Filsafat sebagai sebuah bidang keilmuan memiliki jangkauan yang sangat luas, bahkan bidang ini dijuluki sebagai induk segala ilmu. Karena hampir semua bidang ilmu yang kita pelajari sekarang dapat ditelusuri asalnya dari telaah filosofis. Luasnya bidang studi filsafat dipengaruhi oleh asal tempat yang beragam.
Hampir setiap negara memiliki ciri filsafatnya sendiri, misalnya Inggris dengan filsafat positif, Perancis dengan filsafat dijadikan layaknya mode, Jerman dengan filsafat transendental, ataupun Indonesia dengan corak filsafat mistisisme. Profesor Bambang Sugiharto guru besar filsafat UNPAR mengatakan dalam sebuah kuliah pengantar filsafat, “Setiap wilayah mengembangkan falsafahnya sendiri, maka setiap wilayah memiliki filsafatnya masing-masing.”
Namun, batas regional tidak bisa dijadikan patokan baku untuk mengenali corak kefilsafatan. Misalnya, Ludwig Wittgenstein yang tinggal di wilayah Eropa Kontinental berfilsafat di ranah positivis layaknya filsuf negara Anglo Saxon, seperti Inggris atau Amerika. Luasnya kajian filsafat juga dipengaruhi oleh banyaknya jumlah filsuf, dengan definisi mereka yang amat beragam.
Setiap filsuf memiliki alam pemikirannya sendiri, yang timbul dari filsuf terdahulu, dan saling dibantah oleh filsuf yang sezaman maupun dibantah oleh filsuf sesudahnya. Misalnya, filsuf bernama Thales meyakini hakikat realitas adalah air, dibantah oleh Empledocles bahwa hakikat realitas adalah unsur-unsur yang berbeda, dibantah lagi oleh Herakleitos bahwa tidak ada sesuatu yang tetap dan seterusnya.
Dari keberagaman tersebut para ahli sejarah filsafat berusaha mengkategorisasi pemikiran filsuf-filsuf dari berbagai wilayah dan jaman sesuai dengan subjek kajian mereka. Seperti telah dibahas dalam artikel Zona Nalar sebelumnya, filsafat dapat didefinisikan sebagai sebuah seni bertanya. Maka setiap subjek kajian filsafat memiliki pertanyaan dasar sebagai titik awalan.
Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain; pertama “apakah hakikat dari realitas?”, yang kelak melahirkan cabang filsafat metafisika, kedua “bagaimana kita bisa mengetahui hal itu?”, yang kelak melahirkan cabang filsafat epistemologi, dan ketiga “apa nilai di balik realitas yang kita ketahui?”, yang kelak melahirkan cabang filsafat estetika dan etika.
Apa itu realitas?
Melacak awal mula kajian filsafat merupakan tugas yang sedikit sulit karena filsafat secara holistik bukanlah studi yang didekati dengan langkah-langkah konseptual. Namun jika kita melacak kemunculan filsafat berdasarkan waktu, kemungkinan era filsafat Yunani kuno memberikan representasi yang cukup memadai. Kendati filsafat tidak hanya diinisiasi dari Yunani, jejak literal tertua merujuk kepada pemikiran Yunani. Dan pertanyaan mendasar yang muncul pertama kali dalam studi filsafat Yunani ialah pertanyaan mengenai hakikat realitas.
Apabila filsuf dianalogikan sebagai bayi, niscaya hal yang pertama kali ia coba pahami adalah dunia sekitarnya. Dunia sekitar nampak begitu menakjubkan, namun apa hakikat dari realitas dunia sekitar? Di masa sebelum kemunculan filsafat, hakikat dari realitas dipahami berdasarkan mitos misalnya mitologi Yunani yang meyakini Gaia adalah Dewi bumi, Zeus sang penguasa langit dan petir dan seterusnya. Selubung pengetahuan mitologis membuat filsuf tidak puas dengan definisi realitas, filsuf menyangsikan penjelasan mitologis.
