Apa itu manusia? Bagaimana kita menjelaskan kemanusiaan kita sebagai manusia? Seorang filsuf bernama Martin Heidegger, guru dari Sartre dan Hannah Arendt menjelaskan pertanyaan ini dari sudut pandang yang unik, fenomenologi! Mari kita bahas dengan seksama!
Filsuf zaman Grika seperti Plato ketika ditanya tentang “apa itu manusia”, selalu dijawab dengan “mahluk hidup berkaki dua yang tak berbulu”, atau bahasa kerennya featherless biped. Lalu, filsuf lain bernama Diogenes pun menyindir pemikiran seperti ini. Ia membawa sebuah ayam yang telah dicabut bulunya dan berkata “inilah manusia, makhluk hidup berkaki dua yang tak berbulu!” Pemikiran ini kemudian berkembang sampai lebih dari 2.200 tahun kemudian, sampai kepada seorang profesor Jerman bernama Martin Heidegger!
Heidegger merupakan salah satu filsuf besar yang hidup pada abad ke-20, lahir pada tanggal 26 September 1889 ayahnya bernama Friedrich dan ibunya bernama Johanna Heidegger. Ayah Heidegger adalah seorang Katolik yang taat, ia bekerja di sebagai koster di gereja St. Martin di kota itu, dan Heidegger hidup dalam lingkungan Katolik yang sangat saleh. Sosok Heidegger yang digambarkan oleh muridnya Stefen Simanski, ialah seorang yang lebih cocok menjadi petani dibandingkan dengan cendikiawan “Perawakan Heidegger pendek dan ramping: rambutnya cukup tebal berwarna hitam dengan lintasan-lintasan putih.”
Heidegger kecil berkeinginan menjadi seorang imam dan masuk seminari. Cita-cita itu sudah tumbuh sejak kecil karena lingkungan keluarganya. Pada tahun 1906, Heidegger bersekolah di gimnasium kota Konstanz, di tepi Danau Bodensee. Lalu melanjutkan studinya di novisiat Serikat Yesus di Tisis pada tanggal 30 September 1909.
Tetapi karena alasan kesehatan, Heidegger memutuskan untuk tidak melanjutkan studinya dan bertahan di sana sekitar dua minggu. Setelah pulih akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan studinya di bidang filsafat dan teologi di Freiburg im Breisgau. Hingga pada titik terendahnya pada tahun 1911 dan akhirnya drop out dari pendidikan imamatnya dan memutuskan untuk tidak berhubungan lagi dengan gereja Katolik delapan tahun setelahnya.
Heidegger berkenalan dengan fenomenologinya Husserl dan memutuskan untuk mempelajarinya lebih dalam. Menurut catatan dari F Budi Hardiman dalam bukunya yang berjudul Heidegger: Mistik Keseharian (2020) Heidegger mampu memahami buku yang ditulis oleh Husserl yang berjudul Logische Untersuchungen (Penelitian-penelitian logis, 1900) yang sangat sulit untuk dipahami, bahkan karena terlalu sulit buku itu jarang sekali dilirik oleh para mahasiswa. Namun Heidegger mampu memahaminya dan hingga ingat tentang detail-detail yang tertulis di dalamnya. Hingga pada akhirnya antara Heidegger dan Husserl menjadi akrab satu sama lain karena Heidegger terlalu sering mengikuti kuliahnya Husserl.
Bagi Heidegger, pertanyaan ini merupakan pertanyaan fundamental dalam filsafat. Ia sangat tertarik dengan segala hal yang berhubungan dengan eksistensi dan wujud (being), bahasa kerennya adalah ontologi. Contohnya ontologi ini apa ya?
“Apa artinya ketika kita mengatakan bahwa sesuatu itu ada (exist)?”
“Apa saja hal-hal yang dapat dikatakan sebagai ada (exist)?”
