Karakteristik Sains Islam
Kata ‘Islam’ pada sains menyematkan bahwa pada hakikatnya berkarakter islami. Sebagaimana Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya “Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern” mengatakan:‘apapun asal-usul material bagi sains, bentuknya selalu Islami dan berhubungan secara erat dengan prinsip-prinsip wahyu Islam dan semangat Al-Qur’an’.[1]
Al-Qur’an bukanlah sekedar bacaan, namun lebih daripada itu merupakan kumpulan yang menyimpan permata kearifan. Al-Qur’an bukan buku ilmiah, namun dapat digunakan untuk menjelaskan semua fenomena ilmiah yang terjadi di alam. Allah memberikan petunjuk melalui diturunkannya Al-Qur’an yang mencakup kajian ilmu pengetahuan yang dapat dibuktikan secara ilmiah.[2] Salah satunya sains, yang dalam Islam dikonstruksi sebagai pengetahuan yang selalu disatukan dengan yang sakral yaitu Tuhan. Sains Islam memegang teguh prinsip Al-Qur’an bahwa Tuhan lah pencipta yang mutlak dan satu-satunya pemberi keberadaan bagi alam semesta.[3] Saintis muslim selalu menyadari bahwa manusia mengetahui segala sesuatu itu berkat karunia Ilahi yaitu diberikannya fakultas intelegensia sebagai refleksi kecerdasan Ilahi pada tataran pikiran manusia.[4]
Produktivitas Saintis Muslim
Para ilmuwan muslim tidak diragukan lagi dalam melahirkan karya-karyanya, mereka tidak hanya mengembangkan ilmu-ilmu Agama, namun juga ilmu-ilmu umum. Keadaan tersebut mencirikan bahwa dahulu kala para ilmuwan muslim tidak hanya menguasai satu bidang keilmuan, mereka dapat menguasai lebih dari satu disiplin ilmu bahkan semua bidang keilmuan, seperti Ibn Sina dalam kitabnya al-Syifa’ yang memuat filsafat dan ilmu pengetahuan. Dunia Islam memiliki ilmuwan-ilmuwan besar pada bidang yang sangat luas, seperti kimia, fisika, minerologi, botani, zoologi, anatomi, kedokteran, astronomi, geologi, geografi, metereologi dan lain sebagainya.
Pada bidang kedokteran, seperti al-Razi, Ibn Sina, dan Ibn Nafis. Al-Razi memiliki kitab berjudul al-Hawi, yang merupakan kitab induk kedokteran setebal 20 jilid. Sedangkan Ibn Sina dengan karya medisnya berjudul al-Qanun fi al-Thibb, kitab ini telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa eropa dan dijadikan buku pembelajaran selama lebih dari 500 tahun di berbagai universitas eropa. Dan Ibn Nafis yang memiliki karya medis yang lebih besar (80 jilid) berjudul al-Syamil fi Shina at-Thibb. Sementara pada bidang astronomi dan optik, dunia Islam melahirkan ilmuwan seperti al-Farghani, al-Battani, al-Biruni, Ibn Haitsam dan lain sebagainya. Kontribusi para astronom muslim kepada barat terlihat pada kenyataan ide heleosentris kopernikus yang tidak mungkin tercetus kalau bukan karena kontaknya dengan karya astronom muslim. Bahkan sebelum kopernikus, Ibn Syatir telah lebih dulu menemukan teori heleosentris.[5]
Dalam bidang ilmu pengetahuan alam, ilmuwan muslim menulis tentang ilmu hewan dan tumbuhan, antropologi, geografi, geologi dan lain sebagainya, seperti al-Jahiz, Ibn Sina, Ibn Miskawaih, al-Quzwuni, Ikhwan al-Shafa dan lain sebagainya. Di barat, kita mengenal Charles Darwin sebagai pencetus teori evolusi, namun perlu diketahui bahwa sebelum Darwin sudah dikemukakan teori evolusi oleh al-Jahiz, Ibn Miskawaih dan Ikhwan al-Shafa. Menurut teori evolusi ilmuwan muslim, alam mineral lebih dahulu ada, kemudian alam tumbuhan, lalu alam hewan dan terakhir alam manusia.[6]
Penjelasan diatas membuktikan bahwa keinginan untuk mengamati dan meneliti fenomena alam yang ada pada diri saintis muslim sangat mengaplikasikan semangat keilmuan yang ada dalam Al-Qur’an. Dan tidak kalah jika mau dibandingkan dengan sains barat, dikarenakan barat pun kenapa bisa maju seperti saat ini, tidak lain karena pengaruh dan andilnya para ilmuwan muslim.
Sains Islam Menyaingi Sains Barat
Kemajuan sains barat seakan-akan tidak dapat tertandingi dikarenakan barat memisahkan dirinya dengan Agama yang mengakibatkan sains barat itu memiliki prinsip bebas nilai dan membuat barat semakin berkuasa dikarenakan negara dan masyarakat nya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan sains justru dijadikan alat untuk menumbuhkan kolonialisasi dan dijadikan bisnis industri. Negara-negara berkembang, termasuk negara-negara muslim merasa dirinya tergantung pada bantuan dari negara-negara modern terhadap setiap hal dari kehidupan mereka, seperti bantuan ekonomi, teknologi dan lain sebagainya.[7] Keunggulan negara modern ini membuat negara-negara muslim tergiur dan tertarik untuk mencoba mengikuti apa yang telah dilakukan barat, terutama majunya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tetapi tidak boleh dilupakan bahwa kaum muslim sendiri dapat memandang Agamanya secara lebih utuh, yakni bahwa Islam sebagai kekuatan peradaban yang sudah terbukti dapat mendorong pemeluknya untuk dapat menjadi perambah jalan bagi penciptaan masa depan kemanusiaan yang progresif. Secara historis, sains adalah sumbangan terbesar peradaban Islam kepada dunia modern dan juga memancarkan kemilau aslinya kepada kehidupan eropa.[8]
Oleh karena itu, umat muslim tidak boleh merasa pesimis di hadapan barat, para ilmuwan muslim telah diakui pengaruh nya pada barat sebagaimana Herbert A. Davies menyatakan:
“Mereka (orang-orang muslim) mendirikan universitas-universitas besar yang selama beberapa abad melebihi yang dipunyai oleh orang eropa Kristen. Universitas-universitas di Baghdad, Kairo, Kordoba, khususnya amat termasyhur, universitas Kairo memiliki mahasiswa sebanyak 12.000 orang, perpustakaan-perpustakaan besar dibangun, beberapa diantaranya berisi ratusan ribu jilid buku yang semuanya terdaftar dan tersusun rapi. Banyak orang Kristen yang belajar di universitas Kordoba, kemudian membawa ilmu dan kebudayaan ke negeri-negeri asal mereka. Pengaruh universitas Spanyol (Islam) atas universitas-universitas Paris, Oxford dan universitas-universitas yang mereka bangun di Italia tentunya besar”.[9]
“Sekiranya orang Arab bersifat ganas seperti orang Mongol dalam menghancurkan api ilmu pengetahuan… Renaisans di Eropa mungkin akan terlambat lebih dari serratus tahun” (Alfred Guillaume).
“Orang Islam lah yang menyebabkan orang-orang Eropa mempunyai peradaban. Mereka lah yang menjadi guru orang Eropa selama enam ratus tahun” (Lebon).
Dalam hal saintis sendiri, tak terbilang banyak jumlahnya saintis muslim yang merupakan penemu dan perintis di berbagai bidang sebagaimana yang telah dijelaskan diatas mengenai produktivitas saintis muslim. Salah satunya Roger Bacon yang dianggap sebagai penemu metode eksperimen, pun mempelajari dan dipengaruhi oleh sains Islam. Al-Khawarizmi sebagai perintis aljabar, tanpanya semua matematika dan aritmetika modern tak terbayangkan keberadaannya. Dan masih banyak temuan dan karya saintis muslim yang mempunyai pengaruh pada peradaban barat. Hikmah yang dapat diambil dari penetrasi sains Islam ialah merespon positif ajaran Islam melalui wahyu Tuhan untuk terus berinovasi (ijtihad) dengan menggunakan akalnya dalam menyelidiki fenomena alam semesta dan memahami hukum alam (Sunnah Allah) sebagai ayat-ayat kauniyah demi meraih kemajuan kehidupan umat manusia.
