari nekrofilia adalah biofilia. Biofilia adalah cinta pada kehidupan dan termanifestasikan dalam kesatuan manusia yang utuh; baik itu dalam proses jasmani, dalam pikiran, dalam emosi, dan dalam jiwa. Kecenderungan mempertahankan kehidupan dan melawan kematian adalah orientasi dasar tipe kepribadian biofilia (biofilus).

Menurut Fromm, biofilia dapat ditemukan dalam orientasi produktif dan yang menjalin hubungan dengan manusia lainnya berdasarkan kemanusiaan. Suatu hubungan manusia yang bebas dan setara dimana masing-masing orang dapat mempertahankan individualitas mereka. Biofilus ingin mencetak dan mempengaruhi orang lain dengan cinta, nalar, dan dengan teladannya, bukan dengan kekuatan dan kekuasaan yang selalu menganggap manusia lainnya seakan sama dengan barang.

Begitulah kira-kira dua tipe kepribadian ini. Namun, muncul pertanyaan selanjutnya; apakah ada orang yang murni nekrofil, atau murni biofil? Menurut Erich Fromm, bentuk murni dari dua kepribadian ini jarang sekali kita temukan. Sebab, seorang nekrofil murni adalah gila, dan seorang biofil murni adalah malaikat. Kebanyakan kepribadian manusia memiliki kadar tertentu antara nekrofilus dan biofilus.

Persoalannya adalah mana diantara keduanya yang dominan dalam diri kita? Dia yang dominan nekrofilusnya akan perlahan-lahan membunuh sisi biofilusnya. Biasanya dia tidak sadar akan cinta kematiannya ini, mengeraskan hati, atau akan bertindak sedemikian rupa hingga cinta pada kematiannya tampak sebagai respons logis dan rasional pada apa yang dia alami.

Sebaliknya, dia yang cinta pada kehidupannya masih dominan akan terkejut saat terbangun dan melihat betapa dekat dia pada lembah bayang-bayang kematian dan rasa terkejut ini akan membangunkannya untuk hidup. Dengan begitu dia harus memahami seberapa kuat kecenderungan nekrofilus dalam dirinya, juga seberapa sadar dia akan hal itu. Jika dia percaya bahwa dia berdiam di tanah kehidupan, padahal kenyataannya hidup di tanah kematian, maka dia kalah dari kehidupan karena tak punya kesempatan kembali (Fromm, 2020: 28).

Nekrofilus (senang terhadap penghancuran) adalah potensi sekunder  di dalam diri kita. Nekrofilus akan terjadi ketika potensi primer mencintai kehidupan, gagal untuk berkembang. Jadi, dapat kita pahami bahwa manusia yang seperti serigala adalah manusia yang nafsu dominannya adalah kehancuran. Sedang domba adalah manusia yang nafsu pada kehancurannya tetap sekunder—karena ditekan dorongan untuk terus hidup, namun masih cukup kuat dibangkitkan oleh para pembunuh dalam situasi-situasi tertentu.

Referensi:
C. George Boeree. “Personality Theories: Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia”. Yogyakarta: Prismasophie, 2010.

Erich Froom. “Perang Dalam Diri Manusia”. Penerjemah, Aquarina Kharisma Sari. Editor, A. Yusrianto Elga. Yogyakarta: IRCiSoD, 2020.

Erich Froom. “Lari Dari Kebebasan”. Penerjemah, Noa Dhegaska. Editor, Tia Setiadi. Yogyakarta: IRCiSoD, 2020.





Citation format :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *