Penulis: Adhimas Alifian Yuwono
Editor: Murteza Asyathri
Beberapa waktu yang lalu ramai di media sosial tentang seorang pendakwah yang membahas masalah musik. Pendakwah tersebut mengatakan bahwa ada salah satu surat dalam kitab suci yang secara implisit mengartikan tentang musik. Hal tersebut menimbulkan kontroversi di kalangan pendakwah yang lain, yang tentunya tidak setuju akan pernyataan itu, mereka yang kontra berangkat berkeyakinan bahwa music itu dilarang atau haram–tidak diperbolehkan untuk bersinggungan: bermusik atau mendengarkan musik.
Musik di sini dimaknai sebagai bunyi-bunyian yang dihasilkan dari alat-alat musik. Berbeda dengan syair atau nasyid yang merupakan bunyi hasil dari alat tutur manusia. Dalam pengertian ini, musik pada akhirnya diperdebatkan tentang kehalalannya. Kedua belah pihak, baik yang pro maupun yang kontra, keduanya sama-sama berangkat dari pemahaman perihal hukum boleh tidaknya musik menurut agama, sifatnya adalah yurispudensi-interpretatif. Sehingga hal tersebut melahirkan pemahaman yang hitam-putih (logosentris). Suatu hubungan yang saling membenarkan diri sambil menganggap diri yang lain salah.
Mari kita membaca musik dengan kajian filsafat pada cabang etika teleologis. Etika berasal dari Bahasa Yunani ‘ethice’ yang berarti perilaku seseorang, kebiasaan, perasaan batin, watak, serta kecenderungan hati untuk melakukan suatu tindakan. Selain itu, etika dipahami sebagai kajian tentang baik dan buruk suatu perbuatan manusia. Etika mencakup dua cabang besar yaitu deontologi dan teleologi.
Deontologi adalah pandangan etika normatif yang menilai moralitas suatu tindakan berdasarkan kepatuhan pada peraturan (kewajiban). Misalnya seseorang dianggap buruk ketika bersedekah menggunakan barang hasil curian, hal demikian dianggap buruk lantaran yang bersangkutan melakukan ketidakpatuhan terhadap aturan. Meskipun bersedekah adalah perbuatan baik, tetapi mencuri adalah tindakan yang dilarang, itulah mengapa tindakan tersebut tetap dinilai buruk.
Selanjutnya adalah etika teleologis. Teleologis berasal dari Bahasa Yunani ‘telos’ yang artinya tujuan. Pandangan ini mengatakan bahwa baik buruknya suatu perbuatan itu tergantung pada tujuan yang dicapainya. Sesuatu perbuatan yang memang bermaksud baik, tetapi tidak menghasilkan suatu dampak yang bermakna, menurut pandangan teleologis tidak pantas disebut baik.
Dengan demikian, musik, dapat diuraikan melalui pandangan teleologis. Sebab, musik itu sendiri secara entitas tidak mengandung peraturan-peraturan intrinsik, ia bebas nilai. Musik menjadi dapat diukur kebaikan dan keburukannya ketika dipergunakan dan memiliki dampak. Maka dari itu, untuk membaca fenomena musik ini, perlu dihadirkan pembacaan dengan pandangan etika teleologis.
Sebagaimana yang telah dijelaskan, bahwa konsep teleologis adalah pandangan yang menjelaskan tentang baik buruknya sesuatu itu bergantung pada tujuan penggunaanya. Maka baik buruknya musik dalam kajian etika teleologis itu bergantung pada tujuan, dan/atau untuk apa musik itu dipergunakan, atau dipermainkan sehingga berdampak secara baik atau buruk. Bilamana musik itu dipergunakan untuk tujuan baik yang berdampak pada individu misalnya untuk terapi atau rileksasi stress, sarana meditasi, maupun secara sosial misalnya penyelenggaraan konser amal, serta menjadi medium penyebaran nilai-nilai moral seperti kesalehan dan sejenisnya, maka dalam hal ini musik dapat dikatakan baik.
Sebaliknya, musik dikatakan buruk bilamana mempunyai tujuan dan dampak yang buruk pula. Dampak buruk bagi individu misalnya dengan bermain musik seseorang sampai melupakan kewajiban yang lainnya. Secara sosial, dampak buruk musik cukup terlihat ketika pengadaan pementasan musik yang diikuti pertengkaran, perkelahian, pelecahan, dan tindakan dehumanisasi lainnya, terlebih musik juga dapat digunakan sebagai sarana propaganda atau penyebaran doktrin yang menyesesatkan. Dalam hal ini, musik dipandang buruk sebab digunakan dengan niat yang buruk dan mengasilkan dampak yang buruk.
Jadi, untuk melihat musik, selain menggunakan kacamata teologis, perlu juga dibaca dengan cara lain, terutama dengan kajian etika, yang bersinggungan tentang penilaian baik dan buruk suatu perbuatan. Dengan demikian, satu sama lain dapat menghargai dan akan meminimalisir resistensi yang tinggi karena ternyata pemahaman yang hitam-putih tersebut masih menyisakan ruang abu-abu yang di sanalah sikap toleransi maupun empati mampu dilahirkan.
Referensi
Bertens, Kees. 2005. Etika, Jakarta: Gramedia.
Weruin, U. U. (2019). Teori-Teori Etika Dan Sumbangan Pemikiran Para Filsuf Bagi Etika Bisnis. Jurnal Muara Ilmu Ekonomi Dan Bisnis, 3(2), 193-215.
This article is under the © copyright of the original Author:
(Zona-Nalar)
Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.