Beberapa waktu ini, childfree menjadi sebuah isu yang hangat diperbincangkan oleh masyarakat Indonesia, khususnya di media sosial. Terlebih lagi saat Gitasav melontarkan komentar di instagram pribadinya saat ada salah seorang warganet yang memujinya “awet muda”, meskipun sudah berusia 30 tahun. Gitasav, influencer (publik figur) asal Indonesia yang kini menetap di Jerman, merespons komentar tersebut dengan mengaitkan pilihan hidupnya tersebut [bersama suami] dengan “awet muda”. Netizen pun bereaksi karena menganggap pernyataan Gitasav arogan dan kontroversial.

Apa itu childfree? Childfree adalah sebuah kesepakatan yang dilakukan oleh pasangan suami isteri untuk tidak memiliki anak selama masa pernikahannya. Bagi penganut childfree, memiliki anak adalah pilihan yang memungkinkan mereka untuk fokus pada pasangan, karier, hobi, bahkan gaya hidup. Namun, childfree menjadi pilihan karena berbagai pertimbangan, misalnya, kondisi medis, kekhawatiran tumbuh kembang anak, masalah psikologis, faktor ekonomi, atau persoalan lingkungan. Kendati demikian, pilihan “childfree” masih tabu dan kontroversial; karena dalam konstruksi budaya masyarakat Indonesia, melahirkan/memperoleh anak dianggap sebagai tujuan pernikahan selama tidak ada faktor-faktor yang menghalanginya.

Namun, istilah childfree sudah familiar atau dikenal masyarakat luar, terutama negara Barat [meskipun di Jepang atau Korea Selatan, fenomena ini sudah marak terjadi]. Di Jerman, misalnya, kecenderungan perempuan memilih untuk mandiri dan bebas dari anak mulai tumbuh pada abad ke-18. Para perempuan percaya bahwa tanpa adanya anak, mereka dapat bekerja dan memperjuangkan kesetaraan gender. Para perempuan perempuan ini biasanya adalah penganut Feminisme Sosialis yang berjuang menghapus sistem kepemilikan suami atas istri, dimana yang diinginkan adalah keduanya setara memiliki hak yang sama, termasuk untuk mengejar kemandirian ekonomi, dan terbebas dari penindasan budaya patriarki. 

Bagi sebagian orang yang memilih childfree, anak justru dianggap sebagai beban, penghambat karir dan kesuksesan, atau menjadi penyebab gagalnya seseorang untuk mengembangkan potensi diri. Menurut Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi, gagasan childfree tidak sejalan dengan nilai agama, melainkan produk dari gerakan feminisme. Alih-alih melihat anak merupakan anugerah dari Tuhan untuk keberlangsungan hidup manusia di muka bumi, penganut childfree berpandangan bahwa anak sebagai beban orang tua dan dunia (over populasi). 

Namun, menurut KH. Husein Muhammad, menolak kehamilan merupakan salah satu hak reproduksi yang mana disepakati oleh kedua belah pihak. Menurutnya. hak reproduksi dibagi menjadi empat, yaitu hak menikmati hubungan seksual, hak menolak hubungan seksual, hak menolak kehamilan, serta hak menggugurkan kandungan (aborsi). 

Apakah hak reproduksi ini bisa menjadi legitimasi childfree? Para ulama berbeda pandangan terkait hal ini. 

Psikolog Rahma Nuzulia Tristinarum mengungkap fenomena ada beberapa alasan di balik keputusan childfree, salah satunya adalah faktor pergaulan; atmosfer dimana kita tinggal dapat mempengaruhi cara berpikir seseorang. Selain itu, pengalaman traumatis juga bisa menjadi pemicunya. Ada kalanya seseorang yang diperlakukan tidak baik oleh orang tua di masa lampau, memilih untuk tidak memiliki anak. Adapun faktor lainnya, antara lain: Risiko medis saat memiliki anak, Keinginan bersama pasangan menjadi kesepakatan bersama, Belum siap menjadi orang tua, masih ingin meniti karir, dan menikmati kehidupan dengan pasangan.

Persoalan childfree merupakan isu kontemporer yang pembahasannya menuai pro dan kontra di kalangan pemikir, agamawan, dan segenap pihak. Kendati demikian, merujuk pada teks agama, banyak hadits (perkataan Rasulullah Saw.) yang menganjurkan suami istri untuk memiliki keturunan dalam pernikahan [Lihat: Ensiklopedi Hadits Kitab 9 Imam]. Terlebih lagi, memiliki anak dalam perspektif agama merupakan bagian integral dari perwujudan manusia sebagai “khalifah di muka bumi” yang mana harus melanjutkan keturunan. Namun, teks agama pun tidak menutup kemungkinan untuk melakukan “musyawarah” atau saling berdiskusi untuk mencapai kemaslahatan bersama dalam kehidupan rumah tangga. 

Namun, dalam sudut pandang kebebasan manusia, memutuskan untuk childfree adalah pilihan. Hal ini seyogyanya harus disertai dengan pemikiran yang matang dan penuh kesadaran. Memang hidup adalah pilihan, tetapi setiap pilihan seyogyanya didasarkan pada kemaslahatan dan kebaikan kedua belah pihak. Terkait dengan childfree, ini sebenarnya merupakan pilihan pribadi yang tidak perlu diumbar, terlebih lagi memprovokasi pihak lain untuk mengikuti pilihan yang dipilihnya. Apabila demikian, apa bedanya dengan orang ekstrimis yang memaksakan kehendaknya untuk divalidasi? 

Sikap ini tentunya membutuhkan kebijaksanaan. 

Penulis: Farhatul Aliyah

Editor: Wa Ode Zainab Zilullah Toresano

Referensi:

Fadhilah, E. Childfree Dalam Perspektif Islam. Al-Mawarid: Jurnal Syari’ah dan Hukum3, 2002. 

Khasanah, U., & Ridho, M. R. (2021). Childfree Perspektif Hak Reproduksi Perempuan Dalam Islam. Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies3(2), 104-128.

Haecal, M. I. F., Fikra, H., & Darmalaksana, W. (2022, January). Analisis Fenomena Childfree di Masyarakat: Studi Takhrij dan Syarah Hadis dengan Pendekatan Hukum Islam. Gunung Djati Conference Series (Vol. 8, pp. 219-233).

Hazyimara, K. (2022). Fenomena keputusan Childfree dalam perspektif Al-Qur’an (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim).

Muhammad, KH. Husein. Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Tafsir Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta: IRCiSoD. 2019, 270. 

https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5684095/seperti-gita-savitri-psikolog-beberkan-alasan-orang-enggan-punya-anak


This article is under the © copyright of the original Author: Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
(Zona-Nalar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

twenty − ten =