Eksistensi Tuhan Yang Maha Esa: Pembuktian Ontologis Anselmus Canterbury

Stats: 66 Views | Words: 747

4 minutes Read




Apakah Tuhan itu ada? Jika ada, bagaimana membuktikan eksistensi Tuhan? Anselmus Canterbury (1033-1109) merupakan salah seorang filsuf yang mengelaborasi dua jalan pembuktian ontologis tentang eksistensi absolut Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana diimani dalam monoteisme. 

Pertama, Anselmus mengandaikan ‘ada’nya suatu hal tak terbatas, di balik hal-hal yang terbatas

Kebenaran berkenaan dengan yang tak terbatas sulit dipahami secara utuh; karena akal budi manusia hanya mampu memahami hal-hal yang terbatas. Keterbatasan inilah yang menyebabkan ada banyak hal yang tidak bisa dijelaskan oleh sistem pengetahuan manusia. 

Hal ini menyadarkan kita bahwa setiap manusia dan seluruh entitas alam semesta hanyalah makhluk ciptaan yang terbatas, yang keberadaannya dimungkinkan oleh suatu eksistensi absolut dan tak terbatas. Eksistensi tak terbatas ini, menurut Anselmus, dinamakan ‘Allah’. 

Bagi Anselmus, adanya hal-hal yang terbatas di dalam kosmos ini mengandaikan adanya hal yang tak terbatas, yang menjadi ‘penyebab’ bagi segala eksistensi yang terbatas, serta yang melekat secara inheren dalam kedirian mereka. 

Demikian pula dengan pengenalan kita akan adanya hal-hal yang baik secara relatif membawa kita pada pengandaian tentang adanya sesuatu yang baik secara mutlak. Tanpa adanya sesuatu yang bereksistensi secara mutlak, kita akan sulit memahami dan membayangkan status ontologis hal-hal yang ada secara relatif. 

Atas dasar itu, Bagi Anselmus, keberadaan hal-hal yang “ada” secara relatif selalu mengandaikan beradanya sesuatu yang “ada” secara mutlak; yang menjadi horizon segala sesuatu yang relatif itu. Sesuatu yang berada secara mutlak itu tak lain adalah Allah yang tunggal/esa. Berdasarkan pembuktian pertama ini, membuktikan secara ontologis bahwa Allah adalah pengada yang mutlak dan tak terbatas, yang menyebabkan seluruh eksistensi relatif di alam semesta.

Kedua, Anselmus berkeyakinan bahwa sesuatu yang kita sebut ‘Allah’ memiliki suatu pengertian yang lebih besar dari segala sesuatu yang bisa kita pikirkan

Dalam konteks ini, “ada” yang ada dalam pikiran manusia sebagai yang tertinggi dan yang terbesar, tentunya harus seperti itu dalam realitas eksternal. Itulah cara berada yang benar, mutlak, dan sempurna. Argumentasi kedua ini secara sepintas tidak sepenuhnya bisa digunakan pada semua tingkat pemikiran karena memperlihatkan  tampak menunjukkan lompatan epistemis dari pikiran murni ke kenyataan konkret. Namun, bagi Anselmus, pemahaman kita tentang “Allah” berbeda dengan pemahaman terhadap selain-Nya. 

Namun, perlu diingat di sini bahwa Anselmus berpretensi untuk memberikan pertanggungjawaban epistemologis yang jauh lebih dalam terhadap status ontologis Tuhan, yang unik, niscaya, dan sempurna. Allah yang kita pahami itu, menurut Anselmus, berbeda dengan pengertian-pengertian ataupun pemahaman lain yang biasa. Allah tidak bisa dipahami seperti suatu pemahaman yang semu, seperti pulau terindah yang dipikirkan atau dikhayalkan orang, yang belum tentu benar-benar ada dalam kenyataan konkret. Hanya pengertian tentang Allah sebagai sesuatu yang jauh lebih besar dari segala sesuatulah yang dimaksudkan di sini. 

Untuk menjelaskan hal ini, cermati silogisme berikut ini:

  • Kita semua setuju bahwa dengan nama ‘Allah’ dimaksudkan “sesuatu-yang-daripadanya-tidak-ada-yang-lebih-besar-yang-dapat-dipikirkan” (id quo nihil majus cogitari potest). Dengan kata lain, yang dimaksudkan dengan nama ‘Allah’ adalah sesuatu yang lebih besar daripada segala sesuatu yang lain yang dapat dipikirkan.
  • Nah, tidak mungkin bahwa “sesuatu-yang-daripadanya-tidak-ada-yang-lebih-besar-yang-dapat-dipikirkan” itu hanya berada dalam pikiran, sebab sesuatu yang berada dalam pikiran saja bukanlah hal yang terbesar. Hal yang lebih besar lagi adalah berada dalam kenyataan.
  • Oleh karena itu, harus disimpulkan bahwa Allah tidak hanya berada dalam pikiran, tetapi juga dalam kenyataan. Jadi, Allah sungguh-sungguh ada.

Argumen Anselmus pada premis mayor di atas bertolak dari pengertian tentang Allah sebagai sesuatu yang sama sekali sempurna. Sementara itu, dalam premis minor, “Pengada-yang-daripadanya-tidak-ada-yang-lebih-besar-yang-dapat-dipikirkan” itu tidak hanya berada dalam pikiran saja, tetapi juga dalam kenyataan. 

Jika Pengada itu hanya berada secara instrumental saja, maka Pengada tersebut tidak dapat menjadi yang terbesar yang dapat dipikirkan, sebab masih dapat dipikirkan sesuatu yang lebih besar lagi. Oleh karena itu, manusia tidak dapat memikirkan “Pengada selain-Nya” tanpa merenungi keberadaannya dalam kenyataan. 

Eksistensi Allah dalam kenyataan niscaya diterima sebagai suatu kebenaran ontologis karena Allah secara hakiki tidak dapat dipahami sebagai sesuatu yang tidak ada secara aktual. Sebagai Realitas Tertinggi (The Supreme Being), Allah harus real dalam esensi sekaligus real dalam eksistensi. Berdasarkan pemahaman ini, harus dikatakan bahwa Allah adalah sebuah realitas aktual, di mana realitas lain yang lebih besar daripada-Nya mustahil ada. Oleh karena itu, keberadaan Allah yang esa dan mutlak dalam realitas merupakan sebuah keniscayaan.

Penulis: Joan Damaiko Udu

Editor: Wa Ode Zainab Zilullah T.

Referensi:

Canterbury, Anselmus, “Proslogion”, dalam Anselm of Canterbury: The Major Works, ed. Brian Davies dan G.R.Evans. New York: Oxford University Press, 1998.

Deane, S. St. Anselm: Proslogion, Monologion, an Appendix on Behalf of the Fool by Gaunilon; and Cur Deus Homo. New York: Oxford University Press, 1903.Suseno, Franz Magnis. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2006.





Citation format :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *