Posmodernisme adalah salah satu tema diskusi menarik sekaligus membingungkan. Hal itu dikarenakan awalnya merupakan sebuah gerakan kebudayaan di bidang seni rupa, kritik sastra, dan arsitektur. Tidak mengherankan apabila maknanya menjadi kabur. Namun, semua istilah ini semuanya bersikap kritis terhadap segala bentuk modernitas.

Di tahun 1970an, posmodernisme diperkenalkan di dalam filsafat oleh Jean Francois Lyotard dalam bukunya The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1979). Lyotard mengartikan postmodernisme sebagai ketidakpercayaan terhadap segala bentuk narasi besar dan segala bentuk pemikiran yang mentotalisasi, seperti hegelianisme, marxisme dan sebagainya, serta menolak pemikiran yang totaliter (Lyotard 1984).

Modernitas, bagi Lyotard merupakan proyek intelektual yang mengarah kepada kemajuan. Contoh nyata dalam proyek ini adalah masa pencerahan (Aufklarung) abad ke 18. Immanuel Kant sendiri memandang inti dari masa pencerahan adalah manusia mulai berani berpikir sendiri dan mengungkapkannya serta mempertahankan pikirannya tersebut.

Narasi Besar Modernitas

Modernitas, bagi Lyotard merupakan proyek intelektual yang mengarah kepada kemajuan. Contoh nyata dalam proyek ini adalah masa pencerahan (Aufklarung) abad ke 18. Immanuel Kant sendiri memandang inti dari masa pencerahan adalah manusia mulai berani berpikir sendiri dan mengungkapkannya serta mempertahankan pikirannya tersebut.

Selanjutnya proyek ini pada awal abad ke 20 berkembang dalam berbagai bidang, mulai dari pengetahuan, politik, ekonomi, hingga kesenian. Kemajuan dalam proyek ini dipandang sebagai emansipasi terhadap manusia; proyek yang membebaskan manusia dari kebodohan, kemiskinan dan perbudakan.

Modernitas ditandai dengan “narasi besar”, yaitu kisah-kisah yang mempunyai fungsi mengarahkan dan menjiwai masyarakat modern. Narasi ini memberi tujuan dan melegitimasi kehidupan masyarakat modern, serta mengevaluasi kehidupan mereka.

Narasi besar ini mirip dengan mitos-mitos primitif klasik. Bedanya, mitos-mitos zaman dahulu melegitimasi atau mendapatkan pengakuan pada awal mula, seperti penciptaan oleh dewa-dewa. Sedangkan narasi besar, melegitimasi dirinya melalui ide-ide kemajuan pada masa depan, seperti narasi bahwa IPTEK akan membebaskan manusia.

Selain itu, narasi besar juga melegitimasi praktik-praktik dan institusi-institusi sosial, politik, sistem hukum dan moral, bahkan seluruh cara berpikir manusia. Ide-ide itu melegitimasi karena bersifat universal, seperti emansipasi rasio, emansipasi para buruh melalui sosialisme. Di bidang filsafat, proyek itu memuncak dalam pemikiran Hegel yang mendukung segala narasi besar itu.

Runtuhnya Narasi Besar

Semua narasi besar, menurut Lyotard, dewasa ini sudah kehilangan legitimasinya. Narasi besar, sudah kehilangan daya pikatnya dan karena itu mulai ditinggalkan. Semua orang kini sudah tidak percaya kepada narasi-narasi besar yang dulu digaung-gaungkan proyek modernitas sebagai emansipasi manusia.

Auschwitz (peristiwa pembantaian kaum Yahudi oleh Nasional-Sosialisme Jerman) merupakan contoh gagalnya proyek modernitas. Hal ini juga menandakan kontradiksi dalam filsafat Hegel, dimana prinsipnya adalah segala sesuatu yang real bersifat rasional dan segala yang rasional bersifat real. Artinya, segala sesuatu memunculkan pemikiran rasional dan dapat dimengerti.

Namun, peristiwa itu tidak dapat dipandang secara rasional, karena bagaimanapun, kejahatan tidak bersifat rasional. Filsafat Hegel yang menyatakan keseluruhan sebagai satu-satunya ideal, telah digantikan oleh pluralitas, keadaan yang terpecah belah. Sekarang, kisah-kisah besar tersebut telah digantikan oleh kisah-kisah kecil yang tidak mungkin digabungkan dalam pemikiran yang menyeluruh.

Ketidakpercayaan terhadap narasi besar ini juga berlangsung di berbagai bidang, misalnya politik. Sosialisme, yang misi utamanya membebaskan kaum buruh, mendapatkan pemberontakan dari kaum buruh itu sendiri. Pemberontakan ini terjadi di Berlin pada tahun 1953.

Pengetahuan Posmodern

Sejumlah kalangan berpandangan bahwa hanya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang menarik hati masyarakat. Seiring berkembangnya zaman, IPTEK kini telah berkembang begitu pesat. Banyak orang yang masih percaya bahwa dengan IPTEK kehidupan akan menjadi mudah dan juga akan membawa kemajuan pada kehidupan manusia.

Namun tidak demikian menurut Lyotard, ia memandang bahwa IPTEK justru memperburuk krisis, bukan malah menguranginya. Selain itu, pengetahuan dewasa ini, tidak berorientasi pada kebenaran, akan tetapi berpegang teguh kepada prinsip performativitas.

Pengetahuan dan informasi dinilai benar, apabila “ia” dapat memberikan kemudahan dan ketepatan.  Pengetahuan dan informasi tersebut akan diproduksi, sejauh efisiensi dan efektivitasnya. Hal ini berarti pengetahuan dikumpulkan dan di reproduksi jika ia berguna dalam kehidupan. Dengan demikian, pengetahuan dan informasi akan berubah menjadi komoditas yang diperjual-belikan di masyarakat.

Lebih lanjut, pengetahuan yang tidak bisa dinilai dalam prinsip performativitas akan dikesampingkan. Misalnya, pengetahuan filosofis sekarang kurang diminati dibandingkan pengetahuan tentang teknologi. Hal ini karena pengetahuan tentang teknologi dewasa ini dipandang lebih dibutuhkan untuk menghadapi tantangan kehidupan, dibandingkan pengetahuan yang terkait dengan diskursus atau pergulatan pemikiran.

Penulis: Shahib

Editor: Murteza Asyathri

Referensi:

Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer Prancis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001.

Lyotard, Jean Francois. Postmodern. Jogjakarta: Thafa Media, 2019.

Lyotard, Jean Francois. The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. Surabaya: Amadeo Publishing, 2021.

Sugiharto, I. Bambang. Postmodernisme. Yogyakarta: PT Kanisius, 1996.



This article is under the © copyright of the original Author: Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
(Zona-Nalar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

five × four =