Manusia selalu berusaha mencari kebenaran, entah itu nyata atau hanya ilusi. Manusia akan tetap membutuhkan suatu konsep kesempurnaan untuk dipegang sebagai suatu kebenaran. Dalam sejarah, hal seperti itu sering muncul sebagai pikiran, ideologi, agama dan konsep-konsep ide lainnya (Metafisika) sebagai suatu konsep kebenaran yang totalitas.
Kebenaran selalu bersanding dengan penyebab peperangan dan permusuhan di antara umat manusia. Ironisnya dengan konsep-konsep indah yang ditawarkan seperti kebebasan, kesetaraan dan konsep-konsep moral lainnya, justru sebagai penyebab permusuhan bagi kelompok lain yang berlawanan dari kelompoknya. Contoh dalam sejarah seperti saat perang dunia ke-2 (antara Marxisme–Leninisme, Fasisme nazi, dan liberalisme) dan perang salib (perang antar agama). Di mana masing-masing pihak memiliki cita-citanya sendiri dalam menciptakan tatanan dunia yang ideal, tetapi lagi-lagi lewat jalan peperangan dan permusuhan.
Dalam dua bukunya, Homo Deus dan Sapiens, Harari menjelaskan bahwa saat manusia pertama kali menemukan api, manusia telah bisa untuk mengembangkan bahasa yang kompleks. Kemudian dapat menciptakan fiksi, yang kelak hal itu menjadikan manusia “lebih unggul” dari binatang-binatang lain. Fiksi sendiri adalah kemampuan pikiran manusia untuk menciptakan suatu hal yang tidak ada menjadi ada, atau lebih tepatnya suatu “kebohongan” yang disepakati bersama.
Dengan fiksi tersebut manusia mampu untuk menyatukan beberapa manusia lain untuk saling bekerjasama atas nama suatu fiksi, dan itu sebab dari kemajuan ras umat manusia. Ideologi, agama dan konsep-konsep ide lainnya (Metafisika) juga termasuk dalam fiksi yang sistematis, yang dimana dalam fiksi tersebut mencita-citakan suatu konsep yang ideal yang dipegang bersama.
Pengonsepan dunia adalah sebagai usaha manusia untuk memahami dunia, denga cara apapun, walaupun masih belum memiliki pemahaman atas dunia, tetapi dengan keegoisan nya memaksakan suatu gambaran, disesuaikan dengan dunia dan menilainya. Manusia juga memiliki kecenderungan untuk ingin selalu mencari inti dari segala sesuatu, dan berusaha untuk dapat memahami seutuhnya, tak terkecuali dunia itu sendiri.
Pemaksaan untuk memahami dunia akan menyebabkan pandangan manusia akan cacat dan tidak sesuai dengan dunia apa adanya. Keacakan realitas dunia menjadikan manusia takut akan ketidakpastian, serta kemungkinan akan datangnya suatu ancaman kematian. Dari ketakutan itu maka muncullah suatu pikiran dunia, yang sebenarnya cacat, untuk dapat menenangkan manusia itu sendiri.
Kebohongan yang menjadi kebenaran
Jika fiksi tentang suatu konsep kebenaran totalitas tersebut dianggap menjadi kebenaran mutlak bagi orang yang memegangnya, hal itu justru yang akan menyebabkan kehancuran dan peperangan antar kelompok. Hal itu juga akan menjadikan realitas yang ada dibengkokkan dan lebih memilih untuk percaya dengan cita-cita yang ada dalam konsep kebenaran totalitas tersebut. Hal itu terjadi pada Winston dalam novel Dystopia Nineteen Eighty-Four yang ditulis oleh George Orwell. Di mana latar di dalam novel tersebut digambarkan dalam negara totalitarian, di mana hanya ada satu partai penguasa yang mengatur seluruh kehidupan masyarakatnya yang dilandaskan pada suatu cita-cita bersama.
Setiap pandangan baik dan buruk ditentukan oleh partai sepenuhnya. Seluruh aliran informasi dan sejarah juga ditentukan sepihak oleh partai dengan janji agar dapat mencapai dunia yang ideal. Senyatanya kondisi negara tersebut sebenarnya sedang sekarat dan hal itu disadari oleh Winston. Ia menyadari bahwa masyarakat di negara itu, khususnya anggota partai, telah buta pada realitas. Mereka dimabukan oleh janji dan harapan yang selalu digaungkan dalam setiap media di negara itu.
