Penulis: Moh Ali Afifi

Editor: Wa Ode Zainab Zilullah .T

Dalam filsafat, terdapat diskursus mengenai “kebahagiaan”, sebagai salah satu tujuan dalam kehidupan manusia. “Kebahagiaan seperti apa yang ingin kita gapai?”, “bagaimana cara meraih kebahagiaan?”, “apakah kebahagiaan itu bersifat objektif atau subjektif?”, serta berbagai pertanyaan lainnya.  Pada perkembangannya, para filsuf berbeda pandangan dalam menyoroti makna “kebahagiaan”, serta pertanyaan derivatnya.

Namun, sebagai manusia seyogyanya kita bahagia karena ‘diri sendiri’, bukan karena penilaian orang lain atau standarisasi yang berlaku di luar diri kita. Terlebih lagi di era modern ini, kita digempur oleh budaya massa, sehingga menyulitkan kita untuk menyadari hal tersebut.

Kita cenderung meletakkan kebahagiaan kepada sesuatu yang sulit digapai. Pada akhirnya, kita justru terjebak ke dalam lingkaran keinginan yang tak berujung dan berakhir dengan keputusasaan. Lebih parah, kita malah cenderung mengejar kebahagiaan yang bersifat semu dan sementara.

Antonio Gramsci sebenarnya telah membahas bagaimana media membentuk masyarakat. Media telah menghegemoni kita semua untuk mempercayai apa yang mereka tawarkan. Ditambah peran orang-orang yang berpengaruh, misalnya publik figur atau content creator, turut menyumbang kesuksesan hegemoni tersebut.

Sehingga, kita akan cenderung mengikuti standarisasi ‘viral’ atau ‘trending topic’ sebagai parameter kebahagiaan.Misalnya, kita akan merasa bahagia apabila bisa healing jalan-jalan ke luar kota atau luar negeri, sebagaimana ditunjukkan orang-orang di media sosial.  

Budaya massa ini membuat “kebahagiaan dengan standarisasi orang lain” menjadi hal yang lumrah. Sekarang banyak orang akan merasa bahagia ketika pencapaian kita diakui oleh orang banyak dengan parameter ‘like’ atau ‘comment’ di media sosial. Mungkin secara sadar ataupun tak sadar, kita termasuk ke dalam orang-orang yang dipengaruhi budaya massa ini. Apabila demikian, siapa dan apa yang bertanggung jawab atas semua ini?

Bahkan, hal ini mempengaruhi sampai pada tahap pilihan kita “mengkonsumsi atau tidak mengkonsumi” suatu barang. Sebagian kita akan merasa bahagia apabila mengenakan barang branded, seolah-olah baranglah yang menentukan nilai dari seseorang. Apabila kita tidak mampu membelinya, maka kita akan merasa tidak bahagia karena tidak mengikuti perkembangan zaman.

Dalam ilmu ekonomi dijelaskan ada dua macam kebutuhan, yaitu kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder, bahkan kebutuhan tersier. Namun, pada era kontemporer ini, menurut Harbert Marcus, kita kerap tertipu dengan kebutuhan palsu. Kebutuhan yang bersifat pemenuhan keinginan ini hanyalah kebutuhan palsu. Sayangnya, kebutuhan ini yang kemudian kita kejar sampai setengah mati. Konsumsi barang saat ini bukan berdasarkan nilai gunanya, tetapi lebih menekankan pada prestise.

Saya teringat dengan kata bijak Mahatma Gandhi, seorang filsuf India: “Bumi menyediakan hal yang cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tetapi tidak untuk orang-orang yang serakah”. Apa artinya? artinya adalah bumi sebenarnya cukup untuk kebutuhan kita, tetapi tidak cukup untuk memenuhi keinginan kita; karena keinginan manusia tak akan pernah ada habisnya.

Lantas, ketika kita menyandarkan kebahagiaan pada pemenuhan keinginan, sampai kapan kita akan mempu memenuhi semuanya? Suatu keinginan akan beranak pinak menghasilkan keinginan yang lain. Keinginan hanya akan habis setelah kita meninggalkan dunia ini. Jika seperti ini, maka sampai akhir hayat kita tidak akan bahagia. Bukankah sebagai manusia, kita layak bahagia?

Referensi:

Hidayat, Medhy Aginta. Menggugat Modernisme: Mengenali Rentang Pemikiran Postmodernisme Jean Baudrillard. Yogyakarta: Jalasutra. 2017.

Jay, Martin. Sejarah Mazhab Frankfurt: Imajinasi Dialektis dalam Perkembangan Teori Kritis. Yogyakarta: Kreasi Wacana. 2005.

Walter L Adamson, Hegemony and Revolution A Study of Antonio Gramsci Political And Cultural Theory, California: University of California Press. 1980.



This article is under the © copyright of the original Author: Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
(Zona-Nalar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

five × 4 =