Penulis: Fitriah Zahra
Editor: Murteza Asyathri
Digitalisasi adalah cicit dari industrialisasi, dan menjadi simbol dari peradaban yang maju dimana semua hal bisa terwujudkan. Digitalisasi sering dibayangkan sebagai arena luas dengan kebebasan eksplorasi yang terbatas, dimana akses untuk segala informasi berharga terhampar luas bagi semua pengguna internet. Namun, pada kenyataannya penelitian tersebut menggambarkan bahwa apa yang terjadi pada dunia luring (offline), memiliki batasan sosial yang sama seperti sekumpulan orang yang berada pada tempat dan waktu yang sama (within range). Oleh karena itu, internet tidak mengobati permasalahan sosial yang terjadi di dunia nyata, namun mereplikasi bahkan menggandakan permasalahan sosial (seperti batasan) yang menciptakan ketidakmerataan yang ada di dunia nyata. Ketidakmerataan pada akses ini disebut oleh Zhao & Elesh sebagai Second Digital Divide.
Digitalisasi dapat dilihat sebagai cermin dari apa yang terjadi di dunia nyata. Seorang sosiologbernama Jessie Daniels mengkhawatirkan bagaimana ketidakmampuan untuk menggunakan critical thinking dapat menjerumuskan seseorang pada ide-ide white supremacist pada website yang samar-samar menyampaikan ide tersebut. Pandangan ini sudah usang, karena masa kini sudah didominasi dengan pertarungan “desain” yang diakibatkan oleh meningkatnya kemampuan orang untuk membingkai ruang online yang dimiliki untuk menggaet sebanyak mungkin pengunjung, pengikut, dan lain-lainnya. Singkatnya, kemampuan tersebut adalah modal digital yang dapat diterjemahkan menjadi keuntungan di dunia nyata, dan pertarungan dalam modal digital yang dapat menyisihkan kelompok tertentu adalah bagian dari Third Digital Divide (Ragnedda, 2017).
Karena skema dunia digital yang tidak merata dengan adanya First, Second, dan Third Digital Divide, maka kelompok yang termasuk paling dirugikan adalah mereka yang “kreatif” atau seniman, yang secara intuitif seharusnya difasilitasi dengan adanya digitalisasi. Andaikataseseorang memiliki modal budaya tertentu, seperti pendidikan akting, atau kursus produksi film, dan lain sebagainya, hal ini mengarahkan seseorang pada pasar pekerjaan yang sangat tidak stabil dan juga kapabilitas pasar yang rendah untuk menyerap pekerjaan tersebut.
Karena daya tukar yang rendah (bagi perusahaan) ini, seniman di dunia industri menjadi “a cog in a machine” yang terkesan tidak memiliki posisi tawar tinggi dalam perusahaan. Pasalnya, kemampuan yang mereka miliki sulit untuk ditransfer dalam ruang kerja yang kapitalis, sehingga mereka harus bersandar pada kemampuan yang “menguntungkan” secara bisnis.
Penelitian terhadap pekerja lepas (gig) yang dilakukan Khoiril Maqin menyoroti bagaimana ranah kreativitas mereka jatuh dalam pusaran eksploitasi halus atas nama kebebasan (dan termasuk didalamnya, fleksibilitas). Walau benar adanya pekerja lepas seperti perancang ilustrasiyang ada dalam platform crowdsourcing menormalisasi eksploitasi atas nama kebebasan, ada faktor individual sebagai perancang (atau “creatives”) membuat seseorang menerima harga mahal (eksploitasi dalam bentuk jam kerja panjang, bayaran kecil, dan lainnya) untuk dapat mengaktualisasi kegemarannya saat berkreasi. Studi mengenai kepribadian McCrae & Costa tahun 1997 menemukan bahwa ada kepribadian tertentu yang memang memiliki kecenderungan untuk melakukan aktivitas berbau seni.
Adanya kebebasan kompulsif dari yang membebankan “kewajiban” pengembangan diri dalam bentuk skill atas masyarakat modern memperparah realita ini bagi para seniman. Kewajiban kompulsif berkata bahwa sudah seharusnya mereka berstrategi di dunia digital yang membutuhkan skill yang ‘sesuai pasar’, sehingga mereka menempatkan diri mereka pada perusahaan yang berkemungkinan besar akan memandang sebelah mata gairah dan kemampuanyang sebenarnya mereka miliki. Karena itu, seniman terkadang terdorong untuk melakukan keduanya: bekerja kantoran di pagi, dan melanjutkan “hobi” di malam hari. Hal ini mendorong mereka pada Burnout, dan tidak berbeda jauh dengan pekerja gig dalam penelitian Maqin.
Ketiadaan ruang untuk mengejar aspirasi kreatif membawa masyarakat terutama Gen Z untuk memilih jurusan atau karir yang “aman” secara finansial yang juga didukung atau bahkan digaungkan pemerintah atas nama industri kreatif. Dalam lingkup kurikulum dan penguatan sumber daya, pemerintah cenderung mengarahkan anak muda untuk berkecimpung dalam dunia digital menggunakan kemampuan seperti literasi digital atau entrepreneurship. Industri kreatif diharapkan pemerintah sebagai jawaban dari permasalahan perekonomian, padahal permasalahan ini membuka gambaran kompleks yang kusut mengenai upah, ketersediaan lapangan kerja, dan kemiskinan. Perumpamaan yang dapat dipakai untuk menjelaskan ini adalah: bila dihadapkan antara perut kosong dengan kanvas kosong, sebagian besar orang akan memilih untuk mengisi perut yang kosong.
Proses eksklusi sosial memiliki keterkaitan erat dengan kapitalisme atau paradigma positivistik sesuai paragraf pertama pada makalah ini. Inti dari perekonomian pada era digital memaksa seseorang untuk melepas bagian dari dirinya untuk bisa “dijual” atau “lebih berharga” dan tidak menghargai kesatuan diri seseorang sebagai manusia. Adanya ekonomi digital baru yang berlandaskan pada akumulasi keuntungan sebesar-besarnya berlaku dengan cara membatasipilihan hidup seseorang yang memungkinkannya untuk terjerumus dalam lembah eksklusi sosial yang dalam.
Referensi
Sociology. Michigan Sociological Review, 5, 1–18. http://www.jstor.org/stable/40968948
Han, B. C. (2015). Beyond Disciplinary Society. In Burnout Society (Translated), Stanford University Press.
Maqin, K. (2021). “Burnout dan Eksploitasi-Diri: Bagaimana Pekerja Lepas Menjadi Depresi dan Kelelahan”. Dalam Y. T. Keban, A. Hernawan, & A. Novianto (Eds.), Menyoal Kerja Layak dan Adil dalam Ekonomi Gig di Indonesia (hal. 121-139). IGPA Press.
Ragnedda, Massimo. (2017). The Third Digital Divide: A Weberian Approach to Digital Inequalities. 10.4324/9781315606002
This article is under the © copyright of the original Author:
(Zona-Nalar)
Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.