Ada Apa Dengan Bahasa?

Mengapa harus bahasa? Sedemikian pentingkah hingga ia menjadi topik khusus dalam filsafat? Bukankah bahasa telah lazim kita gunakan dalam keseharian?

Pertanyaan-pertanyaan sederhana di atas dapat memunculkan jawaban-jawaban yang filosofis. Pertama, Hegel meyakini keluasan realitas secara signifikan dapat diukur dari keluasan rasio. Kedua, Heidegger meyakini bahwa bahasa menjadi house da existence (rumah bagi being atau pengada). Ketiga, definisi Kant mengenai das ding vurmicht__ (benda sesuai terepresentasi dalam pikiran melalui kategori apriori)__hanya mungkin kita pahami melalui bahasa.

Hegel

Melalui Hegel kita akan menemui misteri dalam tegangan being dan makna. Terdapat dialektika dalam olah makna begitu pula terdapat dialektika di dalam realitas atau being. Satu pengada/being dapat menjadi utuh sebagai dirinya ketika memiliki aparatus negasi. Misalnya, “kegelapan” akan menjadi utuh dalam dirinya ketika memiliki posisi negasi atau kebalikan dengan “terang” begitupun sebaliknya.

Hegel juga meyakini bahwa pembalikan tanpa batas seperti ini membentuk bahasa. Jika muncul pertanyaan, apakah itu bahasa? Kita dapat mendefinisikan bahasa sebagai kesatuan jejaring makna. Makna satu kata melengkapi definisi kata lain, kumpulan kata mendefinisikan satu kata dan seterusnya.

Dalam perspektif ini, seolah tidak ada perpasangan satu-satu bagi sebuah being dan makna. Misalnya untuk mendefinisikan being “kursi” kita meminjam definisi; kursi adalah alat untuk duduk. Lalu kita perlu mendefinisikan being “duduk”, maka kita meminjam definisi: duduk adalah posisi setengah berdiri. Demikian seterusnya dalam repetisi tanpa batas.

Jacques Derrida

Jacques Derrida menyebut bahasa sebagai aktivitas pembedaan, penundaan tanpa batas. Inilah misteri terbesar strukturalisme Perancis yang memandangnya sebagai lautan paradoks tak hingga. Dalam perspektif ini tidak ada representasi akhir bagi makna dan bahasa menjadi batas bagi pengetahuan. Tidak ada seberang teks maka repetisi pembedaan, penundaan adalah batas pengetahuan.

Di sisi lain, terdapat para filsuf yang diinspirasi oleh Immanuel Kant mengenai pembelahan das ing an sich (benda pada dirinya sendiri) yang mana kita tidak memiliki pengetahuan mengenai hal itu. Lalu das ding vurmicht (benda sesuai terepresentasi dalam pikiran kita). Dengan das ding vurmicht lah kita membincang dunia.

Kategori-kategori berupa universalitas, partikularitas, potensialitas, dsb dalam akal budi tak lain terepresentasi melalui bahasa. Mula-mula bahasa dibentuk dari judgment kita terhadap berbagai being atau pengada di sekitar. Untuk judgment terhadap being “kursi” akan muncul sebuah proposisi berbunyi “ini adalah kursi”, “kursi terbuat dari kayu”, “kayu berasal dari tumbuhan”, dst.

Proposisi Klasik

Berbagai proposisi tersebut membentuk kebahasaan kita. Namun kebahasaan selalu dibentuk dalam struktur logis. Pertimbangkanlah rangkaian proposisi klasik di bawah ini:

Proposisi 1

Semua manusia pasti mati

Proposisi 2

Socrates adalah manusia

Proposisi 3

Socrates pasti mati

Terdapat penghubung logis dari nilai “semua” yang mencakup manusia dan nilai partikular “terdapat satu hal yang eksis; yaitu Socrates sebagai manusia. A. J. Ayer seorang filsuf bahasa meyakini bahwa terdapat kaitan erat antara Truth (kebenaran), logika, dan bahasa. Kebenaran dari yang nyata membentuk jejaring makna dalam bahasa, dan jejaring makna perlu dibentuk secara logis.

Berbeda dari para strukturalis yang berusaha menemukan nilai transendental dari bahasa. Para filsuf keseharian ini berusaha menemukan formula paling sederhana dan paling pasti untuk mendefinisikan kebahasaan.

Gotlob Frege

Seorang matematikawan asal Jerman, Gotlob Frege, pada akhir abad 19 memberikan pandangan yang penting dalam studi kebahasaan dan logika. Gotlob Frege meninggalkan kerumitan repetisi pembedaan, penundaan. Ia melihat bahwa nilai subjek maupun objek dalam kalimat dapat dipergantikan secara setara asal mengikuti aturan logika yang pas.

Inti dari bahasa bagi Frege bukanlah pembedaan subjek, predikat melainkan ketetapan logisnya. Jika kita katakan subjek “nasi” adalah beras, dan predikat “beras” adalah nasi akan muncul ambiguitas dalam bahasa keseharian.

Frege berusaha melampaui ambiguitas tersebut dengan mempostulatkan sebuah formula kebahasaan dengan notasi simbolik demikian;

∀xF(x)x→a,b,c,etc

 Notasi tersebut dibaca dengan;

“Untuk semua x apabila x adalah bla-bla-bla maka x adalah bla-bla-bla”

Nilai dari quantifikasi universal “∀” (untuk semua) akan mencakup seluruh hal yang terkenakan definisi. Jika kita katakan “untuk semua beras”, maka hal ini mencakup seluruh being yang memiliki kategori makna sebagai beras, dan seterusnya.

 

Editor: Ahmed Zaranggi

 

Referensi:

-Suryajaya, Martin. 2009. Imanensi dan Transendensi. Jakarta: Penerbit AksiSepihak

-Suryajaya, Martin. 2020. Palingan Bahasa Kontinental Vs Analitik. Jakarta: Kanal YouTube Martin Suryajaya

https://youtu.be/TVWmutbwAks_

-Suryajaya, Martin. 2020. Sejarah Filsafat Analitik. Jakarta: Kanal YouTube Martin Suryajaya

https://youtu.be/_L-qs67BDhk_

-Suryajaya, Martin. 2020. Filsafat Kontinental Vs Analitik. Jakarta: Kanal YouTube Martin Suryajaya

https://youtu.be/Pw_Bn1RFp7Q_



This article is under the © copyright of the original Author: Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
(Zona-Nalar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3 × three =