“Dari mana kejahatan berasal?” Itulah pertanyaan yang menjadi titik mula studi kriminologi, yaitu studi alternatif dari hukum yang lahir karena ketidakmampuan hukum itu sendiri menghilangkan kejahatan di dunia.
Kendati secanggih apapun hukum dibuat, kejahatan tetap akan eksis. Alih-alih memberangus kejahatan, studi kriminologi berpaling dari pertanyaan awal tadi:
“Dari mana kejahatan berasal?”
Perigi misteri jawaban ini berusaha dijawab oleh ‘teori anomie’ dalam kriminologi. Teori anomie dikembangkan oleh seorang sosiolog bernama Emile Durkheim. Menurutnya, anomie adalah suatu kondisi sosial yang muncul ketika individu kehilangan norma atau nilai yang berlaku di masyarakat.
Beberapa kriminolog percaya, terdapat situasi anomie dalam kejahatan. Hal ini terkait erat dengan dimensi sosial (pengaruh luar) di sekitar pelaku kejahatan. Dalam hal ini, anomie dapat memunculkan ketidakpuasan dan kecemasan yang dirasakan oleh individu yang merasa kehilangan arah, misalnya karena menghadapi situasi sosial dan ekonomi yang sulit; sehingga, dapat memicu perilaku kriminal.
Apabila grand narasi (narasi besar atau metanarasi) moral di sekitar penjahat melanggengkan terjadinya kejahatan, maka kejahatan akan dianggap sebagai hal yang wajar bahkan niscaya dilakukan.
Namun, bukankah narasi besar moral kita telah ajek? Yang hitam telah hitam, demikian yang putih sudah pasti putih. Pada faktanya, narasi besar moral telah melahirkan moral-moral turunan bahkan sistem moral yang berkebalikan.
Orang-orang atau kaum yang dilabeli ‘kaum bawah’ dilabeli dengan stigma ‘gelap’. Semakin jauh kaum itu dari kecerahan moral, semakin ia jauh dari modal-modal kapitalis berupa pendidikan, kekerabatan, dan kuasa.
Semakin jauh individu dari modal-modal itu, semakin sulit pula individu meraih tujuannya. Inilah intisari kelahiran kejahatan dalam “teori anomie”. Ketidakmungkinan mencapai kebahagiaan dari orang orang yang dilabeli gelap tadi, membuat mereka mencari alternatif moral—yang tak lain dari perilaku-perilaku kejahatan.
Lantas pada kesempatan ini, kami akan membahas satu instrumen peng-isolasi-an offender (pelanggar atau orang yang bersalah) berwujud kurungan. Hadirnya kurungan atau penjara diharapkan menghapus timbulnya kejahatan di masa depan, namun yang tidak societas (masyarakat) lihat dalam situasi ini adalah kemungkinan terciptanya “anomie”.
Di mana para individu yang telah dilabeli dengan kegelapan justru disatukan dan mengindikasikan kelahiran moral baru. Artinya kejahatan dilanggengkan oleh masyarakat di dalam prison (penjara): yang mana penjara secara absolut telah memisahkan diri mereka dari tujuan-tujuan nya.
Terlebih lagi dalam filsafat Foucauldian, penjara dianggap sebagai salah satu instrumen untuk melanggengkan kekuasaan itu sendiri. Dalam konteks ini, Foucauldian merujuk pada konsep, teori, dan metodologi yang terkait dengan karya-karya Michel Foucault, seorang filsuf dan sejarawan Prancis.
Pendekatan Foucauldian menekankan pada analisis kekuatan dan pengaruhnya pada individu dan masyarakat. Dalam praktiknya, pendekatan Foucauldian dapat digunakan untuk menganalisis berbagai fenomena sosial, termasuk kebijakan publik dan sistem penjara.
Menurut Michel Foucault, penjara adalah institusi yang mengekang kebebasan individu dan memperkuat kekuatan negara. Dalam karyanya yang terkenal, Discipline and Punish: The Birth of the Prison (1975), Foucault menganalisis perkembangan sistem penjara di Eropa dari abad ke-18 hingga abad ke-19.
Berdasarkan pendekatan Foucauldian, negara perlu menjaga kestabilan dengan cara pematuhan tubuh-tubuh individu. Sebagaimana sejarah panjang penjara dan rumah sakit jiwa yang memang dikhususkan bagi mereka yang dianggap nir-moral.
Penjara hanyalah salah satu dari sejumlah sanksi yang tersedia untuk menangani mereka yang melakukan tindak pidana. Penjara hari ini termasuk sanksi paling keras yang tersedia, meskipun kenyataannya tidak selalu demikian.
Pada 1777, John Howard mengutuk sistem penjara yang tidak teratur, tidak manusiawi, dan kotor. Dia menyerukan reformasi luas misalnya, tahanan laki-laki dan perempuan dipisah, inspeksi luar, pola makan yang layak, sanitasi diperbaiki, dan kebutuhan lain untuk tahanan. Menurutnya, tujuan penjara adalah mereformasi dan merehabilitasi, tidak hanya hukuman.
Penulis: Krisna Putra Pratama dan Howard League
Editor: Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Referensi:
https://plato.stanford.edu/entries/foucault/#HistPris
This article is under the © copyright of the original Author:
(Zona-Nalar)
Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.