Penulis: M. Ihza Fajrian
Editor: Qonyta Jufri
Seorang santri berkata pada Kyainya: “Pak Kyai, sekarang golongan Salafi sudah masuk ke kampung kita. Ini berbahaya karena mereka akan merusak keyakinan dan praktik yang selama ini sudah kita jalani. Terlebih kebiasaan mereka yang suka membid’ah-bid’ahkan sesama”. Kemudian Kyai tersebut menjawab: “Kamu ngomong begitu tapi kok tidak memperhatikan pengaruh positif mereka. Mereka merangkul jama’ah untuk berangkat ke masjid di awal waktu, ngasih kenyamanan buat jama’ah, ada kajian di setiap ba’da shalat. Lha kita? Boro-boro bisa seperti itu, wong azan zuhur sudah dikumandangkan saja masih asyik di sawah, masjid kita kotor banyak sawangnya, sebelum cuma sekedar menuduh, lebih baik kita intropeksi diri dulu”.
Dialog di atas didapat dari teman penulis yang merupakan seorang santri perihal diskusinya dengan Kyainya di salah satu pesantren di daerah Plered, Yogyakarta. Menurut penulis, hal ini menarik karena biasanya jika ada pengampu otoritas keagamaan tertentu yang merasa terusik akibat datangnya otoritas lain yang berbeda paham, akan terjadi upaya-upaya preventif-represif. Seperti aksi penolakan sebuah pengajian terhadap ustadz terkait misalnya, atau yang lebih keras adalah membawa jamaahnya untuk mengusir ustadz tersebut secara paksa jika tetap memaksa melangsungkan pengajiannya. Yang dilakukan oleh Kyai tersebut justru berbeda, ia malah melakukan autokritik terhadap perilaku jama’ahnya sendiri yang barangkali hanya reaksioner saja.
Tulisan ini berusaha untuk membaca secara sekilas problem pertentangan antara “klaim kebenaran” antara dua kelompok muslim di Indonesia, NU dan Salafi melalui teori komunikasi Jurgen Habermas, seorang filsuf kontemporer generasi kedua Mazhab Frankfrut. Pembacaan ini berangkat sebuah pertanyaan; apakah antara kelompok NU dan Salafi dapat saling menghargai dan menemukan “kesaling pahaman” dalam hal-hal yang bersifat positif (selanjutnya akan memakai kata maslahat)? Terlepas adanya perbedaan pendapat antar masing-masing kelompok. Baik yang sifatnya khilafiyyah seperti hukum-hukum fiqh, bahkan ushuliyyah sekalipun seperti keyakinan masing-masing kelompok mengenai sosok Tuhan—di sini penulis yang penulis sorot hanya keadaan yang terjadi di lapangan terkait kontestasi dua kelompok tersebut, tidak panjang lebar mengenai pandangan-pandangan doktrin keagamaan masing-masing kelompok—.
Pada konteks Indonesia, perselisihan perihal kebenaran antara NU-Salafi sebenarnya sudah berlangsung lama bahkan hingga sekarang. Hal ini dapat ditelisik pada media sosial misalnya—bukti bahwa pertentangan perihal kebenaran tidak hanya terjadi pada komunikasi korporal, bahkan lebih masif pada komunikasi digital—, ketika kelompok NU memposting mengenai suatu hal yang mereka yakini kebenarannya seperti ngalap berkah, memunculkan reaksi dari kelompok Salafi mengenai sesatnya tindakan tersebut karena menurut mereka tidak ada contoh dari Nabi Muhammad SAW. Begitu juga sebaliknya, ketika kelompok Salafi memposting sesuatu seperti pandangan mereka tentang bersemayamnya Allah di atas arsy, kelompok NU beraksi dengan menyesatkan hal tersebut dengan melabeli kelompok salafi sebagai mujassimah (paham yang berpandangan Tuhan memiliki atribut yang sama dengan manusia).
