Penulis: Afwillah
Editor: Ayu Lestari

Pemikiran Ibn Khaldūn mungkin mewakili pengertian korupsi di masa lalu, bahwa korupsi adalah sebagai bentuk kemerosotan moral. Pengertian ini tentu memiliki cakupan yang luas. Berbohong pun dapat dipandang sebagai korupsi, menaikkan pajak juga korupsi, bahkan penyalahgunaan kekuasaan pun bisa dipandang sebagai korupsi

Namun, pengertian korupsi hari ini sudah agak menyempit, yaitu sebagai penyelewengan jabatan publik. Pengertian ini dapat dilacak sampai ke pemikiran Max Weber mengenai otoritas dan birokrasi. Weber menandai dunia modern dengan bercirikan atas berkuasanya otoritas legal-rasional. Otoritas legal-rasional bukan didasarkan pada otoritas berdasarkan garis keturunan, tradisi, atau sosok karismatik. Otoritas legal-rasional didasarkan pada ketentuan berupa hukum yang mengikat baik penguasa atau pun rakyat.

Bila penguasa melanggar hukum, maka ia bisa diturunkan dari jabatannya. Selanjutnya, otoritas legal-rasional bekerja dengan pembentukan birokrasi. Birokrasi adalah pengorganisasian lembaga secara rasional demi efisiensi meraih tujuan. Contoh birokrasi adalah kementerian, lembaga hukum, parlemen, dan hampir seluruh lembaga kenegaraan lain. Bahkan KPK sendiri juga merupakan birokrasi.

Otoritas legal-rasional dan birokrasi adalah jantung negara modern. Melalui dua inilah negara bekerja dan mempertahankan kekuasaannya. Tetapi Weber bukan termasuk orang yang menempatkan negara sebagai wasit yang jujur dan adil dalam urusan kehidupan publik. Sejauh negara, otoritas legal-rasional, dan birokrasi hanyalah tipe ideal (hanya konsepsi), dalam kenyataannya bisa saja berlawanan. Ada negara modern yang otoritasnya tumpang tindih: sang pemimpin dipilih melalui pemilihan umum, tapi melalui pengaruhnya sebagai pemimpin yang karismatik, ia dapat melampaui hukum, lalu menggunakan kekuasaan untuk menjamin bahwa keturunannya lah yang akan melanjutkan kekuasaannya.

Orotitas yang tumpang tindih inilah yang kemudian menjadi perhatian sosiolog marxis, Wim Wertheim, ketika mengkaji korupsi di Indonesia. Menurutnya, korupsi Indonesia berakar pada kedatangan kolonial yang membawa otoritas legal-rasional dan birokrasi berbenturan dengan keadaan masyarakat Indonesia yang masih hidup di bawah otoritas tradisional yang feodalistik. Benturan ini membuat birokrasi kolonial kemudian berwatak feodal. Akhirnya ada pejabat lokal yang memberi suap dan gratifikasi kepada pemerintah kolonial supaya terpilih jadi bupati, dan sebaliknya, pemerintah kolonial mempertahankan kekuasannya tidak dengan cara rasional (melalui hukum yang rasional), tapi dengan memanfaatkan kondisi masyarakat Indonesia yang masih feodalistik.

Yang perlu digarisbawahi pula, bukan cuma pejabat lokal yang korup. Pejabat-pejabat asli eropa yang langsung dipekerjakan oleh pemerintahnya pun juga banyak yang korup. Thomas Stamford Raffles yang kerap dipandang sebagai tokoh reformer yang membawa Malaysia dan Singapura ke dalam alam modern ini juga pernah terlibat beberapa skandal. Salah satunya adalah kasus yang disebut “Banjarmasin affair“.

Pada tahun 1811, Alexander Hare ditunjuk oleh Raffles sebagai komisioner dan residen untuk wilayah Banjarmasin. Aturan pemerintah Inggris waktu itu adalah melarang pejabatnya untuk menerima hadiah dari bangsawan lokal. Namun ketika Hare menerima hadiah berupa 1.400 mil persegi dari Sultan Banjar, yang semestinya tidak boleh diterima, Raffles dengan kekuasaannya malah melindungi Hare supaya ia dapat menerima hadiah itu dan menjadikannya milik pribadi. Dan jangan lupa pula, VOC di kemudian hari diplesetkan namanya menjadi Vergaan Onder Corruptie, imbas masifnya korupsi yang dilakukan oleh pegawai dan pejabatnya dari berbagai tingkatan.

Jadi bisa dibilang korupsi bukanlah budaya orang pribumi, orang Indonesia. Korupsi adalah masalah universal yang terjadi dimana saja dan oleh siapa saja. Lalu pertanyaan selanjutnya, apakah korupsi merupakan masalah yang secara alami terkandung di dalam negara modern?

Untuk ini, perlu kiranya menengok pendekatan Marxian terhadap negara. Negara adalah instrumen kekuasan kelas borjuis. Dengan kata lain, negara melayani kepentingan kapitalis. Negara menjadi wali untuk kelas borjuis. Pengertian negara ini biasanya disebut sebagai negara kelas. Jadi, sekalipun menggunakan birokrasi modern, tetap saja akhirnya adalah berkuasanya segelintir orang terhadap banyak orang lainnya. Korupsi hanyalah salah satu prakteknya.

Hal yang sama juga disadari oleh Weber. Baginya, negara modern baginya bekerja sesuai logika rasionalisasi yang tujuan utamanya adalah meningkatkan secara terus menerus efisiensi dan produksi kapitalisme. Namun yang membedakan Weber dengan pendekatan marxian adalah Weber masih memisahkan antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi. Birokrasi bekerja sebagai kepentingan publik. Bisa dibilang korupsi “sebagai penyelewengan jabatan publik” adalah benturan antara kepentingan publik (jabatan, birokrasi) dan kepentingan pribadi (sang pejabat, oligarki). Kepentingan publik dikesampingkan demi kepentingan pribadi.

Pertanyaan selanjutnya, apakah pemisahan kepentingan publik dan kepentingan pribadi ini sungguh ada? Bila merujuk pada konsepsi negara kelas, maka sebenarnya bisa dibilang kalo pemisahan itu mencurigakan. Selagi negara adalah wali bagi kelas borjuis, maka masuk akal bila negara atas nama kepentingan publik sebenarnya bekerja demi kepentingan pribadi segelintir orang yang berkuasa. Dengan kata lain, yang dinamakan kepentingan publik adalah topeng yang menyamarkan kepentingan pribadi. Tentu di sini, korupsi bukan sesuatu yang asing dan aneh lagi. Kemudian, yang kita perlukan bukanlah menghapus birokrasi dan beralih kepemimpinan menjadi otoritas tradisional yang feodalistik. Namun lebih kepada penghapusan dualisme kelas, antara yang berkuasa dan yang dikuasai.

Referensi:
B. Herry Priyono. 2018. Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi.
Raymond Aron. 1965. Main Currents in Sociological Thought.
Syed Hussein Alatas. 2020. Thomas Stamford Raffles: Schemer or Reformer.
Syed Hussein Alatas. 1987. Korupsi: Sifat, Sebab, dan Fungsi.



This article is under the © copyright of the original Author: Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
(Zona-Nalar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

three + fourteen =