Penulis: Akhmad Fawzi
Editor: Ayu Lestari

Filsafat itu haram untuk dipelajari! Filsafat itu produk Barat untuk menghancurkan internal umat Islam! Filsafat merusak akidah! Filsafat dapat menyesatkan umat dari jalan yang lurus! (Pandangan Teolog)

Filsafat Islam Vis A Vis Teologi Islam: Beragam Pandangan

Penilaian sepihak oleh para teolog terhadap filsafat Islam seperti yang digambarkan di atas mendorong saya untuk melihat relasi kesamaan atau titik temu antara filsafat Islam dengan teologi Islam. Filsafat dan teologi seperti dua anak yang selalu dibentur-benturkan padahal lahir dari rahim yang sama. Menurut Al-Sijistani dan Al-Tauhidi, filsafat dan teologi tak mungkin bisa berdamai sebab berasal dari sumber yang berbeda.[1]

Sedangkan Mulyadhi Kartanegara yang pengalaman hidupnya cenderung rasional, merasa tidak puas terhadap teologi sebab dalam kajian teologi, akal manusia tetap harus menyerah pada kekuasaan kitab suci.[2] Tetapi bagi Al-Kindi, filsafat dan teologi sama-sama berupaya mencari kebenaran[3], yang ia sebut dengan Al-Haqq.

Sama halnya dengan filosof Ibnu Rusyd yang menguraikan dalam Fashl Al-Maqal nya bahwa syariat mendorong umatnya untuk mempelajari dan merenungkan segala yang wujud dengan akalnya. Maka, pengertian tersebut jelas bahwa agama secara implisit mendorong umatnya berfilsafat sehingga baginya mempelajari filsafat adalah perintah wajib atau perintah anjuran.[4]

 Dengan tegas ia sebut bahwa Al-Qur’an sendirilah yang menganjurkan kajian rasional seperti dalam Q.S. Al-Hasyr:2 dan Q.S Al-Isra:184. Kemudian menurut perspektif Al-Muwahhidun, petunjuk esoteris dari mulai sederhana hingga rumit ditujukan kepada masing-masing induvidu tergantung tingkatan intelektualnya. Ajaran agama yang sederhana hadir untuk memuaskan orang awam, sementara filsafat sebagai pisau analisis diperlukan untuk memuaskan orang terpelajar.[5]

Tak hanya itu, Ikhwan al-Shafa (Persaudaraan Suci) menganalogikan antara syariat dan filsafat seperti obat. Syariat itu obat bagi orang sakit sedangkan filsafat adalah obat bagi orang sehat. Maksudnya, orang sakit diberi obat (syariat) agar penyakitnya tidak bertambah parah dan sembuh, sementara bagi orang sehat (filosof), obat digunakan untuk menjaga kesehatannya agar tidak terkena penyakit sama sekali.[6]

Musuh Teologi Islam Bukan Filsafat Islam

Namun, dalam historiografinya, mulanya musuh kalam bukanlah filsafat Islam, tetapi kekuasaan yang sewenang-wenang. Dalam hal ini, kekhalifahan Umayyah yang bercorak nir-demokratis dan pemerintahannya nepotisme. Dinasti Umayyah dikenal sebagai pendukung setia paham Jabariyah yang selalu mengaitkan ketentuan Tuhan dengan peristiwa yang terjadi.

Ketika pemerintahnya dinilai bobrok, ia membentengi diri dengan paham Jabariyah bahwa pemerintahan mereka telah ditentukan oleh Allah sehingga siapa pun yang menolak bahkan mengkritik kebijakannya akan dihukum. Seperti Mabad Al-Juhani yang disalib karena mempromosikan paham Qadariyah. Lalu, Ghailan Al-Dimashqi yang juga dieksekusi atas perjuangannya dalam menyuarakan paham Qadariyah[7].

