Penulis: George G. J. Tena
Editor: Murteza
Design: Qonita
Fundamentalisme atau ekstremisme agama merupakan sebuah fenomena global yang kerap kali mengganggu stabilitas negara dan keharmonisan relasi antarumat beragama. Biasanya kelompok ataupun gerakan ini menjadikan bahasa sebagai alat utama dalam menciptakan narasi ekstrim yang melegitimasi kekerasan dan tindakan intoleran kepada pemeluk agama yang berbeda dengan agamanya. Dalam konteks ini, unsur pragmatis bahasa tidak hanya untuk menyampaikan suatu pernyataan atau informasi melainkan sudah sampai pada tahap memengaruhi dan akhirnya menghasilkan tindakan. Tulisan ini mengeksplorasi wacana fundamentalisme agama dalam kerangka speech act John L. Austin.
John Langshaw Austin adalah filsuf dan ahli bahasa yang berasal dari Inggris. Austin lahir pada 26 Maret 1911 di Lancaster, Inggris; Dalam karirnya sebagai seorang filsuf, Austin memiliki kurang lebih tiga karya, yaitu: Philosophical Papers (1961), Sense and Sensibilia (1962) dan How To Do Things with Words (1962). Ketiga karya filosofis ini diterbitkan oleh para rekannya setelah Austin meninggal pada 8 Februari 1960.
Sumbangan terbesar Austin di dalam filsafat bahasa ialah pembedaan antara performative utterances (tuturan performatif) dan constative utterances (tuturan konstatif). Pertama, tuturan performatif merupakan tuturan yang menunjukkan adanya suatu aksi, misalnya “Saya akan membawakan oleh-oleh untuk kamu sepulang dari Bali” Kalimat tidak menunjukkan fakta melainkan menunjukkan tindakan, yaitu mengadakan perjanjian bahwa si penutur akan membawakan oleh-oleh untuk lawan bicaranya. Kedua, tuturan konstatif merupakan ungkapan yang menggambarkan suatu fakta, misalnya “Di kamar saya ada sebuah rak buku.” Kalimat ini menggambarkan suatu fakta bukan suatu tindakan
Pada dasarnya, konsep speech act Austin memiliki persamaan dengan pemikiran Wittgenstein periode kedua (language game), yaitu tentang penggunaan suatu bahasa. Dalam analisanya, Austin menekankan uraian terhadap bahasa secara komprehensif. Baginya, untuk memaknai sebuah fakta, seseorang tidak boleh membatasi dirinya hanya pada apa yang diucapkan melalui pernyataan-pernyataan dari seorang penutur melainkan harus sampai pada pemahaman akan tiga unsur dalam speech act, yaitu: locutionary, illocutionary dan perlocutionary.
Pertama, locutionary (lokusi) merujuk pada tindakan dasar, yaitu pengucapan suatu pernyataan atau proposisi yang memiliki makna tertentu. Kedua, illocutionary (ilokusi) adalah tindakan aplikatif yang berada di balik suatu pernyataan ketika diucapkan oleh seorang penutur. Umumnya ilokusi berupa: ajakan, bujukan, perintah dan sebagainya. Ketiga, perlocutionary (perlokusi) merupakan dampak atau apa yang dihasilkan suatu wacana melalui pernyataan yang diungkapkan oleh seorang penutur. Biasanya perlokusi menggugah dimensi emosional dari penerima informasi atau pernyataan, seperti: marah, sedih, kecewa, bahagia dan terkejut. Contoh sederhana dari tiga unsur speech act Austin ini dapat dilihat dari dua contoh berikut ini.
Misalnya, ketika seorang pemimpin agama sedang berceramah dan mengatakan “Jangan pernah memilih pemimpin dari agama lain, mereka tidak bisa memimpin kita dengan benar!”. Lokusi dari pernyataan ini ialah larangan untuk memilih seorang pemimpin yang bukan dari agama mereka. Ilokusinya mengacu pada bujukan ataupun ajakan untuk tidak memilih seorang pemimpin dari agama yang berbeda. Sedangkan perlokusinya adalah hasil dari pernyataan itu, yakni pendengar pernyataan itu akan menolak untuk memilih pemimpin yang berbeda agama dengannya.
Bahasa dalam Narasi Fundamentalisme Agama
Biasanya fundamentalisme agama dibangun melalui ujaran-ujaran kebencian dan memiliki daya persuasif dalam ceramah ataupun khotbah, yang diunggah di media sosial. Ujaran-ujaran kebencian inilah yang membentuk dan menciptakan narasi ekstrim sehingga melegitimasi kekerasan terhadap mereka yang memiliki keyakinan agama berbeda. Pembangunan narasi ini sering kali menggunakan teks-teks atau ayat-ayat tertentu dalam suatu agama. Misalnya saja dalam agama Kristen ada ayat yang berbunyi “mata ganti mata” (Ul 19: 21). Ayat ini jika ditafsirkan hanya secara literal saja, maka akan menyebabkan kekeliruan pemahaman bahkan seolah-olah ayat ini melanggengkan balas dendam.
Selain ayat dalam Kitab Ulangan 19:21 di agama Kristen yang berpotensi menimbulkan kesalahpahaman, terdapat pula ayat-ayat dalam Al-Quran yang kadang-kadang ditafsirkan secara keliru. Salah satu contohnya ialah dalam QS. At-Taubah: 73, yang berbunyi “Wahai nabi! Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka jahanam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” Ayat ini kadang digunakan sebagai alat untuk melegitimasi tindakan intoleran terhadap penganut agama lain padahal secara konteks tidaklah demikian maksud dari ayat tersebut.
Kesimpulan
Dalam konsep speech act John L. Austin, bahasa bukan hanya sebagai alat untuk berkomunikasi, tetapi juga menjadi suatu senjata yang digunakan untuk menyebarkan cara pandang bahkan paham fundamentalisme atau ekstrimisme agama. Ujaran-ujaran kebencian yang kerap kali bukan hanya sekedar penyampaian informasi melainkan sebagai suatu ajakan untuk menggerakkan orang lain bersikap dan bertindak ekstrim. Dengan memahami kekuatan yang dimiliki bahasa sebagai alat dari fundamentalisme agama, kita dapat pula menggunakannya untuk membangun narasi positif sehingga dapat mencegah bahkan membendung penyebaran fundamentalisme agama melalui kekuatan bahasa.
Referensi
- Guy Longworth, John Langshaw Austin, tersedia dari https://plato.stanford.edu/entries/austin-jl/; diakses pada 24 Oktober 2024.
- John L. Austin, How to Do Things with Words, ed. J.O. Urmson, (Barakaldo Books: 2020).
K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Inggris & Jerman, Jilid I, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2019). - Paul Hedges (ed), Controversies In Contemporary Religion: Education, Law,Politics, Society, And Spirituality, (California: Praeger, 2014),
- Endang Supriadi, dkk, “Intoleransi dan Radikalisme Agama: Konstruk LSM tentang Program Deradikalisasi,” Jurnal Sosiologi Walisongo, No. 1, Vol. 4, (2020)