Penulis: Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Editor: Murteza Asyathri
Secara ontologis, setiap manusia itu setara dalam keberadaannya. Mayoritas filsuf memandang seorang manusia sebagai “eksistensi” yang harus dihargai dan dihormati. Manusia sebagai individu memiliki otoritas terhadap dirinya sendiri, tanpa intervensi dari orang lain. Sehingga, praktik kekerasan seksual merupakan sebuah upaya ‘penegasian’ terhadap eksistensi manusia yang setara, baik di hadapan penciptanya maupun sesama manusia. Paradigma inilah yang menjadi landasan dalam prinsip ketauhidan.
Dalam tiga tahapan eksistensi manusia menurut Soren Kierkegaard [Tahap Estetis, Etis, dan Religius], maka pelaku kekerasan seksual berada pada ‘tahapan’ estetis yang mana hanya menekankan pada kenikmatan jasmaniah saja. Sehingga, naluri-naluri seksual lebih mendominasi, bahkan tampak dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan. Menurut Kiekergaard, pelaku seksual “belum memiliki jiwa yang sejati”. Dalam konteks ini, pelaku belum naik ke eksistensi yang lebih tinggi.
Sementara itu, Ibn Miskawaih menjelaskan tentang jiwa dikaitkan dengan keseimbangan dalam kehidupan. Menurutnya, jiwa dibagi menjadi tiga, yaitu: jiwa al-Bahimiyyah, al-Sabua’iyyah, dan an-Natiqah. Ketiganya memiliki titik keseimbangan, pada jiwa al-Bahimiyyah titik tengahnya adalah al-‘Iffah (menjaga diri). Titik tengah jiwa al-Sabua’iyyah adalah as-Syaja’ah (keberanian). Sedangkan, jiwa an-Natiqah memiliki titik tengah yang disebut al-Hikmah (kebijaksanaan).
Apabila manusia bisa menyeimbangkan ketiganya, maka tercipta al-‘Adalah, yaitu keadilan. Sehingga, dalam konteks kekerasan seksual, tercermin bahwa pelaku seksual belum sampai pada “keseimbangan jiwa”. Pelaku berpikir, tetapi tidak bijaksana; pelaku nekat, bukanlah berani; pelaku memiliki syahwat, tetapi tidak bisa menjaga diri. Sehingga, implikasinya adalah perbuatan tidak adil terhadap korban dengan praktik kekerasan seksual.
Senada, Imam Ghazali meyakini bahwa penilaian terhadap akhlak seseorang, baik atau buruk, dapat ditentukan melalui empat kriteria: kebijaksanaan, pengendalian kemarahan dengan akal, pengendalian hawa nafsu, dan keseimbangan. Semakin kuat seseorang dalam empat kriteria ini, semakin baik pula akhlak yang muncul, dan begitu pun sebaliknya. Pentingnya memiliki akhlak yang baik bagi Imam Ghazali bukan hanya untuk tujuan akhirat, tetapi juga untuk mencapai kedewasaan moral sebagai insan kamil (manusia sempurna).
Sayangnya, meskipun kekerasan seksual bisa dilakukan oleh gender apapun, tetapi kekerasan kerap dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan. Brownmiller berpendapat bahwa kekerasan laki-laki merupakan basis kontrol sosial laki-laki atas perempuan. Ini merupakan efektivitas terorisme seksual. Lebih lanjut, seksualitas itu dikonstruksi secara sosial, sehingga jika ada pandangan bahwa laki-laki melakukan kekerasan seksual karena frustasi seksual. Itu adalah alasan konyol perempuan direduksi sebagai objektifikasi seksual.
Dalam sudut pandang yang lebih luas, kekerasan seksual terhadap perempuan juga mencederai hak-hak perempuan untuk hidup secara berkualitas dalam atmosfer yang kondusif. Fathimah Mernissi mengungkapkan bahwa “Jika hak-hak perempuan merupakan masalah bagi sebagian kaum laki-laki, hal itu bukanlah karena al-Qur’an atau Nabi, bukan pula karena tradisi Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan; melainkan semata-mata karena hak-hak tersebut bertentangan dengan kepentingan kaum elit laki-laki.”
Menurut Immanuel Kant, suatu tindakan itu dilakukan karena merupakan kepatuhan terhadap perintah kalbu.Hukum moral bukan datang dari pengalaman inderawi, melainkan di dalam hati; dan a priori terhadap seluruh tindakan. Untuk mencapai kesempurnaan diri dan kebahagiaan pada orang lain, berbuatlah sebagaimana perbuatan kemanusiaan; berbuat itu merupakan tujuan, bukan alat. Kant mengajak kita untuk menghidupkan rasa imperatif melalui pemilihan moral yang kritis sejalan dengan hukum. Apabila menjalankan prinsip ini dalam hidup, maka kita dapat menciptakan komunitas yang ideal.
Jadi, pelaku kekerasan seksual juga dianggap bertentangan dengan fitrah manusia atau hukum moral. Dalam konteks ini, manusia memiliki intuisi terhadap larangan dan perintah moral secara alami. Larangan terhadap kebohongan, pengkhianatan, dan pelecehan, serta perintah berbuat baik, saling menolong, dan menghormati manusia merupakan bagian dari fitrah.
Permenides bertanya “Apa standar kebenaran?” Parameternya berdasarkan pada logika yang konsisten. Jadi, benar atau tidaknya suatu pemikiran atau perbuatan didasarkan pada logika yang ada pada manusia itu sendiri. Selain akal, hati manusia pun merupakan sumber kebenaran. Bahkan, hati setiap manusia mengarah pada jawaban yang sama dalam mempertanyakan realitas; meskipun akal terkadang berbeda.
Namun, apabila kita bertanya pada akal dan hati kita, apakah kekerasan seksual itu benar?
Tentu, akal dan hati tak ada pertentangan dalam hal ini.
Referensi:
Dagun, Save M. Filsafat Eksistensialisme. Jakarta: Rineka Cipta. 1990.
Miskawaih, Ibn. Tahdzib al-akhlaq. Beirut Lebanon: Mansyurat Dar al Maktabat Hayat.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum: Akal dan Hati sejak Thales sampai James. Bandung: Remaja Rosdakarya. 1990.
Kilwouw, A. N. (2020). Kekerasan seksual terhadap Perempuan dalam Kajian Filsafat Islam (Studi Pemikiran Feminis-Muslim). Al-Wardah: Jurnal Kajian Perempuan, Gender dan Agama, 13(1), 89-106.
Simatupang, W. S., Wijanarko, R., Aritonang, S. T., & Arianto, J. (2022). Eksistensi Pelaku Kasus Kekerasan Seskual di Satuan Pendidikan Berbasis Boarding School Perspektif Soren Aabye Kierkegaard. Jurnal Yaqzhan: Analisis Filsafat, Agama & Kemanusiaan, 8(2), 330-347.
This article is under the © copyright of the original Author:
(Zona-Nalar)
Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.