“Membutuhkan Allah adalah kesempurnaan yang tertinggi dari manusia”
— Soren Kierkegaard
Manusia sebagai sintesis antara yang temporal–eternal dan yang finite-infinite
Dalam filsafatnya, Kierkegaard menerangkan konsep manusia sebagai sintesis antara kehidupan yang mewaktu (temporal) dan yang abadi (eternal). Manusia sebagai ‘yang mewaktu’ hidup dalam titik-titik sejarah hidupnya (moments we live for). Misalnya, kita lahir, bersekolah, melanjutkan kuliah, bekerja, menikah, memiliki anak, pensiun, dan lalu menjalani hari tua hingga berakhir pada kematian.
Namun, manusia acap kali mempertanyakan apa arti hidup yang telah kita jalani dan apakah kehidupan bermakna? Hal ini mengindikasikan bahwa kita merindukan suatu pemaknaan abadi (melampaui moments) atas hidup, dan itulah yang dimaksud Kierkegaard tentang manusia sebagai ‘yang abadi’. Ketegangan antara yang mewaktu dan yang abadi menyebabkan manusia terperosok ke dalam kecemasan dan kegelisahan eksistensial.
Selain itu, Kierkegaard berpandangan bahwa kodrat manusia sebagai ‘yang terbatas’ (finite) dan ‘yang tak terbatas’ (infinite). Pengejaran manusia terhadap status, karier, kekayaan, ketenaran, atau bahkan pengetahuan dianggap oleh Kierkegaard sebagai penyerahan diri pada hal-hal yang terbatas.
Pendefinisian manusia oleh sang filsuf bersifat terbatas, termasuk ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Dalam konteks ini, ia setuju pada konsep ‘das ding an sich’ (sesuatu pada dirinya sendiri) yang digagas oleh Immanuel Kant. Lebih lanjut, Kierkegaard menolak segala upaya pembakuan objektif terhadap realitas, seperti proyek filsafat Hegel yang pernah ia kritik. Menurutnya apa yang nyata dan konkret adalah kehidupan personal individu. Sehingga dari sini, filsafatnya kental akan subjektivitas.
Berlanjut ke manusia sebagai yang tak terbatas (infinite), menurut Kierkegaard manusia akan menyadari bahwa dirinya terbatas, dan karena itu kemudian muncul kerinduan terhadap sesuatu yang tak terbatas di luar dirinya. Namun, jalan manusia mencari hal tersebut juga tidak mulus. Banyak manusia yang tertipu mengira bahwa harta, ketenaran, pengakuan, dan hal-hal yang hakikatnya terbatas sebagai sesuatu yang tak terbatas. Kierkegaard menyebutnya sebagai pemujaan berhala (idolatry). Alih-alih mencari pada hal-hal duniawi dan material, menurutnya manusia harus berpaling pada sesuatu yang sungguh-sungguh tak terbatas, yakni Sang Ilahi (The Divine).
Tiga Tahap Eksistensialisme
Filsafat Kierkegaard terkenal akan konsep dialektika eksistensialisme-nya, yang terdiri dari beberapa tahap atau area. Yakni tahap estetis, tahap etis, dan tahap religius. Tahap estetis ditandai dengan adanya kondisi kesegeraan (immediacy), yaitu keadaan seseorang yang selalu mengejar sesuatu yang dapat memberikan kepuasan indrawi dan badaniah baginya. Seseorang pada tahap ini tidak memiliki pertimbangan apa-apa sebelum bertindak, ia ingin melakukannya pada ‘saat ini’ dan ‘di sini’. Contoh paling tepat sebagai perwakilan manusia estetis menurut Kierkegaard adalah Don Juan versi opera musikal Mozart, Dr. Faust dari drama Faust I & II karya Goethe, dan Ahasuerus sang pengembara Yahudi dalam kisah kekristenan. Ketiga tokoh tersebut mengalami keputusasaan sebagai konsekuensi dari kehidupan estetis.
Tahap etis adalah tahap lanjutan dari tahap estetis. Seseorang yang hidup dalam tahap ini mempunyai patokan moral, yakni baik (the good) dan buruk (the evil) dalam setiap tindakannya. Seseorang yang etis juga mempunyai komitmen terhadap moral universal seperti keadilan, kebenaran, kesetaraan, dan sebagainya. Kehidupan etis diibaratkan sebagai sepasang kekasih yang sebelumnya berpacaran, lalu memutuskan untuk memasuki perkawinan. Dalam perkawinan—beserta institusi perkawinan—ada komitmen dan tanggung jawab terhadap kehidupan pasangan dan anak. Sehingga, seseorang sudah tidak bisa berlaku seenaknya. Kierkegaard menampilkan Sokrates sebagai perwakilan mereka yang berada di tahap ini. Diceritakan Sokrates sang pahlawan tragis (the tragic hero) tetap memegang teguh komitmennya meski ia harus dipenjara dan dihukum mati dengan disuruh minum racun.
Namun, Kierkegaard mengatakan bahwa moralitas saja tidak cukup. Diperlukan sesuatu yang tak terbatas, yakni Yang Ilahi. Dalam kondisi ini, diperlukan iman bagi manusia. Kierkegaard memperkenalkan istilah lompatan iman (leap of faith) sebagai jalan untuk naik dari tahap etis ke tahap religius. Lompatan iman memerlukan keteguhan hati untuk berserah diri kepada Yang Ilahi. Abraham dalam kisah Bible adalah contoh yang diajukan oleh Kierkegaard sebagai gambaran manusia yang religius. Abraham diminta oleh Allah untuk mengorbankan anaknya, Ishak. Abraham berani menyanggupinya, meski pada akhirnya dihentikan oleh malaikat. Pada saat itu, Abraham mengalami lompatan iman yang menunjukkan bahwa ia beriman kepada Allah. Keteguhan Abraham menunjukkan bahwa Iman kepada Tuhan melampaui lapangan moral dan rasionalitas manusia.
Relasi dialektik tersebut tidak bersifat miring seperti seorang subjek yang merasa tahu segalanya tentang objek. Tidak pula objek dirasa begitu jauh dan asing sehingga subjek—yang tak lain adalah manusia—merasa teralienasi. Pada konteks ini, perkenalan dan penyerahan diri kepada Tuhan selalu mengarah pada konsekuensi etis. Bahwa kita sebagai manusia beriman harus punya tanggung jawab moral terhadap sesama manusia. Dengan kata lain, beriman artinya belajar menjadi manusia.
Penulis: Afwillah
Editor: Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Referensi:
Kierkegaard, Soren. Stages On Life’s Way. Terj Walter Lowrie. Princeton: Princeton University Press, 1945.
Dru, Alexander (editor). The Journals of Soren Kierkegaard. New York: Herpers Torchbooks, 1959.
Hassan, Fuad. Berkenalan Dengan Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya, 1973.
Thomas Hidya Tjaya. Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2018.
Yenni Yeski Mokorowu. Makna Cinta, Menjadi Autentik Dengan Mencintai Tanpa Syarat Menurut Soren Kierkegaard. Yogyakarta: Kanisius, 2016.
Garot, Eugenita. Pergumulan Individu dan Kebatiniahan Menurut Soren Kierkegaard. Yogyakarta: Kanisius, 2017.
Hardiman, F. Budi. Pemikiran Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche. Yogyakarta: Kanisius, 2019.
This article is under the © copyright of the original Author:
(Zona-Nalar)
Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.