Pada artikel sebelumnya, Zona Nalar sampai pada pemikiran Simon De Beauvoir, seorang filsuf feminisme awal yang meyakini bahwa perempuan telah diperlainkan di sepanjang peradaban patriarkis. Kata “lain” dalam konteks ini sesuai dengan judul buku Beauvoir, yaitu The Second Sex, yang berarti perempuan telah diperlainkan di ranah gender.
Namun, kritik Beauvoir tidak berfokus kepada distingsi gender di ranah biologis, perihal gender biologis Beauvoir telah mengakui batas-batas antara gender jantan dan betina. Sedangkan kritik Beauvoir sebenarnya berada di ranah biopsikososial yang kompleks.
bagi Beauvoir bukanlah sesuatu yang secara sederhana menjadi fitur bawaan lahiriah, tetapi sebenarnya berkembang dalam interaksi sosial yang kompleks.
Mungkin terasa sedikit rumit bagi Zoners, namun jika Zoners dapat menguasai pemikiran para feminis, Zoners juga akan menjadi feminis yang lebih ahli dan mampu beradu argumen dengan ketat melawan para patriarkis. Mari kita urai pelan-pelan perbedaan definisi gender secara biologis dan definisi gender menurut Beauvoir. Gender secara biologis tentu sudah tidak asing definisinya bagi Zoners, karena terdapat batasan yang mencolok antara gender male dan female atau jantan dan betina.
Kata “gender” dalam biologi dapat dipergantikan secara arbitrer dengan kata “sex” yang merujuk kepada arti jenis kelamin. Kategori sex/jenis kelamin dipengaruhi oleh dua faktor biologis yaitu hormon dan kromosom, apabila kromosom bernilai XX dianggap sebagai jenis kelamin female/betina sedangkan kromosom bernilai XY dianggap sebagai jenis kelamin male/ jantan.
Terdapat juga perbedaan hormon bawaan pada jantan yang didominasi testosteron sedangkan pada betina hormon didominasi oleh estrogen. Sex dalam biologi bersifat nature atau bawaan alamiah, dan perspektif biologi meyakini bahwa fitur hormonal dari satu individu akan bertahan sedari ia lahir hingga sepanjang usia.
Selanjutnya, kita akan menyelami definisi gender perempuan menurut Beauvoir.
“Seseorang tidak lahir sebagai perempuan, menjadi perempuan adalah kondisi yang diciptakan.”
Demikian sebuah ungkapan Beauvoir yang menggambarkan inti pemikirannya, alih-alih menganalisis gender sebagai hal yang “nature” (bawaan), Beauvoir menemukan sumbangsih daya-daya “nurture” (pengaruh luar) bagi pembentukan gender perempuan. Daya “nurturing” tersebut terdapat dalam masyarakat yang mengimpose segala stigma keperempuanan berupa; menjadi pasif, aware terhadap penampilan, lemah dan butuh perlindungan, dan seterusnya.
Terdapat batasan-batasan stigma yang diciptakan masyarakat antara maskulinitas dan feminitas yang juga membatasi kemungkinan kemunculan gender dalam diri individu, khusus dalam hal ini stigma gender bagi perempuan membuat mereka kesulitan karena berada di kelas yang lebih rendah secara biner dan hirarkis.
Kembali lagi menilik pengaruh eksistensialisme Sartre-an dalam filsafat Beauvoir seperti sudah disinggung sebelumnya pada artikel feminisme bagian 1. Bagi Sartre, walaupun hukum eksistensi berbunyi “eksistensi mendahului esensi”, namun esensi yang kita miliki juga ditentukan oleh orang lain atau Sartre sebut “les pour autres” artinya kita ada untuk orang lain.
Dalam hal ini, masyarakat sebagai figur “lain” turut mengimpose pemaknaan atau esensi diri kita, seperti dimaksud Beauvoir tadi. Manusia harusnya bebas menentukan esensi dirinya, namun kebebasan manusia ternyata secara paradoksal dibatasi oleh orang lain, begitu pula perempuan harusnya bebas menentukan esensi dirinya, namun kebebasan perempuan dibatasi oleh masyarakat patriarkis.
Menilik waktu penerbitan buku The Second Sex milik Beauvoir pada tahun 1949, era tersebut bukanlah era yang mudah bagi Beauvoir untuk mempromosikan pemikirannya. Kuatnya pengaruh patriarkal dalam budaya intelektual dan pengaruh restrukturisasi masyarakat pasca perang membuat Beauvoir harus berupaya lebih keras. Kendati ia menjadi lulusan termuda jurusan filsafat pada usia 21 tahun di era itu, Beauvoir butuh berargumen dengan taraf intelektual yang tinggi bahkan untuk didengar alih-alih dianggap setara dalam sebuah diskusi intelektual.
Namun sumbangsih pemikiran Beauvoir tidak bisa dianggap remeh. Berpuluh tahun setelah penerbitan pemikiran Beauvoir, sebuah studi neurosains menemukan bahwa memang benar adanya jika otak kita terbiasa mengafirmasi stigma yang diimpose berulang-ulang. Wujud jejaring neuron di otak kita (brain plasticity) berisikan alur pengulangan-pengulangan informasi. Artinya, narasi-narasi besar dalam pengetahuan wajib semisal dogma keagamaan yang memerintahkan kaum perempuan untuk tunduk kepada Tuhannya dan kepada suaminya secara tak sadar akan membentuk keyakinan perempuan bahwa ia harus berada di bawah kaum pria.
Pada tahap awal kehidupan anak laki-laki didorong untuk menjadi pria kecil dan bisa menjadi independen dengan ketubuhan mereka yang maskulin. Sedangkan perempuan diajarkan untuk bermain dengan boneka mereka, dipuji atas kerapian dan dikritik apabila tidak mengikuti standar penampilan yang baik. Ditakut-takuti atas bahaya nya kehidupan yang mengancam kecantikan mereka, maka mereka diharuskan pasif.
Kepasifan perempuan ini mendorong tindak “objektifikasi” atau peng-obyekan dari kaum patriarkis, patriark dalam hal ini bukan hanya pria namun perempuan lain juga dapat menjadi lebih patriarkis. Semisal dalam objektifikasi penampilan atau kecantikan dari perempuan bukan hanya berfungsi bagi dirinya sendiri alih-alih lebih berfungsi sebagai kesenangan bagi “orang lain” (secara paradoksal perempuan lain juga membatasi kebebasan feminitas secara sistematis). Kisah-kisah klasik di media juga mempengaruhi pemikiran kaum perempuan secara tak sadar, semisal dalam wiracitra Cinderella yang menempatkan simbolisme perempuan sebagai pihak yang harus diperebutkan.
Para feminis juga perlu berterima kasih kepada Beauvoir. Atas inisiasi definisi Beauvoir mengenai perempuan yang memicu pembongkaran stigma dogmatis bagi pihak tertindas meliputi kaum trans, kaum non biner, bahkan kepada ekologi atau alam, kelak di masa pasca The Second Sex. Kira-kira seperti apa pemikiran feminisme pasca Beauvoir, nantikan di artikel feminisme Zona Nalar berikutnya.
Referensi:
https://www.rewriting-the-rules.com/gender/international-womens-day/pada 8 Januari
Editor: Murteza Asyathri
This article is under the © copyright of the original Author:
(Zona-Nalar)
Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
One thought on “Filsuf-filsuf Feminisme Bag. II”