Published On
Categories

Bias gender ada dalam berbagai lini, bahkan pada ranah epistemologi. Terlebih berkaitan dengan penyeleksian suatu bentuk pengetahuan di atas yang lainnya; sebagai pandangan pengetahuan yang umum, tanpa memperdulikan kenetralan gendernya. Hal tersebut seringkali berdasarkan pada asumsi-asumsi yang bias, terutama berkenaan dengan karakter si pengetahu [subjek] yang ideal.

Sejak Roderick Chisholm (1966—1999), epistemologi analitis telah memberikan keleluasaan dan tempat kepada pengetahuan proposisional ketimbang pengetahuan praktis; dan yang berkenaan terhadap orang atau tempat. Dampaknya, pengetahuan terjustifikasi secara faktual atau menuntut adanya pembuktian empiris. Ciri epistemologi analitis tersebut juga sekaligus menjadi suatu jurang pembeda utama terhadap ciri epistemologis sejak masa filsafat abad klasik hingga modern. Dalam konteks ini, ciri yang menekankan aspek keutamaan (virtue) karena epistemologi keutamaan menekankan aspek intelek sang pengetahu agar sesuai dengan karakter dengan orang yang berkeutamaan.

Perubahan corak tradisi epistemologi yang berfokus pada keutamaan ini yang berpindah ke arah tradisi analitis yang berkutat pada kaidah-kaidah proposisional memiliki dampak terhadap kaum yang concern terhadap diskursus ‘epistemologi feminis’. Pasalnya, argumentasi yang ditawarkan oleh para feminis tersebut akan mentah karena dianggap sebagai warisan tradisi epistemologi keutamaan. Sehingga, sulit diapresiasi di masa kontemporer ini—setidaknya di lingkungan kaum analitis. Berikut ini tiga Fase Genevieve Lloyd. Di dalam The Man of Reason (1984), Genevieve Lloyd memperhatikan jejak-jejak yang menyebabkan kemerosotan pengetahuan praktis. Lloyd kemudian menjelaskannya melalui fase-fase historis mengenai teori-teori filosofis. 

Fase pertama, ditandai oleh karya-karya filosofis di masa klasik seperti Plato, Aristoteles dan termasuk juga di dalamnya filsuf-filsuf abad pertengahan, seperti Agustinus dll. Fase ini ditandai dengan sejumlah teori-teori nalar yang berkutat pada permasalahan etis mengenai kehidupan yang layak untuk dihidupi (well-lived). Hidup ideal semacam ini adalah kehidupan kontemplatif serta penggunaan akal budi sebagai instrumen utamanya. Oleh karenanya, maskulinitas dikaitkan dengan upaya mengutilisasi daya nalar demi menciptakan kehidupan ideal tersebut.

Fase Kedua ditandai dengan konsepsi bernalar yang baru yang diperkenalkan oleh Descartes, yang mana nalar di sini berarti sebuah pemberdayaan nalar yang bersifat abstrak (abstract reasoning) sekaligus tersistematisasi. Pada fase ini, segala pengetahuan berpusat pada penerangan nalar. Namun, sama dengan fase sebelumnya, aktivitas bernalar di sini masih terjebak pada maskulinitas karena asosiasi feminitas yang jatuh pada sisi non-nalar.

Fase ketiga ditandai oleh gaya berpikir yang dimiliki oleh Hegel dan Rousseau, yaitu bahwa suatu ide muncul sebagai sesuatu yang tidak hanya jenis karakter ideal yang berkeutamaan saja, tetapi sekurang-kurangnya ada dua, sesuai dengan gender. Lloyd menunjukkan bahwa kedua peta ideal ini tertanam ke dalam dikotomi publik-privat, di mana laki-laki diidealkan sebagai warganegara publik (umum) yang terlibat pada kehidupan-kehidupan publik seperti berpolitik. Sedangkan perempuan menempati posisi ideal di ranah privat, yaitu sebagai ‘ibu yang baik’, ‘pekerja rumah tangga yang baik’.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa segala tindak mengetahui melalui proses bernalar atau penggunaan akal budi, akan menjadi fitur yang paling penting bagi lelaki, karena hal itu sesuai dengan bangunan idealnya sebagai laki-laki. Sedangkan fitur kasih dan kepedulian dianggap sebagai fitur penting bagi perempuan karena dianggap ideal oleh perempuan. Ini yang menjadi problem filosofis-epistemologis dalam pandangan Genevieve Lloyd. Mengapa tidak keduanya sama-sama memiliki kualitas tersebut?

 

Referensi:

Genevieve Lloyd, The Man of Reason: “Male” and and “Female” in Western Philosophy, 

University of Minnesota Press, 1984.

Genevieve Lloyd, Feminism and History of Philosophy, Oxford University Press, 2002.


Penulis: Murteza Asyathri

Editor: Wa Ode Zainab ZT



This article is under the © copyright of the original Author: Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
(Zona-Nalar)

One thought on “Epistemologi Feminis dalam Filsafat Barat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

eighteen + eighteen =