Sumber Pengetahuan Sains Islam dan Sains Barat
Sumber pengetahuan menjadi salah satu pembahasan dalam epistemologi. Masing-masing peradaban memiliki sumber pengetahuan tersendiri. Dalam Islam, alam semesta merupakan salah satu sumber pengetahuan, yang dimaksud dengan alam ialah alam fisik, alam ruang dan waktu, alam yang sekarang kita hidup didalamnya, dan kita mempunyai hubungan dengan alam ini dengan menggunakan pelbagai indera kita.[10]Sumber-sumber lain menurut epistemologi Islam ialah indra, akal dan hati (intuisi).[11] Sedangkan sumber pengetahuan dalam epistemologi barat ialah akal dan indra.
Sisi menarik terlihat pada epistemologi Islam yang menggunakan hati (intuisi) sebagai sumber pengetahuan, sementara di barat, pengetahuan intuisi tidaklah ilmiah dan hanya subyektivitas belaka. Padahal, intuisi bukan hanya beroerientasi pada wahyu, tetapi juga berhubungan dengan perasaan. intuisi mampu memahami dan mengenali secara akrab banyak hal yang tidak bisa dipahami oleh akal. Sains yang menghasilkan teknologi, secara aksiologis penggunaan teknologi sendiri bersifat relatif, bisa digunakan untuk kemaslahatan umat manusia atau malah memperburuk kehidupan manusia. Jika intuisi tidak dipakai dalam menciptakan teknologi, tentu akan menjadi pembunuh kehidupan manusia termasuk alam itu sendiri. Jadi, intuisi bukan hanya berurusan dengan wahyu tetapi juga berhubungan dengan kemanusiaan.
Kritik Sains Islam terhadap Sains Barat
Basis ontologis sains barat mengakui bahwa ‘yang ada’ hanya bersifat fisik dan secara epistemologi hanya bersumber akal dan indra. Segala hal yang bersifat metafisik akan ditolak. Seperti pandangan saintis barat yaitu Stephen Hawking yang mengatakan bahwa Tuhan tidak terlibat dalam penciptaan alam semesta dan membicarakan Tuhan dengan metode sains telah melampaui sains itu sendiri karena Tuhan bukan lagi wilayah kajian sains. Kemudian juga eksperimen yang dilakukan oleh Sam Harris bahwa gagasan soal Tuhan adalah hasil kerja otak belaka, artinya Tuhan adalah produk pikiran manusia belaka.[12]
Disingkirkannya Tuhan pada sains barat berimbas pada kehidupan manusia yang jauh dari Yang Transenden. Manusia tidak lagi mengenali prinsip Ilahi, yang mereka kenali hanyalah sebatas materi fisik. Efeknya, manusia sudah tidak lagi merasa dirinya sebagai wakil Tuhan, tetapi Tuhan itu sendiri. Mereka merasa berkuasa atas alam, berhak melakukan apa saja berdasarkan kepentingan individu nya. Segala yang dihasilkan oleh manusia merupakan berkat usahanya sendiri melalui akal dan indra tanpa mengikutsertakan peranan Tuhan didalamnya. Akhirnya, segala sesuatu yang dihasilkan melalui sains barat cenderung bersifat antroposentris.
Sementara basis ontologis sains Islam mengakui ‘yang ada’ bersifat fisik maupun non-fisik dan secara epistemologis segala pengetahuan dapat diperoleh melalui akal, indra dan intuisi. Sains Islam tetap melandaskan pengetahuannya pada kecerdasan Ilahi sebagai limpahan bagi intelegensi saintis muslim. Sehingga manusia tetap menjadi wakil-Nya yang bertugas memelihara dan menjaga keseimbangan alam. Manusia tetap mempunyai peran dalam menerima wahyu Tuhan dengan menggunakan akalnya dan melakukan pengamatan indra terhadap alam semesta yang mengandung tanda-tanda keberadaan Tuhan. Jadi, bisa dikatakan sains Islam bercorak Teoantroposentris.
