Apakah manusia merupakan makhluk yang benar-benar bebas dalam menjalani hidup? Benarkah segala tindakan manusia terlepas dari takdir yang telah ditentukan? Pertanyaan tersebut telah menjadi perdebatan berbagai macam filsuf dari masa ke masa. Berbagai jawaban dan ulasan diajukan untuk mengungkap kebenaran dan mengulas tentang kebebasan kehendak manusia.
Kehendak bebas merupakan suatu konsep daya makhluk untuk menentukan keputusan atas dasar nilai-nilainya sendiri. Dalam filsafat, aliran yang mendukung kehendak bebas disebut dengan indeterminisme, sedangkan lawannya adalah determinisme.
Determinisme memberikan konsep yang berlawanan, yang mana setiap makhluk tidak punya daya atas segala keputusan yang dibuat. Semua keputusan itu dapat dilacak arahnya dari awal penciptaan ataupun yang tertulis dalam takdir dan hukum alam. Dalam konteks ini, ketika kita membahas mengenai kehendak bebas, maka tidak terlepas dari nilai-nilai yang mengejawantah dalam etika.
Diskursus tersebut bisa digunakan untuk menganalisis salah satu anime, yaitu Overlord. Awalnya Overlord merupakan novel ringan karya dari Kugane Maruyama. Pada akhirnya, novel yang diilustrasikan oleh so-bin ini diadaptasi menjadi sebuah seri anime, yang diproduksi oleh studio Madhouse dan disutradarai oleh Naoyuki Ito. Anime Overlord memiliki 3 (tiga) season dengan total 39 episode.
Anime Overlord memiliki premis bahwa “Setiap makhluk mempunyai standar moral masing-masing yang disebut dengan karma.” Karma digambarkan sebagai efek dari perbuatan suatu makhluk yang nanti akan mempengaruhi kekuatan dan daya tahan sihirnya.
Karma dapat dikategorikan ke dalam extreme good yang serba baik, hingga extreme evil yang berlawanan. Beberapa jenis kemampuan dan sihir akan sangat dipengaruhi efeknya oleh standar moral ini. Kecenderungan evil akan membentuk sihir yang membunuh dan kecenderungan good membentuk sihir yang menyembuhkan. Dalam konteks ini, extreme evil merupakan basis moral dari Ainz Ooal Gown sebagai Main Character (MC).
Ainz dengan extreme evil-nya digambarkan menggunakan sihir hitam kuat yang mampu membunuh dan menyiksa lawan. Begitu pula dengan Non-Playable Character (NPC) yang dibuat oleh para player di Overlord. Mereka menyematkan karma pada NPC ciptaannya agar berlaku dan berbuat sesuai keinginan penciptanya.
Hal ini berarti bahwa seorang pencipta menyisipkan suatu basis moral yang akan mempengaruhi bagaimana suatu makhluk itu bertindak, entah itu baik atau buruk. Plato, seorang filsuf Yunani Kuno, mengungkapkan bahwa seseorang akan memiliki kecenderungan untuk berperilaku atas apa yang menurutnya baik.
Dalam anime tersebut, apabila seseorang diciptakan dengan karma negatif dan standar moral yang evil maka perbuatan yang dilakukannya akan mengarah pada keburukan dan kehancuran. Makhluk ini tidak sadar dan hanya menjalankan sebagaimana nilai yang telah ditanamkan dalam dirinya. Anime Overlord tampak sangat erat dengan tipikal determinisme semacam ini.
Sehingga, merujuk pada anime Overlord, kehendak bebas tidak ada karena semua yang terjadi sudah ditentukan bahkan sebelum suatu individu memilih keputusannya. Ada karakter lain yang bernama Sebas Tian. Ia diciptakan dengan karma good mewakili sifat seorang penegak keadilan. Sebas akan selalu berusaha menolong mereka yang lemah serta senantiasa patuh pada peraturan.
Berbagai macam karakter lain dari anime ini juga berlaku demikian, yang mana hampir semua karakter adalah bagian perseteruan konflik moral yang berdasar atas keinginan pribadi masing-masing. Tidak jauh juga dari MC yang tidak akan merasa bersalah ketika ia telah membantai ribuan umat manusia.
Jika memang moralitas yang disematkan di dunia Overlord berbasis indeterminisme, maka Ainz Ooal Gown dalam istilah Berdyaev hadir sebagai “Tuhan Kecil” (Mikro Theos). Ainz adalah entitas yang bergerak bebas sesuai kemauannya sendiri, terlepas dari belenggu karma walau segala perbuatannya tetap dalam skala evil sesuai norma yang berlaku.
Karma disini hadir sebagai cerminan perbuatan dan bukan basis moral yang disematkan. Apa yang dilakukan Ainz adalah apa yang telah ia pilih dan putuskan sendiri tanpa menanggung beban nilai apapun. Tentunya, makna dan arti dari setiap perbuatan yang berasal dari kehendak bebas ataupun tidak akan sangat berbeda.
Hal tersebut akan berkaitan dengan bagaimana suatu makhluk akan menjalani hidup. Mungkin pembaca sekalian bisa mempertanyakan apa yang terjadi di dunia. Apakah segala bentuk perbuatan yang melebihi batas-batas moral, seperti pembantaian dan penyiksaan, masih memiliki arti ketika segalanya telah diatur sejak terciptanya ruang dan waktu itu sendiri.
Mungkinkah sebenarnya manusia adalah burung kecil yang bebas terbang di angkasa luas tanpa membawa beban-beban moral yang disematkan atas dirinya? Sehingga, manusia dengan bebas memilih untuk menebar benih keburukan maupun kebaikan.
Penulis: Ashnov Brillianto Ahmada
Editor: Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Referensi
Hannikainen, Ivan R et al. (2019). For Whom Does Determinism Undermine Moral Responsibility? Surveying the Conditions for Free Will Across Cultures
Muqoddas, Fahmi. (1993) Kehendak Bebas Dalam Pandangan Para Filsuf Sebuah Problem Bidang Etika
APA Dictionary of Psychology. Ethical Determinism
Overlord Wiki. Karma
This article is under the © copyright of the original Author:
(Zona-Nalar)
Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.