PPIDK TIMTENGKA bekerja sama dengan Zona Nalar menggelar rangkaian ketiga dari Madrasah Puskaji pada 20 April 2022. Kajian Isu Kontemporer pada kesempatan ini mengusung tema “Hak Asasi Manusia dan Islam”. Adapun narasumber pada kajian ini adalah Khotimun Susanti selaku Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi LBH APIK dan Fajri Matahati Muhammadin, Ph.D. selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Acara berlangsung dari pukul 15.30 WIB hingga 17.15 WIB.

Acara diawali dengan pembacaan basmallah, serta pemutaran lagu Indonesia Raya dan Mars PPI Dunia. Adapun MC yang memandu jalannya kegiatan ialah Sayyida selaku Staf Dep. Pusat Kajian & Literasi, PPIDK TIMTENGKA. Kegiatan ini dibuka dengan Opening Speech oleh Nurul Khair selaku Deputi III Bidang Sosial, Budaya, dan Keagamaan Puskaji PPIDK TIMTENGKA (2021-2022) yang menyambut hangat kehadiran narasumber dan para peserta.

Menurut Nurul, HAM merupakan kajian yang sangat penting. Eksistensi Islam memiliki pengaruh besar terkait HAM. Namun, ada fenomena gerakan separatis yang mempengaruhi citra Islam di mata dunia, misalnya tumbuhnya Islamophobia. Maka, kita harus memberikan solusi dan mengkaji tentang HAM. Tujuannya adalah menambah wawasan, serta menarik relasi HAM dan Islam dalam konteks kekinian. Akhir sambutan, ia mengutip pernyataan Sayyidina Ali: “Mereka yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan.”

Sementara itu, moderator pada kajian siang hari ini adalah Nuri Barezatul Bilqish selaku Staf Departemen Pusat Kajian dan Literasi PPIDK Timtengka. Sebelum memberi kesempatan kepada narasumber, Nuri mengulas tentang ruang lingkup Islam dan HAM, serta kaitannya dengan sila keempat Pancasila. Ia pun membacakan CV singkat kedua narasumber narasumber yang memiliki latar belakang pendidikan hukum. Namun, Ibu Khotimun merupakan seorang aktivis, sedangkan Pak Fajri adalah seorang akademisi.

 

HAM Sejalan dengan Nilai-nilai Islam

             Khotimun Susanti, yang sehari-hari fokus pada advokasi kebijakan dan hukum yang terkait dengan isu-isu perempuan, mengungkapkan bahwa diskursus HAM sangat menarik. HAM kerap dianggap ancaman yang berasal dari Barat, tetapi ada juga yang mensarikan konsep HAM dalam konteks kekinian dan menganalisis relasinya dengan Islam. Kita tak bisa memungkiri bahwa konsep Islam lebih dahulu ada daripada konsep HAM. Oleh karena itu, kita harus menjawab apakah konsep HAM masih relevan atau tidak.

Dalam konteks Nusantara, HAM lahir dari pemikiran dan gerakan melawan penjajahan bangsa lain; karena ada kekuasaan yang merampas hak-hak individu. Pada masa itu, para pemikir dan masyarakat berupaya menafsirkan hak atas kebebasan bangsa dan individu. Ini dilakukan demi membebaskan diri dari ketertindasan, serta membantu orang lain dari ketertindasan. Ketika dinilai dengan pendekatan kodrati manusia, sesungguhnya manusia lahir sudah memiliki hak sebagai invidu, komunitas, dan negara. Namun, sayangnya dirampas oleh kekuasaan struktural atau kepemimpinan kultural. Nah, HAM lahir karena reaksi tersebut.

Sistem Konstitusional berdasarkan hukum bertujuan untuk keluar dari cengkeraman dominasi dari kekuasaan atau kelompok tertentu. Perkembangan HAM di dunia ditandai dengan Magna Charta, Revolusi Amerika, dan Revolusi Prancis. Kemudian, PBB mencanangkan Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal pada 1948. Dalam HAK, ada hak dan kewajiban, yang mana tindakan kita tidak merugikan orang lain.

