Liberalisme Baru Tocqueville

Stats: 19 Views | Words: 735

4 minutes Read




Dalam satu frase “liberalisme baru”, Alexis de Tocqueville merangkum semua komponennya dengan dirinya. Ia mengklaim memiliki penghormatan yang setingginya terhadap keadilan, cinta terhadap hukum, ketertiban, dan komitmen terhadap moralitas serta agama sebagai hal yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah liberalisme.

Liberalisme masa lalu seperti pada Liberalisme Locke dan Monstequieu, tidak dibangun di atas keterikatan yang disengaja pada moralitas dan agama. Locke dan Montesque tentu menghormati keadilan, hukum, dan ketertiban. Mereka juga melihat moralitas sebagai pondasi liberalisme mereka, tetapi tidak meletakkan agama. Sementara agama, bagaimana pun juga tetap menjadi mitra yang tidak nyaman bagi liberalisme mereka. Menurut Tocqueville pemahaman moralitas mereka lebih sekuler.

Menurut Tocqueville kesalahan besar kaum liberal abad ke-18 terletak pada kesalahahpaman tentang hubungan antara kebebasan dan agama. Semangat beragama kata mereka, pasti akan gagal jika kebebasan secara umum ditegakkan dan dipersebar. Kebebasan menurut mereka dianggap sebagai pendamping semua pertempuran. Tetapi berbeda menurut Tocqueville tanda pembeda liberalisme Perancis Abad ke-19 adalah keyakinan bahwa kebebasan tidak dapat ditegakkan tanpa agama.

Tocqueville merindukan jenis kebebasan yang berbeda. Ia seorang Katolik Roma, menekankan pentingnya agama yang dilembagakan dalam domain publik untuk membuat orang bermoral. Ia menekankan institusi gereja sebagai penjaga kebenaran agama di ranah publik. Moralitas menyiratkan upaya individu untuk menyesuaikan kehendak bebas manusia dengan kehendak Tuhan. Aliran ini berbeda dengan Benjamin Constant yang seorang Protestan, menekankan liberalisme pada yang serba dinikmati oleh individu dan menempatkan agama sebagai hal yang terpisah.

Tocqueville berhutang pada Rousseau dan Monstesquieu dalam mengambil pendekatan sosiologis terhadap filsafat politik sebagai keberangkatan filsafatnya. Berbeda dengan Katolik Liberal yang didirikan oleh Felicte de Lamennais pada 1830, yang menurutnya telah kehilangan otoritasnya dan berdaya untuk mengerahkan masyarkat demokratis; dimana hak individu harus didistribusikan ke semua orang. Sementara Katolik Liberal mengorbankan klaim kebebasan politik kepada kedaulatan gereja. Oleh karena itu, prinsip kunci dari liberalisme baru Tocqueville adalah kebeasan hanya dapat dicari di dalam negara dan masyarakat, bukan dari negara dan masyarakat. Ia tidak percaya gereja dapat mengatur demokrasi. Atas pemikirannya ini, ia dicurigai sebagai Katolik konservatif yang menyamar karena tidak bersedia mengorbankan klaim gereja sebagai kedaulutan negara.

Bertentangan dengan filsuf Pencerahan, Tocqueville tidak percaya bahwa akal dapat memerintah atau membebaskan individu. Lebih dalam, ia berpendapat bahwa akal yang dibebaskan dari iman dan tradisi adalah kekuatan yang merusak. The Rule of Reason menghancurkan pengetahuan yang berlandaskan pada otoritas tradisional dan ia memahami kebebasan sebagai kemenangan akal atas takhayul dan pra-peradilan. Sejalan dengan pemikirannya, prosedur ilmiah bukanlah jalan menuju pengetahuan, tetapi agama.

Liberalisme baru Tocqueville menggabungkan pemahaman khusus tentang individualisme yang dianggap integral dari komunitas moral. Ia berpendapat bahwa komunitas moral bukanlah ciptaan manusia atau pola bentuk sopsial, tetapi dibentuk oleh Tuhan. Individu di sini bukanlah individualisme utilitarian dari Hobbes, Locke, dan bentham.  Tujuan tertinggi bagi Tocqueville bukanlah kemenangan individualitas sebagaimana pemikir liberalisme lain, tetapi pengembangan kapasitas untuk menjalankan pilihan sejati demi jiwa pribadi. Individualisme Tocqueville adalah religius: itu berarti pengembangan jiwa seseorang untuk mencapai kebajikan dan kebahagiaan abadi. Oleh karena itu, individualisme utilitarian baginya hanya menumbuhkan egoisme belaka.

Pemerintahan republik bagi Tocqueville adalah tidak seimbang karena menjanjikan lebih banyak, tapi memberikan lebih sedikit kebebasan daripada monarki konstitusional. Ia lebih baik berada dalam monarki turun-temurun daripada republik. Monarki konstitusional dianggap lebih berhasil mengendalikan nafsu mayoritas. Dalam monarki konstitusional, raja akan dipaksa untuk berbagi otoritasnya dengan aristokrasi. Struktur sosial aristokrat memiliki keuntungan karena memiliki panggilan dan kepentingan untuk memperahankan kemerdekaanm lokal dan menolak konsentrasi otoritas. Sebagaiman, Montesquie, Tocqueville percaya bahwa pemerintahan yang baik bergantung pada otoritas perantara dalam pemerintahan lokal.

Tocqueville ingin semua sama-sama bebas dalam berpolitik, setiap orang memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam kebaikan bersama. Namun, dia tidak percaya pemerataan barang-barang material dan hak-hak sipil dan politik yang setara berkontibusi untuk mengubah individu menjadi warga negara. Menurutnya, redistribusi barang-barang material mengakibatkan perpecahan yang lebih besar dan gagal membangun ikatan moral.

Tocqueville menolak gagasan legal charity karena itu adalah hambatan untuk penciptaan semangat publik. Keyakinan bahwa kemiskinan dapat dihilangkan dengan mengubah kondisi masyarakat tanpa merusak komitmen sipil, adalah ilusi baginya.

Bagi Tocqueville negara juga tidak boleh terlibat dalam pendidikan. Baginya, keluarga adalah unsur utama yang bertanggung jawab atas pendidikan dan pendidikan anak-anak. Tocqueville mengkritik bahwa pendidikan yang dikuasi negara menciptakan generasi warga negara yang berada dalam kendali aparatur negara. Bagi Tocqueville pendidikan harus memperkuat otonomi pengembangan penilaian individu.

 

Editor: Ahmed Zaranggi

Referensi

Ouseselin, Edward. “French Political Thought from Monsteque to Tocqueville: Liberty in a Levelled Society. “ French Studies: A Quartely Review. Volume 63, 2 April 2009. Pp. 219-220.

Tocqueville, Alexis de. 2000. Democracy in America. Audiobook on version on Scribd.com.





Citation format :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *