Penulis: Edward

Editor: Wa Ode Zainab Zilullah T

Dalam salah satu naskah kuno yang ditulis dalam bahasa Yunani, terdapat sebuah kisah tentang seorang Yahudi yang sedang diadili oleh seorang gubernur Romawi. Pada saat itu, orang tersebut dituduh ingin melakukan makar terhadap kepemimpinan bangsa Romawi di wilayah Yerusalem. Dalam pengadilannya, sang gubernur Romawi pun melontarkan sebuah pertanyaan :

“Apakah kebenaran itu?”

Ketika kita berbicara tentang esensi dari “kebenaran”, mungkin akan butuh waktu yang lama untuk bisa mendefinisikan secara jelas mengenai “Apa yang dimaksud dengan kebenaran?” Dalam dunia filsafat, kebenaran sendiri menjadi sebuah teori yang kemudian terbagi–bagi sesuai dengan keadaan tempat (locus) dan waktu (tempus), seperti misalnya kebenaran koherensi, korespondensi, dan pragmatis. 

Namun, secara umum kita memahami jika kebenaran bisa didefinisikan sebagai sebuah hal yang mampu dipikirkan dan mempunyai kesinambungan dengan fakta yang dapat kita amati.

Contoh kebenaran yang paling sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari adalah kebenaran dalam ilmu Matematika. Dalam matematika, kita dapat dengan mudah menerima hal ini sebagai kebenaran karena kalkulasi Matematika sejalan dengan nalar dan logika kita sebagai manusia.

Contoh sederhana ketika bilangan dua ditambahkan dua maka hasilnya adalah empat. Jumlah bilangan empat adalah sebuah kebenaran yang tak terbantahkan. Matematika sebagai sebuah kebenaran membuatnya mampu diaplikasikan untuk melakukan perhitungan kompleks semisal untuk menghitung kemampuan daya tahan pembuatan sebuah jembatan penyeberangan maupun dalam perhitungan sederhana seperti dalam transaksi di pasar sehari–hari.

Namun, hal yang terjadi di era kontemporer ini adalah kebenaran seakan tak lagi menjadi hal yang objektif. Alih–alih memilih kebenaran yang objektif, kebanyakan orang cenderung memilih hal yang sesuai dengan opini dan keyakinan mereka sebagai kebenaran. Subjektivitas kebenaran ini menjadi begitu nyata dalam kontestasi dunia politik, yang mana mayoritas simpatisan fanatik dalam pemilihan politik cenderung akan menolak kebenaran objektif dan menerima hal–hal yang sesuai dengan selera mereka sebagai kebenaran. Fenomena kebenaran subjektif inilah yang dikenal di masa sekarang sebagai “pasca kebenaran” atau ”post-truth”.

Post-truth menurut Oxford Learner’s Dictionaries dapat diartikan sebagai keadaan dimana kebenaran objektif menjadi kurang berdaya dibandingkan dengan kebenaran yang tercipta dari pembentukan opini publik yang terbentuk dari emosi dan keyakinan pribadi. Singkatnya, post-truth adalah sebuah keadaan ketika publik lebih memilih percaya pada kebenaran semu yang sesuai dengan selera dan opini pribadinya dibanding kebenaran itu sendiri.

Sadar maupun tidak sadar, fenomena post-truth telah merajalela dalam berbagai sendi kehidupan. Era komunikasi tanpa batas menjadi sebuah ladang subur bagi pertumbuhan post-truth. Kita tentu akan tertawa kecil ketika melihat grup Whatsapp keluarga ketika salah seorang anggota keluarga mengirim video hoaks. Video itu terkirim lengkap dengan narasi yang ingin memperkuat apa yang menjadi narasi si pengirim. Nyatanya, seringkali kita tanpa pengecekkan fakta lalu dapat dengan mudah meneruskan hal- hal yang kita anggap sebagai kebenaran hanya karena hal tersebut “mendukung” apa yang menjadi kebenaran dalam sudut pandang kita.

Alih–alih melakukan pengecekan terlebih dahulu, kita lebih memilih untuk terlelapkan oleh apa yang kita anggap kebenaran. Fakta ini menjadi penanda betapa kita dari hari ke hari telah mulai mengikis kemampuan pemikiran kritis kita sebagai manusia. Kita memilih untuk melemahkan logika kita sebagai manusia hanya karena terlalu “malas” untuk melihat kembali apa yang ditawarkan sebagai kebenaran bagi kita.

Kemudahan yang ditawarkan pada saat ini tidak membuat kita semakin mampu berpikir kritis namun justru terjatuh dalam pola pikir praktis dan tumpul. Kungkungan paham egoistik pun semakin membuat kita lebih terbiasa untuk menjadi subjektif terhadap apapun. Bahkan termasuk kepada kebenaran objektif itu sendiri. Keegoisan manusia menjadi begitu tampak ketika ia lebih memilih apa yang dia anggap sebagai kebenaran daripada kebenaran itu sendiri. Singkatnya, kebenaran bukan lagi fakta, namun kebenaran adalah apa yang aku anggap sebagai benar. Sisi emosional manusia menjadi lebih dominan daripada kelogisan berpikir. Hal inilah yang menjadi sebuah kabar buruk yang mungkin sangat jarang orang–orang sadari.

Maka, post-truth pada akhirnya membawa kita untuk menyadari jika kebenaran menuntut keaktifan kita sebagai makhluk berpikir. Kebenaran hanya akan menjadi objektif apabila hal itu sejalan dengan logika, nalar dan sesuai dengan fakta yang ada. Kebenaran adalah bukan tentang apa yang pertama–tama aku pikir benar, tetapi adalah apa yang sesungguhnya benar. Aku berpikir, maka aku ada!

Referensi:

Danardono, D., PASCA KEBENARAN dan MATINYA NALAR. “Bedah Majalah: Pesta Kematian Nalar–Sketsa Pergolakan Politik di Indonesia” yang diadakan oleh Lembaga Pers IDEA–Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, UIN Walisongo, Jumat 11-9-2019.

https://www.oxfordlearnersdictionaries.com/

https://www.oxfordlearnersdictionaries.com/


This article is under the © copyright of the original Author: Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
(Zona-Nalar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

eighteen − ten =