Di Indonesia, HAM yang diperjuangkan pada masa pra-kemerdekaan adalah hak untuk merdeka dan berdaulat. Pendekatan dan model perlawanannya beragam demi perlindungan hak-hak individu dan kelompok di Nusantara. Muhammadiyyah dan NU, misalnya, melakukan perjuangan di masa pra-kemerdekaan dengan berlandasakan pada ajaran Islam bahwa setiap orang sederajat di mata Allah kecuali taqwanya. Kemudian, organisasi-organisasi Islam beradaptasi dengan sistem yang ada dengan fokus pada pendidikan dan sosial, serta menjaga identitas kebangsaannya. Seiring perkembangannya, HAM pun dimanifestasikan dalam produk hukum pada era orde lama, orde baru, reformasi, dan pasca reformasi.

Apabila kita amati, ide-ide “kesetaraan” yang ada dalam HAM sebenarnya ide-ide dalam Islam, tetapi mendapatkan stigma ‘kiri’.  Selain itu, HAM dianggap konsep individualis; pertanyaannya, “Apakah bisa mempertentangkan antara individualisme dan komunalisme?” Namun, sebagian kelompok Islam memandang konsep HAM sebagai ancaman yang berpotensi menggerus identitas kebangsaan dan keislaman.  Di lain sisi, ada kelompok Islam yang berpandangan bahwa nilai-nilai HAM selaras dengan nilai dasar Islam, misalnya Islam rahmat lil ‘alamin, kebebasan, kesederajatan, dan mengakui perbedaan.

Selain itu, perempuan yang menjabat sebagai Ketua Nasyiyatul Aisyiyah ini mengungkapkan bahwa ajaran Muhammadiyyah pun tidak bertentangan dengan HAM. Sebagaimana K.H. Ahmad Dahlan memperjuangkan hak manusia untuk berpendidikan, hak orang miskin mendapatkan kesehatan, serta hak-hak lainnya. Hal tersebut termanifestasi dalam pembuatan sekolah modern dan rumah sakit yang berlandaskan pada “Teologi al-Ma’un”. Teologi ini berpandangan bahwa setiap manusia bertanggung jawab atas kepemimpinan di bumi, yakni menciptakan kemakmuran, serta memperhatikan nasib kaum Mustadh’afin. Sebagaimana nilai yang diusung Kuntowijoyo, yaitu transedensi, humanisasi, dan liberasi.

 

Perdebatan HAM dan Islam

Fajri M. Muhammadin, mengungkapkan tiga model relasi terkait HAM dan Islam, yaitu  tidak ada masalah antara keduanya; keduanya sangat bertentangan; dan mencari irisan antara keduanya [Islamic Human Rights]. Dosen Departemen Hukum Internasional UGM ini pun mengungkapkan ciri-ciri HAM: 1) Source of Authority; 2) Moral Currency; 3) Ownership of Rights; 4) Position of Duties; 5) Claim of Universality. Fajri mengkritisi masing-masing poin dengan bingkai nilai-nilai yang diyakini dalam Islam/

Menanggapi tentang diskursus HAM yang berkembang dewasa ini, maka kita tidak perlu takut dibilang tidak toleran, diskriminasi, atau misoginis selama sesuai dengan syariat Islam. Menurutnya, apabila makna HAM itu berbeda-beda, maka akan membingungkan ketika berdebat dalam isu-isu turunannya. Sehingga, hal yang terpenting adalah mempelajari Islam secara komprehensif, serta mengamalkan ajarannya dalam kehidupan sehari-hari.

Dosen yang sedang menempuh Postdoctoral Research Fellow di Istanbul Sabahattin Zaim University ini kembali menegaskan bahwa syariat Islam sudah sempurna, sehingga kita tak perlu merasa inferiority complex. Selain itu, kita harus memahami kerangka berpikir Islam dan Barat secara mendalam, bukanlah seperficial. Namun, ia mengakui bahwa ruang ijtihad masih terbuka sesuai koridor yang ada.

Lalu, bagaimana kita memakai instrumen-instrumen HAM internasional. Menurut Fajri, kita harus berlandaskan pada keyakinan bahwa syariat Islam adalah sebagai kerangka dan titik tolak awal. Kemudian, jika ada instrument HAM internasional yang kiranya bermanfaat untuk membantu mewujudkan maqasid al-syari’ah, maka kita bisa ambil. Di lain sisi, jika ada instrument HAM internasional yang bertentangan dengan syariat Islam, maka kita buang. Jadi, posisinya jangan terbalik karena nilai-nilai Islam lebih universal. []

 

 

 

 



This article is under the © copyright of the original Author: Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
(Zona-Nalar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3 × 5 =