Nah, ini adalah satu contoh pertanyaan tentang eksistensi. Tapi, Heidegger lebih memilih untuk menjawab “seperti apa sih menjadi seorang manusia itu?” Kita setuju bahwa anjing dan kucing adalah makhluk hidup, tapi kita juga mengetahui bahwa mereka tidak menanyakan “seperti apa sih menjadi seorang anjing/kucing itu?” Nah, Heidegger bilang kalau sesuatu yang mempertanyakan keberadaan tentang sesuatu itu namanya manusia (human being).
Dalam menempuh studi profesornya pada tahun 1915, Heidegger menulis Habilitationsschrift (sebuah karya tulis yang yang menjadi syarat untuk menjadi profesor di Jerman) bertemakan filsafat skolastik, Die Kategorien und Bedeutungslehre des Duns Scotus (Teori Duns Scotus tentang Kategori-kategori dan Makna). Pemahaman Heidegger mengenai filsafat sangat luas, Ia sangat tertarik dengan metafisika, terutama metafisika abad pertengahan, dan sangat menguasai filsafat-filsafat Yunani Kuno. Pernah pada tahun 1922 di Marburg ia membawakan kuliah yang membahas tentang Aristoteles dan entah bagaimana caranya, banyak yang tertarik untuk mengikuti kuliahnya.
Buku Heidegger yang berjudul Time and Being menjelaskan filsafat beliau sendiri dengan sangat elaboratif. Ketika Heidegger membicarakan arti dari keberadaan, ia menjauhkan ide-ide abstrak dan melihatnya dari sisi yang terarah. Dalam halaman awal buku Time and Being, ia mengatakan bahwa harus ada kaitan yang erat antara keberadaan kita dengan waktu. Misalnya, ketika kita dilahirkan, kita menemukan diri kita di dunia itu seolah-olah dilempar ke sebuah lintasan yang tidak dapat kita pilih. Kita adalah satu wujud yang ada di dalam sebuah dunia. Dunia yang sudah berjalan ribuan tahun berjalan sebelum kita hidup.
Kita akhirnya memaknai dunia ini dengan berbagai macam kegiatan, misalnya belajar bahasa Inggris, belajar filsafat dari akun keren @ZonaNalar, atau lainnya. Nah, melalui kegiatan-kegiatan inilah kita mulai mendefinisikan diri kita sendiri di masa mendatang. Masa mendatang? Iya, misalnya 10 tahun lagi kita akan mendefinisikan keberadaan kita sebagai seorang manusia yang mahir berbahasa Inggris dan tertarik dengan dunia filsafat.
Eksistensi kita di masa depan ini terkonstruksi dari aktivitas yang kalian lakukan sejak lahir. Tetapi, kita juga menyadari bahwa ada sebuah batasan yang membatasi kegiatan-kegiatan kita ini, titik di mana semua hal yang sudah direncanakan akan berakhir dan selesai. Apa itu? Kematian. Heidegger berkata bahwa kematian merupakan titik terluar dan terakhir dalam hidup kita yang tidak dapat dikendalikan, apalagi melampauinya.
Referensi:
Aqidah, P., Filsafat, D. A. N., Ushuluddin, F., Pemikiran, D. A. N., Islam, U., & Sunan, N.
(2018). Heidegger Dan Implikasinya Terhadap Kehidupan Beragama.
Hardiman, F. B. (2020). Heidegger: Mistik Keseharian (cetakan ke). KPG (Kepustakaan
Populer Gramedia).
“Filsafat Martin Heidegger Tentang Metafisika sebagai Ontoteologi” https://t.co/4sIjDn0mxH
“Pandangan Metafisika Martin Heidegger: Usaha Pencarian” Ada https://t.co/cOq6jVw8M6
Penulis: Rahayu Syahidah Karbela dan Ardiansyah
Editor: Murteza Asyathri
This article is under the © copyright of the original Author:
(Zona-Nalar)
Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.