Namun, kalam yang bercorak rasional mendapat tempat pada dinasti Abbasiyah. Tak hanya kalam, filsafat pun mendapat tempat istimewa pada dinasti tersebut apalagi pada masa khalifah Harun Al-rasyid dan Al-Ma’mun. Era tersebut menandai berjalannya filsafat dan kalam secara harmonis bahkan sulit dipisahkan.[8]

Namun, ketika Muktazilah menjadi doktrin resmi kekuasaan, para penguasa memaksakan semua rakyatnya harus ikut pada doktrin resmi tersebut. Peristiwa ini dikenal dengan nama mihnah atau inkuisisi. Kisah terkenal peristiwa tersebut ialah Ahmad bin Hanbal yang menolak tesis ‘Al-Qur’an adalah makhluk, sehingga ia dipenjara.

Peristiwa tersebut merupakan kilas balik kebangkitan aliran Asy’ariyah sebagai bentuk responsif atas Muktazilah yang sudah terlalu jauh dengan wahyu. Asy’ariyah ingin mengembalikkan kembali kedudukan utama wahyu dalam melihat persoalan ketuhanan dan segala turunannya. Perdebatan kalam atau teologi dengan filsafat tidak jauh dari apa-apa yang dihasilkan keduanya. Misalnya perdebatan baik-buruk, kebebasan berkehendak dan keadilan Tuhan. Perdebatan terjadi karena memang sudut pandang yang digunakan berbeda.

Filsafat menyandarkan penyelidikannya pada akal sedangkan kalam pada wahyu. Filsafat diawali dengan sikap mempertanyakan, sedangkan kalam diawali dengan keyakinan. Titik tekan kalam adalah agama yang tujuannya adalah tauhid berdasarkan dalil naqli yang diterangkan dengan rasional. Sedangkan titik tekan filsafat Islam ialah filsafat islam itu sendiri yang bertujuan untuk memahami kebenaran melalui akal.[9]

Kalaupun begitu, kalam juga menggunakan pendekatan filsafat yang bercorak rasional dalam memahami wahyu. Sedangkan filsafat Islam pun dalam metode melihat dan mendiskusikan wahyu, menggunakan wacana intelektual dan rasional sehingga makna tersebut sudah mencakup kalam, tepat di situlah relasinya. Relasi tersebut disebut al-Hikmah al-Ilahiyyah, yakni perpaduan antara filsafat Islam, iluminasi, tasawuf dan prinsip kewahyuan yang mencapai puncaknya pada Mulla Shadra.[10]

Referensi:

Akyol, Mustafa. Reopening Muslim Minds. Jakarta: Noura Books. 2023.

Al-Shafa, Ikhwan. Rasail Ikhwan Al-Shafa.

Fakhry, Majid. Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis. Bandung: Mizan. 2021.

Kartanegara, Mulyadhi. Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam. Jakarta:            Lentera Hati. 2006.

Kartanegara, Mulyadhi. Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam. Bandung:            Mizan. 2002.

Madjid, Nurcholish. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor         Indonesia. 2019.

Nasr, Seyyed Hossein dan Oliver Leaman. Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam; Buku             Pertama. Bandung: Mizan. 2003.

Nasr, Seyyed Hossein. Filsafat Islam dari Muasalnya hingga Sekarang: Filsafat di     Padang            Nubuat. Terj. Syihabul Furqon. Sumedang: Yayasan Al-Maarij            Darmaraja. 2022.

Tiam, Sunardji Dahri. Historiografi Filsafat Islam. Malang: Intrans Publishing. 2015.

[1] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, (Bandung: Mizan, 2021), h. 72.

[2] Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2002), h. 9.

[3] Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 139.

[4] Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2019), h. 219.

[5] Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam; Buku Pertama, (Bandung: Mizan, 2003), h. 427.

[6] Ikhwan al-Shafa, Rasail Ikhwan al-Shafa.

[7] Mustafa Akyol, Reopening Muslim Minds, (Jakarta: Noura Books, 2023), h. 48.

[8] Sunardji Dahri Tiam, Historiografi Filsafat Islam, (Malang: Intrans Publishing, 2015), h. 20.

[9] Sunardji Dahri Tiam, Historiografi Filsafat Islam, h. 57.

[10] Seyyed Hossein Nasr, Filsafat Islam dari Muasalnya hingga Sekarang: Filsafat di Padang Nubuat, h. 61.



This article is under the © copyright of the original Author: Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
(Zona-Nalar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3 − one =