Melalui putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Bharada E atau Richard Eliezer resmi divonis 1,5 tahun hukuman penjara. Publik menyambut riang putusan tersebut karena dianggap mewujudkan keadilan publik. Eliezer dianggap sebagai orang yang berjasa membongkar skenario pembunuhan terhadap Brigadir Josua. Seketika, status Eliezer sebagai seorang “pembunuh” berubah menjadi “Juru Selamat”.

Namun, sukacita tersebut perlu didekonstruksi, terlebih dengan tidak melupakan fakta penting bahwa Eliezer adalah orang yang turut menembak Brigadir Josua. Masyarakat Indonesia seolah mewajarkan tindakan kriminal Eliezer karena ia berkata jujur membongkar skenario Ferdy Sambo. Kejahatan Eliezer menjadi “banal” dan ia menjelma menjadi pahlawan serta disambut dengan sukacita. Bahkan, dukungan terhadap Eliezer begitu menggema memenuhi ruang sidang dan juga di media sosial.

Fenomena ini identik dengan reportase Hannah Arendt dalam sidang Adolf Eichmann yang diadili atas kejahatannya selama Perang Dunia II, tepatnya dalam peristiwa Holocaust dimana Eichmann terlibat dalam pembunuhan orang-orang Yahudi di Kamp Konsentrasi Nazi. Reportase Hannah Arendt ini berjudul: Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (1963).

Arendt melihat bahwa kejahatan yang dilakukan oleh Eichmann tidak didasarkan pada fanatisme atau pemujaan yang berlebihan kepada Nazi atau kebencian terhadap orang-orang Yahudi, melainkan atas dasar kepatuhan terhadap perintah yang diberikan. Eichmann hanyalah seorang warga negara yang patuh terhadap hukum, serta seorang bawahan yang tunduk terhadap perintah atasannya. Kepatuhan tersebut berujung pada “banalitas kejahatan” atau fenomena ketika suatu kejahatan menjadi hal yang wajar atau lumrah.

Kepatuhan Eichmann terhadap perintah untuk menangkap dan membunuh orang-orang Yahudi selama Perang Dunia II hampir sama dengan kepatuhan yang ditunjukkan Eliezer terhadap perintah Ferdy Sambo untuk menembak Brigadir Josua. Kepatuhan tersebut berujung pada sikap membenarkan serta mewajarkan suatu tindak kejahatan. Kesamaan Eichmann dan Eliezer adalah fakta bahwa mereka berdua tunduk di bawah suatu otoritas.

Sifat tunduk terhadap suatu otoritas dapat menjadi awal mula dari karakter totaliter individu, suatu institusi, atau bahkan negara sekalipun; yang mana tidak ada demarkasi yang tegas terhadap tindakan yang didasari moral pribadi dengan tindakan patuh terhadap hukum. Tindakan individu tidak lagi berlandaskan nurani dan pertimbangan moral, tetapi merujuk kepada otoritas yang memerintah mereka. Kepatuhan yang total adalah benih subur daripada banalitas kejahatan.

Menarik apabila konsep kepatuhan ini disandingkan dengan antitesanya, yaitu ketidakpatuhan. Menyebut dikotomi kepatuhan dari Erich Fromm (2020) yang membagi kepatuhan menjadi dua, yaitu kepatuhan heteronom dan otonom. Kepatuhan heteronom adalah bentuk penyerahan diri yang menyiratkan pelepasan otonomi diri dan penerimaan kehendak atau penilaian dari pihak asing dalam diri seseorang. Kepatuhan otonom adalah penegasan diri yang berasal dari keyakinan dan penilaian otentik dari diri sendiri.

Jika menghubungkan konsep banalitas kejahatan Hannah Arendt dengan dikotomi kepatuhan Erich Fromm, maka dapat dilihat bahwa akar dari banalitas kejahatan adalah jenis kepatuhan yang heteronom. Kepatuhan heteronom inilah yang menjadi landasan pengambilan keputusan baik bagi Adolf Eichmann maupun Richard Eliezer yang sudah kabur pandangannya dari pertimbangan nurani dan moralitas.

Namun, khusus dalam kasus Richard Eliezer, fenomena banalitas kejahatan ini menyeruak menjadi fenomena sosial yang seolah diamini melalui dukungan publik terhadap Eliezer. Meluasnya dukungan masyarakat Indonesia kepada Eliezer menjadi penanda dari bentuk pemakluman kejahatan yang dilakukan oleh Eliezer. Meskipun pengakuan jujur Eliezer menjadi titik balik kasus penembakan Brigadir Josua, seharusnya publik tidak meminggirkan fakta bahwa Eliezer adalah eksekutor yang turut menembak Brigadir Josua.

Pemakluman kejahatan Eliezer dapat dilacak akarnya pada moral majority masyarakat Indonesia yang menjadi representasi keadilan publik. Eliezer mendapatkan dukungan dari moral majority masyarakat Indonesia, sehingga membentuk makna keadilan baginya dalam vonis 1,5 tahun penjara. Jauh lebih kecil dibandingkan tuntutan jaksa, yaitu 12 tahun penjara. Selain itu, Eliezer juga tidak dipecat secara tidak hormat dari kepolisian.

Jika membandingkan vonis Eliezer dengan hukuman yang diterima oleh terdakwa kasus obstruction of justice yang turut membantu skenario Ferdy Sambo, misalnya Hendra Kurniawan yang divonis 3 tahun penjara, serta dipecat dari kepolisian. Jika menggunakan perbandingan awam, jelas vonis Hendra Kurniawan jauh lebih berat untuk tindakan yang seharusnya tidak seberat penembakan yang dilakukan Eliezer. Namun, Hendra Kurniawan tidak mendapatkan dukungan moral majority, sehingga kejahatannya tidak menjadi banal.

Fenomena Eliezer ini sebenarnya dapat dipandang melalui dua perspektif, yaitu kejahatan Eliezer yang menjadi banal akibat terdapat perbandingan yang lebih berat dan kerinduan publik terhadap kejujuran. Perspektif pertama dimana kejahatan Eliezer yang menjadi banal akibat adanya tindakan lebih besar dalam kasus yang sama, yaitu skenario rekayasa pembunuhan Brigadir Josua yang dilakukan oleh Ferdy Sambo. Dalam konteks ini, Sambo menjadi penjahat utama sekaligus public enemy, sehingga Eliezer yang berkata jujur menjadi “angin segar” dan kesalahannya absen di mata publik. 

Sementara itu, di sisi lain, fenomena ini dapat dilihat sebagai kerinduan publik terhadap kejujuran di tengah maraknya kejahatan yang berkeliaran. Kejujuran Eliezer menjadi secercah harapan publik akan masih adanya terang di dalam gelap kejahatan. Jadi, kasus Eliezer ini lebih dari sekedar memilih antara salah atau benar ataupun jujur atau bohong. Lebih daripada itu, fenomena ini menunjukkan banalitas kejahatan dengan pra kondisi tertentu di tengah masyarakat Indonesia.

Penulis: Georgius Benny

Editor: Wa Ode Zainab Zilullah T

Referensi:

Arendt, Hannah. (1963). Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil. New York: Viking Press.

Fromm, Erich. (2020). Perihal Ketidakpatuhan: Mengapa Kebebasan Cenderung Berkata “Tidak” kepada Kekuasaan?.Yogyakarta: IRCISod.

Snyder, Timothy. (2020). Tentang Tirani: Dua Puluh Pelajaran dari Abad Kedua Puluh. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.



This article is under the © copyright of the original Author: Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
(Zona-Nalar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

sixteen − fifteen =