Penulis: Aryo Wasisto
Editor: Fitria Zahrah
Fenomena kelangkaan BBM di SPBU Shell dan BP Indonesia yang dilaporkan oleh kanal berita IDN Financials dan CNN Indonesia pada Oktober 2025 menggambarkan kompleksitas hubungan antara kebijakan publik dan mekanisme pasar. Manakala pemerintah membatasi impor demi menjaga stabilitas fiskal dan cadangan devisa, sektor swasta seperti Shell dan BP justru mengalami kekurangan pasokan hingga menghentikan penjualan. Situasi ini menimbulkan paradoks: negara masih memiliki cadangan energi melalui BUMN, sementara sektor swasta kehabisan stok.
Dalam perspektif filsafat ekonomi, persoalan ini tidak dapat dijelaskan hanya dengan mekanisme pasar, tetapi harus dipahami melalui interaksi strategis yang berakar pada rasionalitas terbatas dan keputusan moral. Melalui konsep dari game theory, equilibrium dari John Nash, hingga perspektif etis dalam rasionalitas (e.g. Sen, 1970; Binmore, 1994), tulisan ini mengupas bagaimana tindakan ekonomi yang dalam kasus ini merupakan kebijakan BBM merupakan persitegangan antara dua motivasi yang bersifat oposisi.
Rasionalitas Strategis dalam Perspektif Osborne & Rubinstein
Osborne dan Rubinstein menekankan bahwa setiap permainan ekonomi memiliki struktur strategi yang dipilih berdasarkan ekspektasi terhadap tindakan pihak lain. Dalam konteks BBM yang langka ini, dua pemain utama muncul: pemerintah dan sektor swasta. Pemerintah berupaya memaksimalkan stabilitas nasional dan menekan defisit energi, sedangkan swasta berusaha mempertahankan efisiensi distribusi dan keuntungan. Kebijakan pembatasan impor menciptakan Nash equilibrium yakni situasi di mana tidak ada pihak yang dapat memperbaiki hasilnya tanpa mengubah strategi pihak lain (Osborne & Rubinstein, 1994).
Akan tetapi, keseimbangan ini bersifat “second-best”. Meskipun stabil secara politik, ia menurunkan efisiensi pasar dan menimbulkan kelangkaan di sektor swasta. Dalam kerangka filsafat ekonomi, hal ini mencerminkan konflik antara instrumental rationality (rasionalitas efisiensi) dan practical reason (rasionalitas etis). Keputusan pemerintah menahan impor mungkin optimal secara makro, tetapi menimbulkan ketidakadilan distributif bagi konsumen dan pelaku ekonomi lain. Contohnya, banyak pelanggan Shell yang bahkan mampu membayar lebih mengeluh karena harus mencari SPBU yang lebih jauh dari jarak rumahnya.
John Nash dan Rasionalitas sebagai Keseimbangan Moral
Jika kita baca lebih jeli konsep mass-action interpretation dari Nash (1994), dapat kita temui gambaran bahwa keseimbangan ekonomi tidak selalu lahir dari rasionalitas yang sempurna, melainkan dari pola kebiasaan kolektif dan penyesuaian perilaku yang terus-menerus. Dalam kasus kelangkaan BBM, keputusan pemerintah untuk menahan impor dapat dipahami sebagai strategi komitmen yang secara tidak langsung memaksa pelaku (konsumen dan swasta) beradaptasi.
SPBU Shell dan BP pun merespons dengan strategi defensif, yakni menutup sementara penjualan guna menjaga keberlanjutan usaha mereka. Kedua pihak pada akhirnya mencapai titik keseimbangan yang relatif stabil, meskipun belum ideal. Dari perspektif filsafat, Nash memperlihatkan bahwa rasionalitas manusia tidak selalu sejalan dengan moralitas, tetapi tetap mengandung dimensi etis. Ini mengilustrasikan bahwa setiap tindakan strategis senantiasa mempertimbangkan batas, norma, dan ekspektasi sosial yang melingkupinya.
Asimetri Informasi dan Rasionalitas Terbatas
Salah satu dimensi paling menarik dalam teori permainan adalah games of incomplete information. Osborne & Rubinstein (1994) menyebut bahwa pemain seringkali tidak mengetahui sepenuhnya strategi dan informasi lawannya. Dalam konteks kebijakan energi, pemerintah memegang informasi tentang cadangan nasional, rencana impor, dan prioritas distribusi, sedangkan pihak swasta tidak.
Asimetri informasi ini menciptakan distorsi strategi. Shell dan BP tidak dapat menentukan strategi optimal karena ketidakpastian kebijakan. Mereka menghadapi dilema: mempertahankan operasi dengan biaya tinggi atau menghentikan sementara penjualan. Dari perspektif filsafat ekonomi, situasi ini menunjukkan keterbatasan rasionalitas (bounded rationality) sebagaimana dikemukakan Herbert Simon dan disinggung oleh Nash sendiri. Keputusan ekonomi bukanlah hasil perhitungan sempurna, melainkan kompromi antara informasi terbatas dan nilai sosial yang dipegang pelaku.
Komitmen Moral dan Keadilan Sosial
Jika Nash dan Osborne menjelaskan struktur rasionalitas, maka Amartya Sen dan Ken Binmore memperluasnya ke wilayah etika. Sen (1977) menolak pandangan utilitarian murni dan mengemukakan konsep “commitment and sympathy”. Individu kadang bertindak melawan kepentingan pribadinya demi nilai moral. Dalam kebijakan energi, tindakan pemerintah menahan impor dapat dipandang sebagai bentuk moral commitment: pengorbanan efisiensi jangka pendek demi keadilan sosial dan keamanan nasional. Hal ini juga sejalan dengan konsep keadilan sosial sebagai hasil dari permainan berulang (Binmore, 1994).
Referensi
Binmore, K. (1994). Playing fair: Game theory and the social contract. Cambridge, MA: MIT Press.
Nash, J. (1950). Non-cooperative games. Annals of Mathematics, 54(2), 286-295.
Nash, J. (1994). The work of John Nash in game theory. Nobel Lecture, December 11, 1994.
Osborne, M. J., & Rubinstein, A. (1994). A course in game theory. Cambridge, MA: MIT Press.
Sen, A. (1970). Collective choice and social welfare. San Francisco, CA: Holden-Day.
Sen, A. (1977). Rational fools: A critique of the behavioral foundations of economic theory. Philosophy & Public Affairs, 6(4), 317-344.