Mungkin itu gambaran kecil saja dari Nineteen Eighty-Four yang sebenarnya masih banyak detail yang menarik dari novel itu, khususnya tentang topik dalam pembahasan ini. Novel tersebut menggambarkan bagaimana kondisi dari masyarakat yang telah terbius oleh konsep kebenaran totalitas, dalam artian yang ekstrim. Dengan setiap orang dalam suatu kelompok sama-sama mengidealkan hal sama maka akan menciptakan kebersamaan dan persatuan. Akan tetapi, di sisi lain dapat menciptakan diskriminasi dan peperangan dengan kelompok lain yang berbeda pandangan, atau dalam kasus ekstrem menjadikan buta pada realitas yang sebenarnya.
Kebutuhan untuk percaya
Fiksi tentang gambaran ideal dunia tidak selalu buruk bagi manusia. Dengan bukti, fiksi telah menjadikan manusia memiliki peradaban yang dapat menginjakkan kaki di bulan. Sekarang pun masih ada pikiran ideal yang tetap eksis, dan terus berkembang seperti agama-agama besar, sistem ideologi barat, marxisme dan mungkin masih banyak lagi. Sebenarnya manusia butuh untuk percaya pada sesuatu, entah dalam bentuk apapun sebagai nilai fundamental dalam hidupnya. Dengan tidak adanya pengonsepan akan dunia yang dicitacitakan, manusia akan tidak ada bedanya dengan binatang; akan liar tanpa memiliki prinsip yang dipegang. Juga manusia akan rentan untuk bunuh diri dan berkemungkinan umat manusia akan punah.
Walaupun nilai yang dipegang harus dalam takaran yang realistis dan bersifat privat. Bukan sebagai kebenaran mutlak yang harus dipaksakan pada individu lain. Dalam novel Nineteen Eighty-Four Winston pun sebenarnya juga menggambarkan suatu tatanan negara yang ideal menurut pikiran dirinya. Meskipun yang membedakan dari anggota partai lain adalah cita-citanya tentang dunia lebih lunak dan privat. Sebenarnya tidak ada dan tidak mungkin fiksi-fiksi seperti itu hilang dalam suatu zaman selagi masih ada manusia. Tetapi yang menjadikan suatu masalah adalah seberapa banyak dosis yang dipakai oleh seseorang itu. Yang mengakibatkan musibah bagi individu, atau suatu kelompok.
Filsuf Jerman Friedrich Nietzsche menawarkan suatu sikap atas masalah tersebut, yaitu dengan selalu mengambil jarak dengan konsep-konsep tersebut. Tetapi juga dengan tidak menolak gagasan bahwa manusia butuh untuk percaya pada sesuatu. Nietzsche mengajukan untuk individu selalu mengalir, dalam artian sebagai nilai fundamental, tanpa pernah mematenkan satu konsep kebenaran ideal tunggal. Manusia memang butuh suatu nilai, tetapi itu hanya sebatas pemenuhan kebutuhan untuk dapat meneruskan hidup saja. Tanpa menganggap nilai yang individu pegang itu sebagai suatu kebenaran.
Menurut Nietzsche, konsep ideal seperti itu harus dipandang sebatas barang saja yang disesuaikan dengan kebutuhan manusia dan harus diganti seiring waktu. Maka Nietzsche mengajukan seseorang harus lebih dinamis dan progresif. Dalam hal nilai yang dipegang manusia atas pikiran akan dunia, entah itu individu atau kelompok, seperti ideologi, agama dan konsep-konsep ide lainnya (Metafisika). Tetapi sebenarnya Nietzsche sendiri pun telah mengajukan gagasan tentang dunia yang ideal lewat pemikirannya, dan jika di teliti lagi itu akan menjadikannya paradoks.
Karl Marx dalam bukunya A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right, dalam suatu kutipan yang sudah klise, “Agama adalah desah napas keluhan dari makhluk yang tertekan, hati dari dunia yang tak punya hati, dan jiwa dari kondisi yang tak berjiwa. Ia adalah opium bagi masyarakat.”
Editor: Ahmed Zaranggi
Kepustakaan
Harari, Y. N. (2015). Sapiens: A brief history of humankind. HarperCollins.
Harari, Y. N. (2018). Homo deus: Masa Depan Umat Manusia. Pustaka Alvabet.
Nietzsche, F. (2002). Senjakala berhala Dan anti-krist (2017 ed.). Narasi & Promethea. ISBN: 978-979-168-536-3
Nietzsche, F. (2008). Zarathustra. Ircisod.
Orwell, G. (1949). 1984 (2016 ed.). Bentang Pustaka. ISBN: 978-602-291-234-7
Center, S. A. (2013, June 1). Kelas Filsafat. Tentang Nietzsche. Übermensch [Video]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=nsyzhP5saWA
Center, S. A. (2013, May 31). Kelas Filsafat. Tentang Nietzsche. Nietzsche Kehendak dan Kebutuhan untuk Percaya [Video]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=nX4zTEANHEA
This article is under the © copyright of the original Author:
(Zona-Nalar)
Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.