Zaman sekarang, digambarkan oleh Seyyed Hossein Nasr sebagai zaman yang terpisah dengan Tuhan, keterpisahan dengan yang tak terbatas, manusia seperti kehilangan orientasinya sehingga menimbulkan krisis ekologi. Seperti dalam beberapa tahun terakhir, tindakan agresif demikian mencolok terhadap alam, seperti tumpahan minyak yang besar, pembakaran hutan tropis, pembalakan liar, dan eksploitasi terhadap alam lainnya. Tindakan itu memicu pemanasan iklim serta penipisan lapisan ozon.[13] Dapat dikatakan bahwa krisis lingkungan, keburukan kota dan lain-lain semacamnya adalah akibat dari usaha manusia yang ingin melepaskan kehendaknya dari kehendak Tuhan dan untuk menyatakan kemerdekaannya dari kekuatan surgawi.[14]
Seyyed Hossein Nasr menjelaskan salah satu penyebab utama kurang diterimanya dimensi spiritual terkait krisis ekologi adalah bercokolnya saintisme yang terus menghadirkan sains barat bukan sebagai cara tertentu untuk memahami alam, tetapi semacam filsafat absolut dan totaliter yang mereduksi semua realitas ke ranah fisika dan tidak mempunyai keinginan sama sekali untuk menerima kemungkinan adanya pandangan dunia yang metafisik.[15] Kritik sains Islam terhadap sains barat yaitu bahwa ketidakseimbangan pada basis ontologisnya yang hanya membatasi pada wilayah fisik berakibat pula pada basis epistemologisnya melalui rasio maupun pengamatan indra. Ketidakseimbangan inilah yang dapat mengakibatkan sains barat membawa dampak buruk bagi kehidupan manusia seperti polusi, hujan asam, radiasi nuklir[16], dan lain sebagainya. Justru keutuhan sains baik dari segi ontologi, epistemologi, dan aksiologi itulah yang dapat membawa kebaikan pada kehidupan manusia.
[1] Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, (Bandung: Pustaka, 1994), h. 124.
[2] Ridwan Abdullah Sani, Al-Qur’an dan Sains, (Jakarta: Amzah, 2020), h. 20.
[3] Seyyed Hossein Nasr, Islam, Sains dan Muslim, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2022), h. 54-55.
[4] Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, h. 125.
[5] Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 171.
[6] Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1996), h. 35.
[7] Bustanuddin Agus, Integrasi Sains dan Agama, (Jakarta: UI-Press, 2013), h.111.
[8] Haidar Bagir dan Ulil Abshar Abdalla, Sains “Religius”, Agama “Saintifik”, (Bandung: Mizan, 2021), h. 95.
[9] Haidar Bagir dan Ulil Abshar Abdalla, Sains “Religius”, Agama “Saintifik”, h. 95-96.
[10] Murtadha Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam, Terj. Muhammad Jawad Bafaqih, (Jakarta: Sadra Press, 2010), h. 72.
[11] Mulyadhi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan, 2003), h. 18.
[12] Goenawan Mohamad, dkk. Polemik Sains, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2021), h. 49.
[13] Seyyed Hossein Nasr, Problematika Krisis Spiritual Manusia Kontemporer, Terj. Muhammad Muhibbudin, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2022), h. 7.
[14] Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, (Bandung: Pustaka, 1983), h. 21.
[15] Seyyed Hossein Nasr, Problematika Krisis Spiritual Manusia Kontemporer, Terj. Muhammad Muhibbuddin, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2022), h. 9.
[16] Amirullah, Krisis Ekologi: Problematika Sains Modern, Jurnal Lentera, Vol. XVIII, No. 1, (Juni, 2015), h. 4.
This article is under the © copyright of the original Author:
(Zona-Nalar)
Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.