Penulis: Wa Ode Zainab Zilullah T.

Editor: Murteza Asyathri

Hannah Arendt adalah seorang filsuf politik terkemuka abad ke-20. Karya-karyanya mengenai politik terkenal karena orisinalitas dan gagasan yang jernih, antara lain The Origin of Totalitarianism, The Human Condition, On Revolution, dan The Life of the Mind. Dalam Filsafat Politik-nya, Arendt menitikberatkan pada civic engagement (keterlibatan warga negara) dan political deliberation (penilaian politik).

Pada dasarnya, pemikiran Arendt bertujuan untuk menyediakan struktur objektif, hakikat keberadaan, dan karakteristik politik. Menurutnya, politik harus dapat membangun sebuah kehidupan bersama yang mana setiap warga negara dilihat sebagai manusia yang bebas. Namun, Arendt tidak melihat struktur politik seperti itu terjadi, terutama pada masa Perang Dunia II. Bagi Arendt, politik bukanlah sesuatu yang inheren dalam diri manusia [sebagaimana diungkapkan oleh Aristoteles], tetapi politik merupakan kesadaran manusia menjalankan tugas bersama untuk membangun dunia yang lebih baik.

Hannah Arendt dalam The Human Condition membagi kegiatan manusia-aktif menjadi tiga macam, yaitu kerja (Arbeiten), karya (Herstellen) dan tindakan politis (Handeln). Bagi Arendt
‘kerja’ merupakan suatu kegiatan yang dilakukan setiap orang, agar ia bisa
hidup. Sementara itu ‘karya’merupakan kegiatan manusia untuk memproduksi sesuatu yang berguna bagi orang lain. Sedangkan tindakan politik adalah kegiatan manusia yang
menghubungkan antara manusia yang satu dengan lainnya, yang mana terkait dengan kondisi pluralitas manusia.

Filsafat Arendt, mempengaruhi pemikiran kita yang selama ini apatis dengan kekuasaan. Menurut Arendt, kekuasaan adalah kebersamaan manusia yang berimplikasi pada potensialitas masyarakat teraktualisasi. Maurizio Passerin d’Enteves dalam karyanya menganalisis Filsafat Politik Hannah Arendt dalam empat bagian, yaitu Modernitas, Teori Tindakan, Teori Penilaian, dan Konsepsi Kewarganegaraan.

Modernitas: Dominasi Elit yang Memanipulasi Publik

Bagi Arendt, modernitas ditandai dengan “hilangnya dunia”. Dengan kata lain, modernitas merupakan era masyarakat massa yang ditandai dengan munculnya “ruang sosial”. Lebih lanjut, menurut Arendt, modernitas adalah era administrasi birokratis dan kerja anonim, serta era dominasi elit politik yang suka memanipulasi publik. Era modernitas ditandai dengan munculnya pemerintahan totalitarian, sebagai perwujudan dari pelembagaan teror dan kekerasan. Dalam The Origins of Totalitarianism, Arendt menyatakan bahwa totalitarianisme menjadikan konsepsi moral politik tidak lagi bermakna, yang menyebabkan kerusakan tradisi.

Teori Tindakan: Identitas dan Deliberasi Kolektif

Gagasan Arendt mengenai praxis (tindakan) merupakan representasi upayanya yang paling orisinal. Dengan membedakan antara tindakan dan poiesis (fabrikasi), serta menghubungkannya dengan kebebasan dan pluralitas, Arendt mampu mengartikulasikan konsepsi politik yang mana makna, identitas, dan nilai lebih ditunjukkan ke khalayak. Di satu sisi, Arendt memahami tindakan sebagai aktivitas manusia, yang menekankan pada keunikan diri dan hubungan komunikatif yang didasarkan pada mutualitas, simetri, dan persuasi. Tindakan di sini lebih dimaknai sebagai proses deliberasi kolektif dan akomodasi mutual.

Teori Penilaian: Mentalitas yang Membesar

Menurut Arendt, penilaian merepresentasikan keseimbangan batin yang bisa kita gunakan untuk mengevaluasi tindakan manusia. Maka, penilaian merupakan pengejewantahan lahiriah dari kapasitas manusia dalam berpikir secara kritis. Dalam konteks ini, Arendt mengenyampingkan pra-anggapan bahwa penilaian terkait dengan ‘selera’ berada di luar wilayah politik; dalam term Immanuel Kant disebut “mentalitas yang membesar”, yaitu kemampuan politik khusus untuk berpikir dari sudut pandang orang lain. Menurut Arendt, diskusi dan debat publik sangat krusial bagi pembentukan opini publik dalam rangka pencerahan yang demokratis.  

Kewarganegaraan: Partisipasi Politik

Terkait dengan kewarganegaraan, Arendt setidaknya memiliki tiga konsepsi: pertama, artifisialitas kehidupan publik dan aktivitas politik; kedua, perbedaan antara kepentingan publik dan privat; ketiga, kualitas spasial kewarganegaraan formal. Bagi Arendt, partisipasi politik itu sangat penting karena memungkinkan mantapnya hubungan kewargaan dan solidaritas di antara warga negara. Kendati demikian, Arendt curiga dengan istilah “opini publik”, karena memaksakan suara bulat, tanpa memperhatikan pikiran masing-masing warga negara. Dalam konteks ini, tampak Arendt menekankan pada demokrasi partipatoris.

Referensi:

Arendt, Hannah. The Human Condition. Chicago: The University of Chicago Press. 1958.

Arendt, Hannah, The Origins of Totalitarianism, New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1958.

D’Entreves, Maurizio Passerin, Filsafat Politik Hannah Arendt. Yogyakarta Penerbit Qalam. 2003.

https://iep.utm.edu/hannah-arendt/



This article is under the © copyright of the original Author: Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
(Zona-Nalar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

19 + sixteen =