Penulis: Muhammad Ghifari Rahmanuddin
Editor: Ayu Lestari

Secara etimologi, Mantiq berasal dari bahasa Arab nathaqa yang artinya berpikir. Sedangkan dalam bahasa Yunani, terdapat istilah logicos yang biasanya dimaknai dengan kata Logika. Keduanya, baik nathaqa maupun logicos, memiliki definisi yang sama, yaitu sebuah proses atau cara menggunakan akal pikiran yang dituangkan dalam bahasa, untuk mengungkap suatu konklusi sebagai pengetahuan. Ilmu logika atau mantiq pertama kali disusun oleh seorang filsuf Yunani, Aristoteles.

Kendati demikian, logika secara hakikatnya telah melekat sebagai karunia yang Tuhan berikan kepada manusia sejak dilahirkan. Jauh sebelum ilmu ini disusun, logika telah ada dan membantu manusia dalam memperoleh suatu pengetahuan dengan mempergunakan akalnya.

Logika Aristoteles dituangkan dalam kumpulan tulisan yang kemudian dinamai Organon oleh para murid dan pengikutnya. Di dalamnya terdapat 6 bab atau bagian, yaitu bab Categoriae, De Intertpretationae, De Analitiva Priora, Analitica Posteriora, Topica, dan De Sophisticis Eilsienchiss. Secara garis besar, logika Aristoteles membahas mengenai silogisme, yang mana digunakan sebagai metode penarikan kesimpulan secara deduktif, misalnya :

Semua ternak ruminansia memiliki rumen (premis mayor/umum)

Sapi memiliki rumen (premis minor/khusus)

Maka sapi adalah ruminansia (Konklusi)

Sejatinya, Ilmu Mantiq berasal dari ilmu logika yang di susun oleh Aristoteles. Ketika diserap dalam peradaban islam, ilmu ini disebut sebagai ilmu Mantiq, itulah mengapa Aristoteles disebut sebagai Guru Pertama sekaligus peletak dasar Ilmu Mantiq. 

Masuknya logika Aristoteles dalam Islam sendiri dimulai dari proses penerjemahan secara besar-besaran yang dilakukan sejak pada masa Dinasti Umayyah, meskipun bukan menjadi fokus utama kaum Muslimin. Penerjemahan buku-buku Yunani secara masif dilakukan pada masa Khalifah Al-Mansur. Salah satu penerjemah handal yang banyak menerjemahkan buku Aristoteles pada masa tersebut adalah Ibnu Al-Muqaffa’.

Tiga karya logika milik Aristoteles yang diterjemahkan pada waktu itu adalah Categoriae (al-Maqulat), Interpretatione (Pori-Armenias), dan Analytica Priora (al-Qiyas). Kemudian pada masa al-Ma’mun, ia juga menerjemahkan karya logika Isagogi karangan Porporiyus. Ketika itu, Ibnu al-Muqaffa’ mendapatkan perintah untuk ikut serta menerjemahkan berbagai karya Yunani ke dalam bahasa Arab.

Namun, dalam penyerapannya ke dunia Islam, Ilmu logika (mantiq) tidak sepenuhnya diterima oleh beberapa tokoh Islam. Dalam sejarahnya, terdapat tiga golongan yang terbagi berdasarkan responnya terhadap ilmu mantiq, tiga diantaranya yaitu:

  1. Yang menentang, yaitu imam An-Nawawi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan Ibnu Shalah. Ilmu mantiq yang mereka haramkan adalah ilmu mantiq yang terkontaminasi oleh gagasan para filsuf yang menyimpang dan sesat. Syekh Al-Bajuri yang dikenal sebagai penulis kitab As-Sullam mengatakan alasan Imam An-Nawawi mengharamkan mempelajari ilmu mantiq ialah karena ilmu mantiq itu sendiri berasal dari kaum Yahudi dan Nasrani. Imam An-Nawawi tidak secara mutlak mengharamkan untuk mempelajari ilmu mantiq secara keseluruhan, namun hanya bagian ilmu mantiq yang telah tercampur dengan kesesatan-kesesatan kaum filsuf karena orang yang mempelajarinya dikhawatirkan hati dan pemikirannya akan terkontaminasi oleh akidah-akidah yang sesat seperti akidah kaum mu’tazilah.
  2. Yang menganggapnya penting, yaitu Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-Ghazali. Al-Ghazali sendiri tidak hanya memperbolehkan, tetapi juga mengatakan bahwa mempelajari ilmu logika atau mantiq adalah fardhu kifayah. Baginya, logika menghancurkan basis-basis ajaran sesat, bid’ah dan menghilangkan keraguan dalam beragama. Logika juga berfungsi untuk menjaga aqidah orang awam dari kesesatan para pembuat bid’ah. Namun Al-Ghazali mengecualikan bahwa logika tidak bisa menjangkau persoalan-persoalan metafisika. 
  3. Yang membolehkan mempelajari ilmu mantiq. Jumhur ulama membolehkan mempelajari ilmu mantiq dengan syarat cerdas akalnya, mampu menjaga keimanan aqidah, serta mumpuni dalam bidang keilmuan Islam. Khususnya mereka yang telah menggeluti Al-Qur’an dan Sunnah secara intens serta memahami dan bisa membedakan kepercayaan yang benar dan sesat.

Objek Kajian yang tercantum dalam Ilmu Mantiq diantaranya:

  1. Tashawwur dan Tashdiq. Tashawwur dapat diartikan sebagai konsep dan Tashdiq ialah pembuktian atau hukumnya. 
  2. Dilalah dan Lafadz. Dilalah artinya penunjukan, atau bisa dipahami sebagai upaya memahami sesuatu atas sesuatu yang lain. Sedangkan lafadz diartikan sebagai kata. 
  3. Hudud dan Ta’rifat. Hudud dan Ta’rifat berkaitan dengan jawaban dari pertanyaan “apa” tentang sesuatu tesebut. Juga bisa berarti pembatas antara dua hal. Singkatnya dapat dipahami sebagai defenisi.
  4. Qadhiyah atau Proposisi. Yaitu Pernyataan sempurna yang disusun atas kata-kata yang memiliki makna, pembenaran atau penyangkalan, kemungkinan benat atau salah.
  5. Qiyas atau Silogisme. Dalam kitab Sullam Munauraq didefinisikan sebagai keterangan yang terdiri dari dua proposisi/qadhiyah yang kebenarannya jika telah terima, maka secara otomatis menimbulkan keterangan lain, yang disebut natijah  atau konklusi.

REFERENSI

Aizid R. 2023. Ilmu Mantiq: Cara Mudah Memahami Logika Aristoteles dan Al-Ghazali. Yogyakarta: PT. Anak Hebat Indonesia.

Bisri C. 1993. Ilmu Manthiq. Rembang: Al-Ma’arif Offset.

Nawawi. 2023. Ilmu Mantiq: Sebuah Metode Berpikir Logis. Malang: PT. Literasi Nusantara Abadi Grup.

Wahyudi D, dan L. Zulpahmi. 2023. Hukum Mempelajari Ilmu Mantiq Menurut Imam An-Nawawi dan Imam Al-Ghazali. Unes Law Review. 6(2):7013-7020.



This article is under the © copyright of the original Author: Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
(Zona-Nalar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

19 − one =