Penulis: T.H. Hari Sucahyo
Editor: Murteza Asyathri
Kepercayaan adalah fondasi relasi manusia. Namun, ketika kita mencoba untuk mengukurnya, kita dihadapkan pada paradoks: sesuatu yang esensial justru melampaui nalar kuantitatif. Keinginan untuk mengukur kepercayaan lahir dari kebutuhan modern terhadap kendali. Dalam dunia yang tak pasti, kita menginginkan kepastian. Kendati demikian, apakah kita bisa mempercayai orang, lembaga, atau sistem? Dalam konteks ini, adakah cara yang sahih untuk menakar sesuatu yang lahir dari ketidakpastian?
Filsafat menantang kita untuk memahami apa itu kepercayaan dan bagaimana ia hadir dalam kesadaran. Dalam epistemologi klasik, kepercayaan adalah elemen dalam struktur pengetahuan: kita percaya sebelum tahu, serta tahu karena percaya.
Plato mengaitkan pengetahuan dengan kepercayaan yang benar dan dibenarkan. Tetapi, apakah semua kepercayaan menuju kebenaran? Ada kepercayaan yang membangun, ada yang menyesatkan. Kepercayaan tak selalu menjamin validitas logis.
Descartes menempuh jalan skeptis: ia meruntuhkan segala hal yang bisa diragukan. Dalam keraguan mutlak, hanya satu yang tak tergoyahkan, yaitu keberadaan dirinya sebagai subjek berpikir. Namun, dari mana muncul kepercayaan bahwa pikiran itu valid?
Hume justru membalik kerangka tersebut. Ia menunjukkan bahwa banyak kepercayaan manusia, terutama soal sebab-akibat, tak bisa dibuktikan secara rasional. Kita percaya karena kebiasaan, bukan logika. Maka, kepercayaan lebih dekat ke psikologi daripada epistemologi.
Lompatan Eksistensial dan Kerentanan yang Disengaja
Kierkegaard membawa kepercayaan ke ranah eksistensial. Ia bukan sekadar hasil berpikir, melainkan keputusan untuk melompat ke dalam absurditas. Dalam iman, kita memercayai yang tak bisa dijelaskan. Kepercayaan menjadi lompatan, bukan kesimpulan.
Jika Descartes menuntut kepastian absolut, Kierkegaard justru menerima ketidaktentuan sebagai syarat kepercayaan. Ini membalik asumsi modern: kepercayaan bukan produk bukti, melainkan keberanian untuk menerima ketakterukuran realitas.
Dalam relasi antarmanusia, kepercayaan bekerja seperti jaring tak kasatmata yang menahan keruntuhan sosial. Kita bekerja sama, berbagi, dan hidup berdampingan karena kita saling memercayai, meski tanpa jaminan.
Sosiolog seperti Niklas Luhmann melihat kepercayaan sebagai pengurang kompleksitas. Kita tidak bisa mengecek semua kemungkinan dalam interaksi, maka kita memilih percaya. Kepercayaan membuat tindakan mungkin dalam situasi yang tak sepenuhnya bisa diprediksi.
Namun, ketika kepercayaan dikomodifikasi menjadi “nilai” dalam sistem ekonomi atau teknologi, ia kehilangan kualitas personalnya. Trust score, rating, dan algoritma menggantikan intuisi manusia. Kepercayaan menjadi angka, bukan relasi.
Melampaui Ukuran: Fenomenologi dan Etika Kepercayaan
Ilmu kognitif mencoba mengukur kepercayaan lewat respons perilaku atau aktivitas otak. Namun, semua itu hanya menangkap gejala, bukan substansi. Kepercayaan sebagai pengalaman afektif dan eksistensial tetap tak tersentuh oleh elektroda dan statistik.
Fenomenologi memberi tawaran lain. Dalam kerangka Husserl atau Merleau-Ponty, kepercayaan adalah pengalaman yang dimediasi tubuh dan dunia. Kita percaya karena kita “mengalami” dunia sebagai dapat dipercaya. Ini bukan soal bukti, tetapi cara berada.
Waktu juga memainkan peran penting. Kepercayaan kerap mengandung ketegangan antara masa lalu, kini, dan masa depan. Kita memercayai karena pengalaman, tetapi juga karena harapan. Kepercayaan adalah jembatan melintasi ketidaktahuan terhadap yang akan datang.
Dalam konteks etika, kepercayaan bukan hanya alat, melainkan nilai. Ketika saya percaya pada orang lain, saya mengafirmasi kemanusiaannya. Saya mengakui bahwa ia bukan objek manipulasi, melainkan subjek otonom yang layak diberi ruang untuk bertindak baik.
Oleh karena itu, kepercayaan adalah kerentanan yang disengaja. Saya tahu Anda bisa mengecewakan saya, tetapi saya tetap memilih membuka diri. Di sinilah letak martabat etis kepercayaan: ia bukan kebodohan, melainkan keberanian untuk memberi peluang bagi kebaikan.
Namun, dunia modern sering kali tak memberi ruang bagi kerentanan. Kita dituntut rasional, skeptis, dan berhitung. Kepercayaan menjadi kelemahan. Padahal, tanpa kepercayaan, tidak akan ada cinta, persahabatan, atau komunitas yang sehat.
Upaya mengukur kepercayaan kadang lahir dari ketakutan. Kita takut disakiti, maka kita ingin jaminan. Tetapi, kepercayaan sejati justru hidup dalam ketidakpastian. Ia bukan kontrak, melainkan komitmen terhadap kemungkinan yang tak bisa dirumuskan sepenuhnya.
Dengan demikian, yang bisa kita ukur bukan kepercayaan itu sendiri, melainkan manifestasinya: keputusan, sikap, dan tindakan. Kepercayaan sebagai sikap batin tidak bisa dijumlahkan, tetapi ia bisa dikenali lewat cara kita hadir bagi yang lain.
Filsafat mengajarkan bahwa yang paling bernilai justru sering tidak bisa diukur. Cinta, harapan, dan kepercayaan adalah fondasi dari kehidupan manusiawi. Mengukurnya terlalu dini bisa membunuh kehadirannya. Maka, kita perlu bijak dalam memahaminya.
Kepercayaan bukan ilusi, tetapi ia juga bukan rumus. Ia adalah kenyataan batin yang hadir dalam dunia yang tidak pasti. Kita hidup di dalamnya, memercayainya, dan karenanya bisa saling bertemu sebagai manusia yang utuh dalam kelemahan dan kemungkinan.
Referensi
Descartes, René. 1996. Meditations on First Philosophy. Translated by John Cottingham. Cambridge: Cambridge University Press. (First published 1641)
Hume, David. 1993. An Enquiry Concerning Human Understanding. Edited by Eric Steinberg. Indianapolis: Hackett. (First published 1748)
Kierkegaard, Søren. 1985. Fear and Trembling. Translated by Alastair Hannay. London: Penguin Classics. (First published 1843)
Luhmann, Niklas. 1979. Trust and Power: Two Works by Niklas Luhmann. Translated by Howard Davis et al. Chichester: Wiley.
Merleau-Ponty, Maurice. 2012. Phenomenology of Perception. Translated by Donald A. Landes. London: Routledge. (First published 1945)
Plato. 1992. Theaetetus. Translated by M. J. Levett, revised by Myles Burnyeat. Indianapolis: Hackett Publishing. (Originally c. 369 BCE)