Pada abad ke 6 SM, dari daerah Miletos di Yunani hiduplah seorang filsuf yang konon diyakini sebagai filsuf pertama dalam filsafat barat. Ia adalah Thales, seorang ahli astronomi dan matematika yang mempostulatkan sebuah hipotesis kontroversial pada jamannya dengan meninggalkan segala intervensi mitologis untuk mendeskripsikan alam. Substansi realitas bagi Thales bukanlah ciptaan Dewa-dewi, ia mencari substansi lain yang lebih riil dan bisa dibuktikan secara konsekuen. Mula-mula, Thales berusaha menemukan satu unsur yang terdapat dalam segala hal.
Ia melihat dalam semua tumbuhan terdapat unsur cair, begitu pula semua makhluk hidup juga memiliki unsur cair dalam dirinya. Pun ketika berkeliling di darat ia melihat dunia diselubungi unsur cair, ketika terjadi gempa kemungkinan unsur cair bergerak dan dunia di atasnya bergetar maka Thales meyakini bahwa substansi dasar pembentuk realitas adalah air.
Tentunya keyakinan Thales ini tidak bisa diyakini sebagai kebenaran di masa sekarang, namun untuk pertama kalinya dalam kesejarahan pemikiran manusia timbul sebuah usaha untuk menemukan kebenaran dari terciptanya realitas lepas dari selubung praanggapan mitologis.
Metafisika atau Ontologi
Dari pengaruh Thales, kajian mengenai hakikat realitas berkembang dengan pesat, pemikir-pemikir lain turut mencari substansi pembentuk alam; Anaximandros meyakini fusis segala sesuatu adalah apeiron (zat-zat tak terbatas), Anaximenes meyakini unsur segala sesuatu adalah udara, Empledocles meyakini fusis segala sesuatu adalah perpaduan 4 unsur dan masih banyak lagi pemikiran lain.
Hingga pada abad 4 SM Aristoteles melakukan pengkajian yang ketat terhadap struktur fisik alam kita, murid-murid Aristoteles mengumpulkan catatan kajian tersebut dan menamainya dengan Metafisika. Meta artinya melampaui dan fisik atau physikos artinya hal yang tampak. Pada perkembangannya istilah metafisika dipakai untuk menggambarkan subjek kajian filsafat yang membahas hakikat realitas.
Cabang Metafisika terkadang juga disebut sebagai ontologi, kata Yunani yang terdiri dari dua suku kata; onto berarti “yang ada” dan logos berarti “ilmu”. Maka ontologi dapat diartikan sebagai kajian mengenai “ada”, yang berisikan pertanyaan; apa hakikat dari ada, bagaimana sesuatu bisa disebut ada, kategori-kategori apa saja dari hal-hal yang ada dan seterusnya.
Perbedaan Yang Nyata dan Yang Tampak
Setelah para filsuf mengkaji hakikat dari apa yang “ada” dalam realitas, terdapat keberagaman definisi dari masing-masing filsuf. Seolah tidak ada konvensi baku dari para pemikir untuk mendefinisikan realitas. Akar dari ketidaksepakatan ini adalah subjektivitas dari para filsuf. Kendati postulat metafisis dari filsuf dapat dinilai benar, namun filsuf belum memeriksa dikotomi antara realitas pada dirinya sendiri dan realitas sebagaimana “terepresentasi” dalam pikiran mereka.
Hal inilah yang mendorong sebuah studi kefilsafatan untuk memeriksa kapasitas pikiran kita sebagai media penangkap realitas.
Bagaimana Kita Bisa mengetahui?
Merespon keberagaman pengertian realitas dari para filsuf, Plato (guru dari Aristoteles) di abad ke 4 SM mempostulatkan sebuah gagasan yang merombak kefilsafatan sebelumnya. Apabila Thales meyakini segala sesuatu berasal dari air, lalu Anaximenes meyakini unsur utama realitas adalah udara, dilanjutkan dengan Heraklitos yang meyakini segala sesuatu selalu berubah, dan seterusnya.
Plato menemukan satu ketetapan di dalam realitas, kendati segalanya berubah forma dari setiap hal bersifat tetap. Forma atau bentuk idea dari benda adalah cetak biru dari realitas, misalnya wujud sementara dari kursi dapat rusak namun forma/idea kekursian bersifat tetap, begitu pula idea meja, demikian juga bilangan sebagai idea bersifat tetap.
