هر روزی که گناهی در آن صورت نگیرد، عید است. عید روزی است که انسان به فطرت و اصل” “خداشناسی خود برگردد

(Setiap hari adalah Idul Fitri bagi mereka yang tidak melakukan dosa. Hari Id adalah kembalinya manusia ke Fitrah dan asalnya di hadapan Tuhan)- Sayyidina Ali

Idul Fitri merupakan salah satu perayaan yang dilaksanakan oleh umat Islam di dunia, setelah melakukan puasa di bulan Ramadan. Namun, pernahkah kita menyadari secara mendasar makna dan hakikat Idul Fitri? Sayangnya, banyak Muslim yang merayakan Idul Fitri sebatas seremonial untuk berkumpul bersama keluarga dan sanak saudara. Tak syak, Hari Raya Idul Fitri hanya sekadar selebrasi tahunan dalam paradigma umat Islam. Tulisan sederhana ini, bertujuan untuk menyadarkan para pembaca mengenai makna dan hakikat Idul Fitri dalam pandangan para Sufi, yang dipandang dapat menghadirkan esensi dari Idul Fitri melalui pendekatan batin. 

Para Sufi dalam berbagai literatur memaknai Idul Fitri pada dua konteks, yaitu umum dan khusus. Pertama, Idul Fitri bermakna umum, ialah kembalinya manusia pada fitrah atau kesucian dirinya. Adapun, Idul Fitri bermakna khusus, ialah hadiah ilahi yang diberikan oleh Allah Swt. kepada seluruh umat Islam untuk membersihkan, menyucikan, dan menerangi hati mereka. Para sufi meyakini bahwa Idul Fitri merupakan sebuah perintah yang diberikan oleh Allah Swt. kepada Muhammad saw. untuk disampaikan kepada Muslim sebagai sebuah hadiah spiritual dalam menapaki kehidupan di muka bumi.

Lebih lanjut, para Sufi menyebutkan bahwa setiap manusia memiliki potensi untuk memperoleh hadiah spiritual dengan melewati berbagai ujian yang disiapkan oleh Allah swt. yaitu berpuasa selama sebulan penuh, beribadah di 3 malam istimewa, dan memahami hakikat turunnya kitab suci Alquran di bulan suci Ramadan. Berbagai ujian yang diberikan Allah Swt. selama bulan suci Ramadan bertujuan untuk melatih ibadah dan meningkatkan ketakwaan umat Islam di muka bumi. Sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam QS. al-Baqarah ayat 183 yang artinya; “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” 

Berdasarkan surah al-Baqarah ayat 183, para Sufi memahami bahwa puasa dan berbagai peribadahan yang melingkupinya merupakan sebuah kewajiban bagi setiap umat Muslim untuk mengaktualkan daya-daya batin sebagai makhluk ilahi di muka bumi. Manusia merupakan ciptaan sempurna yang tidak sekadar diberkati daya-daya fisik (lahiriah), melainkan daya-daya batin (batiniah), seperti jiwa sebagai kendaraan eksistensi bergerak mencapai kesempurnaan immateri, guna menyucikan dan menyederhanakan [melepas dari nafsu dan hasrat materi) di realitas.

Dari berbagai pemaknaan di atas, dapat diketahui bahwa Idul Fitri dalam pandangan para Sufi bermakna khusus dengan melihat urgensi perayaan Idul Fitri yang tidak sebatas dipahami sebagai proses kembalinya sucinya manusia secara seremonial. Setelah memahami makna Idul Fitri, para Sufi berusaha memahami hakikat Idul Fitri melalui salah satu hadis Sayyidina Ali, “Setiap hari adalah Idul Fitri bagi mereka yang tidak melakukan dosa. Hari Id adalah tempat kembalinya manusia pada fitrah dan asalnya di hadapan Allah Swt.”

Para sufi menganalisis hadis Sayyidina Ali secara terpisah. Pertama, makna “هر روزی که گناهی در آن صورت نگیرد، عید است” (Setiap hari adalah Idul Fitri bagi mereka yang tidak berbuat dosa), para Sufi memandang bahwa hakikat utama Idul Fitri adalah menyucikan jiwa manusia dengan mengamalkan berbagai proses penyembahan dan peribadahan yang tidak sebatas pada Allah Swt., tetapi kepada masyarakat. Sebaliknya, dosa-dosa yang terejawantahkan dalam perilaku manusia mendeskripsikan kotornya jiwa manusia. Akibatnya, manusia tidak dapat menyempurnakan eksistensinya di realitas. 

Dalam konteks makna pertama, kita dapat melihat bahwa para Sufi mendeskripsikan peribadahan tidak sebatas pada hablum min al-Allah, melainkan hablum min an-nas, sebagaimana setiap Muslim diwajibkan membayar zakat sebagai rasa kepedulian kepada sesama di hari raya. Jalal al-Din dalam Masnawi menyebutkan betapa banyaknya umat Muslim yang melakukan tawaf di hadapan Ka’bah, akan tetapi hati mereka kotor dan tidak mencerminkan eksistensinya sebagai manusia. Pandangan Jalal al-Din Rumi dalam Masnawi ingin menyampaikan bahwa begitu banyak Muslim beribadah kepada Allah Swt., akan tetapi tidak berbanding lurus dengan ibadah pada lingkup sosial. Akibatnya, jiwa manusia menjadi kotor dan tidak dapat mengalami kesempurnan, sehingga manusia diharuskan untuk menyempurnakan jiwanya melalui perilaku baik dalam bingkai sosial. Manusia yang mampu mengaktualkan ruang peribadahan dan sosial akan membersihkan dan menyucikan dan menyinari jiwanya, sehingga  memperoleh hadiah ilahi (Idul Fitri) setiap harinya sebagai kesempurnaan eksistensi.

Sedangkan pemaknaan kedua عید روزی است که انسان به فطرت و اصل” “خداشناسی خود برگردد” mendeskripsikan kembalinya manusia sebagai makhluk ciptaan Allah Swt. di realitas. Para Sufi memandang manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya, yang diciptakan dalam keadaan suci dan kembali dalam keadaan suci; sebagaimana ia berasal dari Zat Yang Maha Suci. Jalal al-Din Rumi dalam salah satu bait puisinya menjelaskan bahwa manusia telah begitu jauh mencari-Nya. Mereka (manusia) pergi ke Ka’bah, pegunungan Herat, dan gunung Kaf, akan tetapi tidak menemukan Allah Swt.; hingga mereka melihat hati sebagai perbendaharaan agung dan menemukan-Nya di sana. 

Penjelasan puisi Jalal al-Din Rumi, pada dasarnya berusaha menyadarkan manusia bahwa hati merupakan daya persepsi yang dimiliki manusia. Di awal penciptaan, hati manusia itu suci. Namun, semakin menapaki kehidupan, hati mereka pun kotor yang menyebabkan jiwa manusia juga kotor. Dalam konteks ini, makna Idul Fitri adalah membersihkan kembali hati sebagai asal penciptaan manusia sebagai ruang kembali ke hadapan Ilahi. 

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa hakikat dari Idul Fitri ialah pembersihan hati manusia dari berbagai debu yang dipandang mengotori jiwanya di realitas. Manusia yang telah menyucikan hati dan jiwanya diharuskan untuk menjaganya sebagai langkah atau tahap kembali kepada Allah swt dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu karena sesungguhnya manusia berasal dari yang suci dan harus kembali pada yang suci. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

Penulis: Nurul Khair

Editor: Wa Ode Zainab Zilullah Toresano



This article is under the © copyright of the original Author: Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
(Zona-Nalar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

12 + 6 =