Published On
Categories

Agama merupakan hal yang esensial dalam kehidupan manusia. Sebab agama memuat banyak nilai-nilai kehidupan yang menjadi guideline bagi setiap pemeluknya. Nilai-nilai itu diimplementasikan dalam praksis hidup. Meskipun agama memiliki begitu banyak nilai-nilai kebaikan, tetapi sering kali pemeluknya terjebak dalam pemahaman buta atau lebih tepatnya beriman tanpa pemahaman yang benar. 

Sehingga lahirlah fenomena intoleransi agama dan radikalisme agama – agama yang berubah menjadi sekat pemisah bagi setiap penganut agama tertentu, yang disebabkan oleh adanya sikap fanatisme dalam beragama. Bertolak dari persoalan ini, penulis mencoba untuk menelaahnya dengan konsep language game Wittgenstein. Semoga konsep ini dapat memberikan pandangan yang dapat membuka pikiran dalam menyikapi pluralitas agama di Indonesia.

Ludwig Wittgenstein adalah seorang filsuf keturunan Yahudi yang lahir di Wina pada tanggal 26 April 1889. Dia merupakan seorang filsuf yang memfokuskan kajiannya pada logika, bahasa dan matematika. Karya-karyanya yang terkenal ialah: Tractatus Logico-Philosophicus dan Philosophical Investigations. Namun, pada tulisan ini penulis akan mempersempit kajian hanya pada karya kedua, yaitu Philosophical Investigations. Wittgenstein wafat pada 29 April 1951 setelah berjuang melawan kanker selama dua tahun.

Wittgenstein terkenal dengan pemikiran filosofisnya mengenaiLanguage game’.  Teori ini merupakan teori bahasa yang melihat makna bahasa berdasarkan pada konteks kehidupan manusia dan aturan di mana bahasa itu digunakan (PI 65). Sistem aturan bahasa yang dimaksud di sini bukanlah sebuah aturan yang ketat melainkan bersifat konvensional. 

Dalam konteks ini, makna dari sebuah kata tergantung pada situasi di mana penuturnya berada dan aturan di mana kata atau bahasa itu mesti digunakan, misalnya kata ‘awak’, yang dalam bahasa Melayu berarti saya sedangkan dalam bahasa Sunda artinya badan. 

Pada agama lainnya pun ada istilah yang mirip, tetapi memiliki makna yang berbeda, seperti konsep Trinitas dalam Kristen dan Trimurti dalam Hindu. Agama Kristen mengakui bahwa mereka mengimani satu Tuhan begitu pula dengan Hindu. Namun, yang membedakan ialah Trinitas.

Trinitas merupakan konsep ketuhanan yang meyakini bahwa hanya ada satu Allah, tetapi hadir dalam Tiga Pribadi: Allah Bapa, Allah Putra dan Allah Roh Kudus, yang mana ketiga memiliki hakikat yang sama. Sedangkan Trimurti meyakini ada satu kekuatan ilahi, yaitu Brahman yang dimanifestasikan dalam tiga dewa, yakni: Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara dan Siwa sebagai pelebur.

Pada dasarnya dua contoh di atas menunjukkan bahwa bahasa itu memiliki sistem aturan yang mana maknanya ditentukan oleh konteks dan konvensi dari suatu kelompok tertentu begitu juga dengan konsep dalam doktrin agama – di mana setiap agama memiliki sistemnya sendiri sehingga konsep suatu agama memiliki perbedaan dengan agama yang lain.

Berhadapan dengan fenomena intoleransi di Indonesia, konsep Wittgenstein merupakan salah satu cara dalam dialog Interreligius. Dalam hal ini, language game memberikan perspektif kepada kita tentang bagaimana cara memandang dan memahami konsep dari suatu agama, yakni memahaminya melalui sistem aturan dari agama itu sendiri. 

Singkatnya, untuk memahami konsep suatu agama kita harus menggunakan perspektif dari agama itu sebab jika kita menggunakan perspektif agama kita untuk memahami suatu agama tentunya akan terjadi suatu tabrakan; bahkan kita akan memandang agama itu salah.

Menurut penulis, fenomena intoleransi yang terjadi di Indonesia tidak semata-mata disebabkan oleh politik identitas melainkan karena cara pandang terhadap agama lain. Selain itu, setiap penganut agama juga sering terjebak pada paham bahwa agamanya lah yang paling benar – ini tidak bisa dilepaskan dari kosakata final, yang diakibatkan oleh pemahaman doktrin agama yang buta sehingga kehadiran agama lain seringkali dipandang sebagai suatu ancaman.

Oleh karena itu, menurut penulis, hal yang terpenting bagi kita untuk membangun dialog ialah memiliki sikap terbuka terhadap agama lain seperti dalam konsep language game Wittgenstein, yaitu memahami suatu konsep dengan sistem aturannya yang tidak terlepas dari konteks sehingga kita tidak memahami suatu konsep menurut pemahaman subjektif yang menyebabkan lahirnya intoleransi agama.

Referensi:

Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer Jilid I: INGGRIS & JERMAN. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2014.

Ludwig Wittgenstein, Ludwig. Philosophical Investigations, diterjemahkan dari Philospische Untersuchungen oleh G.E.M. Acombe, BASIC BLACKWELL, 1958.

Tessalonika, Febry. Beda Suku Beda Arti, 9 Kata Bahasa Daerah yang Sama Tapi Beda Artinya, tersedia dari https://www.idntimes.com/life/inspiration/febry-2/bahasa-daerah-yang-sama-tapi-beda-arti-c1c2/6, diakses pada tanggal 23 Desember 2021.

Zazuli, Mohammad. Sejarah Agama Manusia, Yogyakarta: Narasi, 2019.

Watra, I Wayan. “Tri Murti Ideologi Sosio-Religius Mempersatukan Sekte-Sekte di Bali,” DHARMASMRTI, Vol. 9 Nomor 2 Oktober 2018, 115.

 

Penulis: George G.J. Tena

Editor: Wa Ode Zainab ZT



This article is under the © copyright of the original Author: Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
(Zona-Nalar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

thirteen − twelve =