Penulis: Murteza Asyathri
Editor: Wa Ode Zainab Zilullah

Konflik Palestina dan Israel memasuki periode terpanasnya, sejak 7 Oktober silam. Merujuk data sejarah, pendudukan zionisme Israel terhadap wilayah Palestina sebenarnya bermula pada tahun 1937 (Jerusalem Massacre). Israel, sebagai ‘negara’ zionis, kini berada dalam sorotan dunia pasca genosida yang dilakukan terhadap bangsa Palestina. Yang menarik di sini adalah, istilah “zionis” kerap digunakan di berbagai media untuk menggambarkan entitas ‘penjajah’ tersebut atau kelompok yang pro-Israel. Namun, sebenarnya apa sih zionis itu?

Secara umum, gerakan zionisme adalah sebuah gerakan yang paham atau ideologinya menghendaki berdirinya negara Yahudi. Istilah zionis adalah sebutan orang yang mendukung atau yang ingin mendirikan negara Yahudi. Istilah ini sebenarnya sudah dipakai jauh sebelum deklarasi berdirinya Israel di tahun 1948. Tepatnya ketika Theodor Herzl, seorang jurnalis dan penulis Yahudi asal Hungaria yang memiliki pandangan ‘nasionalistik’  tentang sebuah negara sebagai solusi terhadap Persoalan Yahudi di Eropa (Jewish Questions). 

Perlu diketahui bahwa Persoalan Yahudi (Jewish Question) ini menjadi perdebatan di kalangan masyarakat Eropa dan semakin hangat sejak tumbuhnya semangat nasionalisme yang sangat kuat sejak abad ke-18 dan abad ke-19. Ketika Jerman dipersatukan menjadi Kekaisaran Jerman yang diikat oleh kesamaan budaya, bahasa, dan suku di masa Otto von Bismarck. Lalu bagaimana dengan umat Yahudi yang secara identitas dianggap alien di Eropa karena merupakan pendatang? Hal ini yang membuat Inggris menerbitkan Jewish Naturalisation Act tahun 1753 sebagai bagian dari program pemerintah untuk menyeragamkan dan men-Inggriskan kaum Yahudi.

Bruno Bauer, seorang filsuf sezaman dengan Karl Marx, menulis traktat berjudul Die Judenfrage (1843) untuk menjelaskan bahwa perlunya negara sekuler agar tercapainya emansipasi politis bagi kaum Yahudi di Jerman. Namun, emansipasi politis ini akan terwujud apabila kaum Yahudi meninggalkan identitas keagamaannya agar bisa hidup setara bersama warga negara lainnya. Di dalam hal ini, Bauer mengkritik negara Prusia yang menggunakan tameng agama kristen sebagai pelindung bagi kaum elit, sekaligus juga mengkritik kaum Yahudi yang mengharapkan emansipasi di dalam kondisi sosio-politik semacam itu.

Karl Marx kemudian mengkritik Bauer setahun kemudian melalui esainya Zur Judenfrage (1841) yang menyatakan bahwa negara sekuler yang digagas oleh Bauer keliru sebagai jalan keluar bagi permasalahan politik identitas kaum marjinal di Jerman. Emansipasi politik tidaklah cukup sebagai solusi bagi kaum Yahudi karena problemnya bukan lagi berkenaan dengan hak-hak politik warga negara atau politik identitas, tetapi lebih radikal lagi, yaitu problem ekonomi dan budaya tamak Yahudi. Yahudi yang sekuler bagi Marx, bukanlah Yahudi yang emansipatoris, tetapi Yahudi yang rakus. Esai ini memang cukup kontroversial karena menyoroti potensi antisemitisme Karl Marx tetapi stigma tersebut menjadi lumrah di masa itu.

Adalah Moses Hess, yang sebagai intelektual sosialis–sempat menjadi sahabat karib Marx–mengajukan konsep berdirinya negara Yahudi di Palestina sebagai jalan keluarnya. Dapat dikatakan bahwa Hess adalah intelektual zionis purba sebelum Herzl. Di dalam karyanya berjudul Rom und Jerusalem (1862), harapan memperjuangkan emansipasi kaum Yahudi di Eropa tidak akan maksimal sehingga perlu bagi kaum Yahudi untuk mengadopsi konsep nasionalisme demi cita-cita kaum Yahudi yang merdeka. Hess juga membayangkan negara sosialis Yahudi dan mengedepankan konsep ekonomi berbasis agraria dan kolektif. Visi ini nantinya akan menjadi basis komunitas utopis yang diprakarsai kaum intelektual kiri zionis awal dengan mendirikan Kibbutzim di Palestina.

Karya Hess ini juga menjadi sumber inspirasi bagi Theodor Herzl dalam mengkonseptualkan gagasan zionisnya yang nanti termuat di traktatnya, Der Judenstaat (1892). Herzl meyakini bahwa zionisme adalah “solusi modern bagi Persoalan Yahudi” di Eropa yang selama ini tertindas terlebih dengan merebaknya antisemitisme. Salah satu contoh kasus yang sempat diliput Herzl sebagai wartawan adalah saat turut hadir mendengar vonis yang dijatuhkan pada Alfred Dreyfus karena dituduh sebagai mata-mata Jerman. Herzl juga menyoroti sejarah penindasan terhadap Yahudi seperti pogrom di Rusia.

Meskipun demikian, bukan berarti gerakan ini bebas dari pertentangan, khususnya dari kalangan Yahudi ortodoks hingga aliran Hasidut. Salah-satunya adalah Rabbi Joel Teitelbaum, pendiri kelompok Hasidut Satmar. Rabbi Teitelbaum mengutuk zionisme karena dianggap menyalahi akidah, khususnya melanggar Tiga Sumpah yang tertera di dalam Talmud. Banyak kalangan ortodoks juga tidak ingin dikaitkan dengan kelompok zionis masa itu karena dianggap sekuler dan bahkan ateis. Namun ada pula intelektual sekuler masa itu yang menolak seperti Hermann Cohen, filsuf neo-Kantian, yang menganggap zionisme menyalahi identitas a-historis kaum Yahudi karena sejatinya tidak memiliki cita-cita nasionalistik seperti yang dikedepankan oleh kaum zionis.

Referensi:
Krisis| Journal for Contemporary Philosophy: https://archive.krisis.eu/judenfrage/
Sachar, Howard (2007) [1976]. History of Israel: From the Rise of Zionism to Our Time.New York: Random House.
https://www.britannica.com/biography/Moses-Hess



This article is under the © copyright of the original Author: Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
(Zona-Nalar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

nineteen − 5 =