Beberapa hari lalu, pada Kamis (26/8) dunia digemparkan dengan berita ledakan bom di Kabul, Afghanistan. Afiliasi ISIS di Khorasan membuat pernyataan sebagai dalang peledakan bom tersebut, sebagaimana disampaikan oleh badan pemantau SITE. Bom itu menewaskan sejumlah 60 warga sipil dan 12 tentara Amerika Serikat.
Peristiwa ini semakin menambah sejumlah deretan panjang aksi terorisme yang mengatasnamakan “jihad”. Ini jelas mencoreng nama baik Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin. Bagaimana sesungguhnya ajaran jihad di dalam Islam? Serta, bagaimana filsafat Islam menyoroti “jihad”.
Dalam diskursus kontemporer, tema-tema pemikiran Islam sangat menarik dibahas dalam studi filsafat. Dari sekian banyak tema, “pergerakan Islam dan konsep Jihad” merupakan salah satu tema yang begitu besar menarik perhatian. Betapa tidak, konsep Jihad yang sekilas tampak brutal, tetapi dihormati dan begitu dihargai oleh umat Islam.
Bahkan, jihadis yang gugur mendapatkan derajat yang begitu tinggi bahkan surga kelak. Tak syak, akhir-akhir ini muncul cibiran dan sikap anti-Islam dari penduduk dunia barat karena potret jihad kerap disandingkan dengan aksi terorisme, bom bunuh diri, atau serangan sepihak pada orang awam yang tidak bersalah.
Murtadha Muthahhari, salah seorang aktivis dan filsuf Islam asal Iran berupaya menampik pandangan negatif atas konsep jihad ini. Dalam karyanya “Falsafah Pergerakan Islam”, Muthahhari menjelaskan inti dari sifat Pergerakan Islam adalah mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan.
Adapun nilai-nilai kemanusiaan yang dimaksud bisa dari berbagai sisi, namun esensinya dapat dilihat dari hak dan kewajiban masing-masing individu. Tiap individu memiliki hak yang berbatasan dengan hak individu lainnya, dari sini hendaknya tiap pribadi menghargai batas-batas hak tersebut.
Jika hak seseorang dilanggar oleh orang lain, Islam melegalkan bentuk perlawanan ini dengan istilah Jihad. Berbeda dengan pandangan beredar pada umumnya yang menilai perlawanan ini sebagai bentuk invasi, Muthahhari menjelaskan dalam perspektif Islam bahwa hal ini sebagai bentuk defensif.
Maka, segala bentuk pergerakan Islam hendaknya bersifat defensive untuk mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan. Semakin besar skala pergerakan ini, maka semakin besar pula tingkat urgensi perlawanan ini; bisa dalam skala individu, keluarga, komunitas, wilayah, bahkan suatu negara.
Namun, dewasa ini pergerakan Islam atau Jihad mengalami pergeseran makna yang signifikan dan disebabkan ulah oknum-oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab. Sering kali jihad dianggap sebagai; aksi meneror orang yang tidak bersalah, menyerang suatu kaum atau etnis atas dasar pembalasan dan diatas namakan Islam, bahkan sebuah aksi bom bunuh diri untuk mengharapkan surga.
Dari kenyataan yang terjadi pada dekade akhir ini, maka harus dilihat lebih seksama sejarah dari setiap pergerakan. Kita harus melihat dengan seksama, siapakah penjajah dan siapa peribumi, siapa yang mendholimi dan siapa yang didholimi. Tidak mungkin kita serta merta memutuskan suatu pertikaian tanpa melihat landasan yang mendasarinya.
Hal itu karena setiap peristiwa pasti memiliki sebab, sehingga menghasilkan akibat. Islam adalah agama langit terakhir yang turun, oleh karenanya Islam memiliki jawaban atas segala permasalahan yang muncul kapanpun bahkan akhir zaman kelak. Oleh karenanya, Islam menawarkan opsi Jihad sebagai bentuk pembelaan diri terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Ketika seseorang melawan atau berperang untuk mempertahankan haka tau nilai-nilai kemanusiaan yang dimilikinya, tentu hal ini tidak bisa dilabeli sebagai tindakan terorisme.
Manusia sebagai makhluk yang paling sempurna diciptakan Tuhan dengan memiliki akal dan hati nurani untuk menimbang dan menilai nilai-nilai hidup dan kemanusiaan. Bagi setiap tindakan yang dilakukan oleh seseorang pasti memiliki landasan dan konsekuensi logis dari perbuatannya ini.
Dalam setiap tindakan manusia, semua akan Nampak samar bergantung dari sudut pandang penilai perbuatan tersebut. Namun jika kita memberikan penilaian dari hak yang dilanggar serta muncul perlawanan untuk mempertahankan hak kemanusiaan yang dimiliki sesosok individu, akan begitu jelas terlihat siapa yang benar dan siapa yang salah. Tidak mungkin seekor semut menggigit tanpa diganggu terlebih dahulu, apalagi manusia yang diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna dan wakil Tuhan di muka bumi.
Referensi:
Muthahhari, Murtadha. Falsafah Pergerakan Islam. Jakarta: Amanah Press. 1988.
Penulis: Muhammad Bagir Yahya
Editor: Wa Ode Zainab ZT
This article is under the © copyright of the original Author:
(Zona-Nalar)
Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.