Ekowahabisme (Wahabi Lingkungan)

Stats: 33 Views | Words: 594

3 minutes Read








Penulis: M. Iqbal Maulana

Editor: Wa Ode Zainab Zilullah

Wahabi adalah gerakan reformis abad ke-19 yang kerap dikaitkan dengan radikalisme. Dimulai oleh Muhammad bin Abdul Wahab untuk memurnikan Islam, istilah “Wahabi” kini melekat pada siapa pun yang menegakkan ajaran Islam, terutama dengan kekerasan. Meskipun Abdul Wahab sudah meninggal, ajarannya terus berkembang, memicu perlawanan dari mereka yang meyakini Islam harus disebarkan dengan lembut. Pengaruh Wahabi meluas hingga Gus Ulil (PBNU) menyebut “Wahabi lingkungan” kepada aktivis lingkungan Raja Ampat, melabeli mereka sebagai bagian dari wokisme dan alarmisme global.

Sikap kontroversial PBNU, khususnya terkait masalah ekonomi yang terungkap ke publik dan istilah “Wahabi lingkungan,” dianggap ironis. Kerusakan lingkungan oleh “cangkul raksasa,” bahkan yang didukung oleh institusi agama, tidak dapat dibenarkan. Agama seharusnya menjadi panduan untuk keadilan dan persatuan, bukan alat oligarki atau pemicu ketimpangan sosial. Agama dalam kesakralannya sangat erat dengan kemanusiaan. Bahkan, Buya Hamka dalam bukunya Dari Hati ke Hati menyebutkan bahwa memperjuangkan agama sama saja dengan memperjuangkan kemanusiaan (Hamka, 2015).

Untuk menjaga kesucian agama, kita dapat merujuk pada kisah Ratu Wasti dari kerajaan Persia dalam Alkitab. Dalam sebuah pesta, Ratu Wasti menolak panggilan Raja Xerxes. Hal ini memicu kemarahan raja. Atas saran penasihatnya, Ratu Wasti akhirnya dilengserkan dari jabatannya. Keputusan ini diambil agar pembangkangan Ratu Wasti tidak menjadi contoh buruk bagi perempuan lainnya, sekaligus menjaga kehormatan dan keagungan kerajaan di mata masyarakat.

Bagaimana jadinya jika perspektif orang yang paham agama ternyata praktiknya sama saja dengan oligarki? Maka, narasi seperti “pengetahuan agama tidak mencerminkan keberpihakan kepada alam” tidak akan bisa dielakkan. Gus Ulil mungkin melihat tambang itu hanya secara ahistoris, sehingga praktik-praktik yang telah ada terlupakan.

Selama caranya masih sama, maka kita tidak bisa menilai bahwa kritik terhadap tambang hanya sebatas pesimistis atau “alarmisme” yang disebutkan oleh Gus Ulil. Fenomena ini lebih dari itu, ini menyangkut organisasi keagamaan yang mengelola tambang.

Simbol kesucian seperti agama yang disandang oleh gerakan kolektif hendaknya juga menyadari peran agama dalam hati umat. Orang tertindas sering kali hanya bisa mengisi hatinya dengan agama ketika tidak ada nasi untuk mengisi lambung. Mengecilkan aktivis lingkungan yang memberikan kritik terhadap tambang seharusnya dipahami sebagai pertanda, bukan ditanggapi dengan cap “Wahabi lingkungan” seakan kita bersembunyi di balik istilah “berbagi cinta”.

Sementara itu, di mata masyarakat, kita justru berbagi tambang. Dengan meminjam pisau dari Roland Barthes, hendaknya tanda tersebut ditangkap bahwa banyak masyarakat yang merasa tindakan tersebut keliru karena sama saja kita dengan oligarki yang selama ini dikritik tajam oleh masyarakat.

Sekarang, aktivis lingkungan seakan disandingkan dengan Abdul Wahab. Kecemasan lingkungan seperti dianggap paham radikal. Usaha Gus Ulil dengan Fikih Lingkungan Bjorn Lomborg dalam pengolahan tambang justru memperjelas bahwa tambang memang dalam praktiknya merusak lingkungan. Wahabi dilawan karena gerakannya yang kasar, seperti merusak kebudayaan dan mengancam kehidupan, maka dianggap haram. Pertanyaan ini kembali ke Gus Ulil: jika merusak identik dengan Wahabi, maka siapakah yang “Wahabi lingkungan” antara Gus Ulil dan aktivis lingkungan?

Dengan demikian, respons terhadap pemberian izin tambang kepada ormas agama tidak boleh hanya dilihat dari sudut ekonomi dan kekuasaan, melainkan harus dikaji secara moral, ekologis, dan spiritual. Menyamakan perjuangan ekologis dengan radikalisme adalah bentuk delegitimasi perjuangan untuk ekologi. Suara akar Nahdliyin juga mengkhawatirkan mudarat tambang, apalagi mengelola tambang adalah hal baru bagi ormas keagamaan.

Adapun yang paling ditakutkan adalah ketika organisasi keagamaan terperangkap dalam jeratan oligarki. Cita-cita umat bisa saja dikebiri karena kolektif keagamaan sangat empuk untuk ditunggangi. Agama, sebagaimana ditegaskan oleh tokoh seperti Buya Hamka, mestinya berdiri bersama kemanusiaan dan keadilan, bukan menjadi alat kekuasaan yang menciptakan disparitas sosial ataupun perusak alam.

Referensi

Hamka, B. (2015). Dari Hati Ke Hati. Jakarta: Gema Insani.

Sukardi, A. (2013). Strategi dan Metode Dakwah Muhammad Ibn Abdul Wahab. Al-MUNZIR, 6(2), 221-230.





Citation format :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *