Dalam rangka menelusuri kelahiran feminisme, mula-mula kita perlu mengenal ciri pemikiran tradisional barat sejak zaman Yunani kuno. Terdapat konstruksi bawaan di dalam pemikiran barat tradisional yang diisi oleh sistem biner dan hirarkis. Hal tersebut secara jelas dapat dilihat dalam struktur kebahasaan yang bercirikan keterpasangan antara istilah-istilah.
Contohnya, dalam ‘pasangan istilah’: pikiran dan jiwa (mind and body), literal dan metafora, lisan dan tulisan, presensi dan absensi (ada dan ketiadaan), baik dan jahat, pria dan wanita. Jika kita cermati, pasangan istilah selalu dibentuk mula mula dari hal fundamental dan primer pada istilah pertama. Misalkan, kata “ada” dan diturunkan dalam pasangan istilahnya menjadi “tiada” yang bersifat sekunder dan turunan.
Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa logosentrisme barat memprioritaskan nilai presence daripada absence; presence berarti “ada” dan absence berarti “tiada”. Karenanya logosentrisme barat disebut juga sebagai metafisika tentang keberadaan atau kajian mengenai “ada”. Signifikansi dari metafisika itu adalah keyakinan dasar bahwa hal yang “ada” atau “berada” nilainya lebih tinggi daripada yang tiada.
Jacques Derrida, filsuf terkemuka Prancis, melihat bahwa tendensi prejudice yang memprioritaskan “keberadaan” pada praktiknya akan menafikan nilai ketiadaan dan perbedaan. Dengan lebih radikal, Derrida menyebut logosentrisme barat sebagai “phallusentrisme”. Phallus berarti “penis” dalam arti literal yang mengindikasikan bahwa hirarki sosial maupun struktur pengetahuan berpusat kepada gender pria yang dianggap lebih superior dan “presence” atas phallus. Sedangkan perempuan yang absence atas phallus dianggap lebih rendah secara hirarkis dan biner.
Apa itu Feminisme?
Dari prejudice tersebut kritik feminisme dimulai. Feminisme akan membongkar prejudice pemikiran tradisional barat tadi. Walaupun prejudice phallusentris lebih sering terselubung dalam kementakan yang tidak diperiksa dan filsuf-filsuf telah menganggap kajiannya sudah bersifat netral dan universal. Secara historis, filsafat telah mengklaim bahwa norma bersifat universal dan tidak ada ruang bagi perbedaan, maka feminisme yang mengkaji ciri keberlainan dianggap sebagai abnormalitas yang keluar dari universalitas tadi.
Filsafat feminisme akan melakukan pendekatan filosofis dari sudut pandang feminis dan mengupayakan pembentukan metode filosofis bagi topik-topik dan pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut feminitas. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak pernah diakomodir oleh filsafat tradisional barat yang menafikan dikotomi sudut pandang konvensional dan sudut pandang feminis.
Simon De Beauvoir
Salah satu topik yang luput dari dikotomi tersebut adalah persoalan “The I” atau kedirian. Diri/Ego/Sang aku telah diklaim bernilai universal dan netral bagi semua manusia oleh filsafat tradisional. Berangkat dari pra-anggapan tersebut, Simon De Beauvoir mendeklarasikan sebuah argumen provokatif yang berbunyi, “kedirian pria adalah subjek, kedirian pria adalah yang absolut, sedangkan kedirian perempuan adalah yang lain.”
Argumen Beauvoir bukan sekedar provokasi, melainkan representasi nyata dalam alur sejarah. Perempuan telah diidentifikasi sebagai versi inferior dari pria. Apabila pria adalah subjek maka secara biner perempuan adalah non subjek, apabila diri pria adalah agent. Maka perempuan adalah non-agent yang pada akhirnya menjadi objek atau terobjektifikasi.
Beauvoir menyebut Freud sebagai salah satu pemikir yang memperlainkan perempuan hanya dari sudut pandang maskulinitas. Pertama Freud meyakini seksualitas manusia dibimbing oleh sebuah libido maskulin, kedua Freud meyakini seksualitas perempuan muncul dari kecemburuan terhadap gender pria. Beauvoir mengkritik secara direct sentimen Freud ini dengan anekdot bahwa psikoanalisis Freudian yang diinisiasi dari sebuah klinik di Jerman dengan pasien orang-orang Jerman mengindikasikan psikoanalisis ini belum tentu berlaku bagi semua orang di situasi sosial yang berbeda.
The Second Sex
Untuk membongkar segala pre-supposisi gender, Beauvoir mula-mula menggunakan diktum eksistensial Sartre yang berbunyi “eksistensi mendahului esensi”. Esensi atau makna bebas diciptakan setelah kita ada. Begitu pula esensi mengenai diri perempuan bebas diciptakan, dan dalam kenyataannya peradaban patriarki telah mensubordinasi esensi diri perempuan.
Eksistensialisme Satrean meyakini dua kategori utama yang membuat manusia dapat mendefinisikan dirinya. Pertama manusia sebagai etre pour soi dengan kesadaran dan kebebasannya merasa “ada” atau meng”ada”. Kedua manusia sebagai “etre en soi” yang melihat dirinya sendiri sebagai objek.
Karena manusia dapat melihat dirinya sendiri sebagai objek, niscaya manusia juga melihat diri orang lain sebagai objek. Sartre menyebutnya sebagai pour les autres (ada untuk yang lain). Dan Beauvoir meyakini, kaum perempuan telah diperlainkan oleh peradaban patriarkis di sepanjang sejarah.
Bersambung…
Editor: Wa Ode Zainab ZT
This article is under the © copyright of the original Author:
(Zona-Nalar)
Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
One thought on “Filsafat Feminisme Bag. I”