Penulis: Hafidz Iman
Editor: Murteza Asyathri
Waktu adalah salah satu konsep paling fundamental dalam kehidupan manusia, sekaligus salah satu yang paling misterius. Kita terbangun oleh alarm di pagi hari, menghitung menit dalam pekerjaan, dan menantikan bedug maghrib. Namun, pernahkah kita benar-benar mempertanyakan apa itu waktu? Apakah waktu benar-benar ada atau sekadar konstruksi pikiran kita? Jika waktu hanyalah ilusi, bagaimana kita memahami peristiwa-peristiwa penting dalam hidup seperti kelahiran, kematian, dan momen-momen yang kita anggap berharga?
Waktu adalah salah satu konsep paling fundamental dalam kehidupan manusia, sekaligus salah satu yang paling misterius. Kita terbangun oleh alarm di pagi hari, menghitung menit dalam pekerjaan, dan menantikan bedug maghrib. Namun, pernahkah kita benar-benar mempertanyakan apa itu waktu? Apakah waktu benar-benar ada atau sekadar konstruksi pikiran kita? Jika waktu hanyalah ilusi, bagaimana kita memahami peristiwa-peristiwa penting dalam hidup seperti kelahiran, kematian, dan momen-momen yang kita anggap berharga?
Sejak era Aristoteles hingga filsuf kontemporer, hakikat waktu sebetulnya telah menjadi perdebatan panjang. Salah satu tokoh yang paling kontroversial dalam perdebatan ini adalah J.M.E. McTaggart, yang dalam esainya The Unreality of Time menyatakan bahwa waktu tidak nyata. Bagaimana mungkin sesuatu yang begitu nyata dalam pengalaman sehari-hari kita dianggap sebagai ilusi? Untuk memahami klaim ini, kita perlu menelusuri argumen McTaggart dan berbagai tanggapan terhadapnya.
Konsep waktu telah dikaji oleh berbagai filsuf sepanjang sejarah. Aristoteles dalam Fisika IV mendefinisikan waktu sebagai “sesuatu dari proses menjadi” yang menandakan keterkaitannya dengan perubahan. Agustinus, dalam Confessiones, memberikan pandangan subjektif bahwa waktu adalah “distensi jiwa” yaitu bagaimana pikiran manusia mengorganisir pengalaman masa lalu, kini, dan masa depan.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menganggap waktu sebagai garis lurus yang berkelanjutan dari masa lalu menuju masa depan. Namun, apakah pemahaman ini benar? Ataukah waktu hanyalah ilusi sebagaimana yang diklaim McTaggart?
M. E. McTaggart mengajukan argumen bahwa waktu tidak nyata dengan membaginya menjadi dua seri:
- Seri-A: Waktu dipahami berdasarkan perubahan status peristiwa dalam kategori masa lalu, kini, dan masa depan.
- Seri-B: Waktu dipahami sebagai relasi “sebelum” dan “sesudah” antara peristiwa tanpa bergantung pada perubahan temporal.
Menurut McTaggart, Seri-A bersifat kontradiktif karena setiap peristiwa harus memiliki tiga sifat sekaligus, yakni masa lalu, kini, dan masa depan. Sebagai contoh, suatu peristiwa seperti “lampu jalan menyala” pada suatu waktu dianggap akan terjadi, kemudian terjadi, lalu telah terjadi. Namun, mustahil bagi sebuah peristiwa untuk memiliki ketiga status tersebut secara bersamaan. Karena kontradiksi ini, McTaggart menyimpulkan bahwa waktu dalam Seri-A tidak konsisten, dan oleh karena itu, tidak nyata.
Seri-B, yang hanya mengandalkan relasi “sebelum” dan “sesudah” juga dianggap tidak cukup untuk menangkap dinamika waktu sebagaimana kita alami. Jika waktu nyata, menurut McTaggart, ia harus dapat dijelaskan secara konsisten, tetapi kontradiksi dalam Seri-A menunjukkan bahwa waktu hanyalah ilusi yang muncul dari cara manusia memahami perubahan.
Argumen McTaggart menuai banyak tanggapan dari beberapa filsuf lainnya. Pendukung Seri-A menolak klaim kontradiksi dengan menyatakan bahwa tidak setiap peristiwa harus memiliki tiga sifat temporal secara bersamaan. Sebuah peristiwa hanya memiliki satu sifat pada satu waktu tertentu. Sebagai contoh, “saya sedang mengetik” pada saat ini tidak bisa sekaligus berada dalam masa lalu dan masa depan. Dengan demikian, Seri-A tetap dapat dipertahankan tanpa kontradiksi.
Di sisi lain, para pendukung Seri-B berupaya mereduksi pemahaman waktu menjadi urutan peristiwa tanpa dimensi temporal. Mereka mengusulkan bahwa “bahasa bermasa” (seperti hari ini atau kemarin) dapat direduksi menjadi “bahasa tak bermasa” (seperti tanggal 9 Desember 2024). Dengan cara ini, mereka berargumen bahwa waktu dapat dijelaskan tanpa memerlukan perubahan status temporal.
Pada akhirnya, perdebatan antara pendukung kedua teori ini tidak menghasilkan kesepakatan universal mengenai sifat waktu. McTaggart, dengan pandangannya bahwa waktu tidak nyata, menganggapnya sebagai konstruksi konseptual semata, bukan bagian dari realitas sejati. Perdebatan ini juga membuka jalan bagi eksplorasi lebih dalam tentang hakikat temporalitas. Dengan membedakan Seri-A dan Seri-B, McTaggart menunjukkan bahwa cara kita memahami perubahan dan realitas waktu sangatlah kompleks serta bergantung pada perspektif metafisik yang kita anut. Jika waktu hanyalah ilusi, bagaimana kita dapat memahami makna hidup yang secara inheren terikat oleh waktu?
Referensi:
Bagus, Lorens. 1991, Metafisika, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Loux, J. Michael., and Crisp, M. Thomas., 2017, Metaphysics A Contemporary Introduction, New York: Routledge.
Murtiningsih, Siti., 2021, Kajian Kritis atas Persoalan-persoalan Metafisika Kontemporer, Yogyakarta: UGM Press.