Jika kembali pada respon Kyai atas argumen santrinya di atas, akan terlihat bahwa umat (pengikut) sebenarnya tidak terlalu mempedulikan perihal apa dan bagaimana jenis keyakinan tertentu, melainkan bagaimana mereka dirangkul oleh otoritas keagamaan terkait. bahwa hal ini juga dalam dunia sehari-hari (lebenswelt), pertentangan mengenai mazhab apa yang diyakini tidak lah penting, yang terpenting adalah kontribusi dan peran apa yang bermanfaat bagi umat, yang maslahat. Dapat dikatakan, respon Kyai tersebut tidak mengalami confirmation bias—meminjam istilah Habermas—yang alih-alih menerima fakta (tentang umat yang dirangkul secara positif oleh golongan salafi), malah mengingkari hal tersebut dengan fanatisme golongan yang ia anut.
Di era sekarang terlepas apapun kelompoknya, menurut penulis, umat muslim perlu untuk saling mencari “kesalingpahaman” dalam hal-hal yang bersifat maslahat untuk bersama seperti mengupayakan pemberantasan terhadap kemiskinan dan kebodohan misalnya. Mengingat hal tersebutlah yang banyak menimpa umat muslim saat ini. Nampaknya perdebatan mengenai “apa yang benar” dan “siapa yang salah” sudah tidak relevan lagi. Artinya, perlu untuk mencari ide mengenai kemaslahatan berdasarkan keyakinan yang dipegang secara subjektif—dari masing-masing golongan—.Sehingga dapat dikatakan, kebenaran adalah kualitas hubungan antara pengetahuan dan kenyataan “di sini” (maslahat), bukan sekedar yang diyakini “di sana” (sesat atau tidaknya).
Untuk mencari “kesalingpahaman” antara dua kelompok di atas, memang tidak akan bisa ditemukan sebuah ‘kesepakatan keyakinan’ mengenai doktrin keagamaan karena hal ini bersifat subjektif dan berada “di sana”. Yang harus dicari adalah kesepakatan universal “di sini” yang disepakati di dalam menjalani kehidupan sehari-hari ini. Secara spesifik misalnya, jika NU mengklaim bahwa nilai-nilai tasawuf yang mereka yakini dapat berguna untuk kemaslahatan umat, dan Salafi yang meskipun tidak mau memakai istilah tasawuf—biasanya mereka memakai istilah tazkiyyat an-nafs atau akhlak karena menganggap istilah tasawuf itu bid’ah—namun tetap mempunyai ide untuk kemaslahatan umat, harus melakukan dialog mengenai kesepakatan yang diyakini, pemahaman atas keyakinan masing-masing untuk kemaslahatan.
Artinya, terlepas dari kebenaran yang diyakini secara metafisis “di sana”, yang terpenting adalah bagaimana ‘klaim kebenaran’ tersebut dapat memunculkan tindakan emansipatif (maslahat) terhadap kehidupan sehari-hari “di sini”. Kebenaran bukanlah fakta berkuasanya doktrin tertentu, melainkan sebuah tuntutan untuk menembus klaim-klaim kesahihan. Selanjutnya, perlu juga mendiskusikan perihal ide maslahat tersebut dengan jujur, tulus, dan tanpa kemunafikan—karena hingga saat ini antar kelompok masih menyimpan fanatisme masing-masing. Kemunafikan adalah bukti ketidakbenaran. Meminjam istilah Habermas, kebenaran bukanlah sesuatu yang ditemukan atau dibuat, melainkan sesuatu yang dicapai melalui komunikasi. Jika masing-masing kelompok mengklaim tentang “yang benar”, hal ini harus bisa diuji secara argumentatif terkait apakah klaim tersebut mampu memberikan maslahat secara konsensus.
Referensi
Hardiman, F. Budi. Aku Klik Maka Aku Ada: Manusia Dalam Revolusi Digital. Yogyakarta: Kanisius, 2021.
Hardiman, F.Budi. Kebenaran Dan Para Kritikusnya: Mengulik Idea Besar Yang Memandu Zaman Kita. Yogyakarta: Kanisius, 2023.
Rinanda, Hilda. “Kronologi Pembubaran Pengajian Ustaz Riza Basalamah Versi Ansor Surabaya.” detikjatim. Accessed June 2, 2024. https://www.detik.com/jatim/berita/d-7207542/kronologi-pembubaran-pengajian-ustaz-riza-basalamah-versi-ansor-surabaya.