Idea dari realitas menurut Plato hanya bisa ditangkap oleh akal budi manusia, idea kekursian merupakan cetak biru bagi kursi di dunia fisik. Idea garis lengkung merupakan cetak biru dari garis lengkung di dunia fisik dan seterusnya, idea-idea terdapat di semesta seberang yang berisikan kumpulan bentuk asali yang tetap dan abadi.
Kita telah mengetahui idea-idea tersebut sebelum kita lahir di dunia ini, namun kita lupa pada segala macam bentuk asali sampai kita menemui manifestasi nya yang sementara di dunia fisik. Plato meyakini pemahaman kita atas dunia, adalah gerak rekoleksi (pengambilan kembali) pengetahuan asali dari dunia ide.
Epistemologi
Pemikiran Plato tersebut mengawali sebuah studi pada cabang filsafat yang kelak dinamai sebagai epistemologi, kata tersebut berasal dari gabungan dua kata Yunani “episteme” berarti pengetahuan dan “logos” berarti ilmu. Maka epistemologi dapat dipahami sebagai cabang filsafat yang menyelidiki asal-usul pengetahuan. Di dalam Plato, asal dari pengetahuan ialah semesta idea dunia seberang yang hanya dapat diakses oleh akal budi kita.
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang besar, dengan banyaknya filsuf berpengaruh yang berfilsafat dalam ranah ini. Seribu tahunan setelah Plato, hadir juga seorang filsuf epistemologi yang mempostulatkan asal pengetahuan dengan pengaruh dari Plato. Filsuf tersebut adalah Rene Descartes, ia adalah seorang berkebangsaan Prancis yang hidup di sekitar tahun 1600 an. Descartes meyakini bahwa pengetahuan bersifat lumen naturale.
“Lumen naturale” diartikan secara harfiah sebagai cahaya alami, maka pengetahuan sebagai lumen naturale berarti terpancar secara alami dan inherent dalam diri kita. Descartes mempercontohkan pengetahuan matematika dan logika sebagai pengetahuan yang bersifat inherent. Pada perkembangannya filsuf-filsuf epistemologi yang memiliki pandangan asal pengetahuan dengan memprioritaskan rasionalitas seperti Descartes disebut sebagai sebagai rasionalis dengan aliran epistemologinya disebut sebagai rasionalisme.
Namun, filsuf seperti John Locke yang berfilsafat di masa tak jauh dari Descartes menolak postulat lumen naturale tersebut. Bagi Locke, tidak ada pengetahuan yang inherent dalam diri kita tanpa didahului pengalaman.Locke menyebut keadaan awal pikiran kita sebagai “tabula rasa” yaitu analogi sebuah kertas putih yang belum memiliki gambaran apapun.
Dari pengalaman ke pengalaman lah kita berangsur-angsur memiliki pengetahuan. Dengan menitikberatkan pada pengalaman, filsuf-filsuf yang berfilsafat dalam pengaruh epistemologi Locke disebut sebagai filsuf empirisme dengan aliran filsafat nya disebut empirisme.
Tegangan antara rasionalisme dan empirisme menciptakan perdebatan panjang di dalam filsafat epistemologi. Hingga pada sekitar abad 18, hadirlah seorang filsuf Jerman dengan terobosan baru bagi epistemologi. Filsuf tersebut bernama Immanuel Kant, dengan karya besarnya berjudul Kritik Akal Budi Murni yang memberikan definisi baru bagi asal pengetahuan. Kant tidak memprioritaskan satu di antara dua postulat epistemologi tadi namun mengakomodir keduanya sebagai prasyarat terciptanya pengetahuan.
Bagi Kant, pikiran kita memiliki kategori-kategori bawaan yang membuat kita dapat menangkap pengetahuan, namun semua kategori tersebut juga tercipta hanya melalui berbagai interaksi pengalaman.
Demikian pembahasan kami mengenai dua pertanyaan mendasar dalam filsafat, masih terdapat satu pertanyaan lagi untuk melengkapi pembahasan mengenai cabang-cabang utama filsafat yang akan Zona Nalar lanjutkan pada artikel di bagian ke 2 selanjutnya.
Penulis: Krisna Putra Pratama
Editor: Murteza Asyathri
This article is under the © copyright of the original Author:
(Zona-Nalar)
Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.