Marxisme dan Jalan Menuju Kebebasan Sejati

Stats: 82 Views | Words: 809

5 minutes Read








“Marxisme adalah satu-satunya filsafat zaman kita,” kata Jean-Paul Sartre, filsuf Prancis terkenal dengan Filsafat Eksistensialisme. Sartre berusaha merekonsiliasi filsafat eksistensialis dengan Marxisme, yang ia pandang sebagai alat perlawanan terhadap kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme. Namun, Sartre tidak menelan mentah-mentah Marxisme versi lama seperti yang diterapkan Lenin di Uni Soviet. Baginya, Marxisme alah filsafat yang harus terus diperbarui agar tetap relevan.

Marxisme lama selalu menekankan determinisme ekonomi dan perannya dalam membentuk struktur sosial. Dalam The Search for Method (1960) melalui konsep filsafatnya, Sartre menyadari bahwa manusia memang hidup dalam struktur sosial yang sudah dibentuk, tetapi tetap memiliki kemampuan untuk mengubah realitas melalui tindakan kolektif. Dengan demikian, di tengah struktur kapitalisme yang menindas, manusia dapat menggerakkan dirinya untuk melawan struktur tersebut.

Sartre juga berpendapat bahwa dialektika terjadi melalui proses kesadaran manusia yang kemudian menciptakan sejarah. Misalnya, dalam sekelompok orang yang berkerumun, mereka sebenarnya hidup dalam sistem yang mengekang kebebasan, tetapi tidak bertindak karena belum memiliki kesadaran kolektif. Berbeda halnya ketika kerumunan itu sadar akan kepentingan bersama, sehingga akhirnya melakukan tindakan kolektif.

Tahap berikutnya, pengalaman tertindas muncul ketika manusia menghadapi represivitas mendadak, seperti PHK sepihak, pemotongan upah, atau lonjakan biaya pendidikan dan kesehatan. Situasi ini memunculkan kesadaran solidaritas ketika melihat orang lain mengalami ketidakadilan serupa, sebuah proses yang disebut inter-subjektif. Solidaritas ini lalu menyatukan individu-individu yang mengalami hal serupa, membentuk aksi nyata dalam bentuk tindakan kolektif. Dari sini, mereka menyusun agenda perjuangan bersama dan menentukan musuh bersama, yaitu sistem kapitalisme.

Oleh karena itu, perlawanan seperti demonstrasi atau pemogokan buruh tidak sekadar lahir dari kontradiksi sistem kapitalis, melainkan dari subjek yang sadar dan menolak ditindas serta dieksploitasi. Dalam Marxisme dan Subjektivitas, Sartre menegaskan bahwa sejarah manusia memang sejarah perjuangan kelas. Namun, baginya, perjuangan kelas bukan hanya soal perubahan struktur ekonomi, melainkan juga perubahan material, subjek manusia, dan budaya.

Kesadaran subjek atas penindasannya menjadi syarat penting agar revolusi bisa terjadi. Tanpa kesadaran ini, revolusi justru berisiko melahirkan birokrasi represif baru. Karena itu, Sartre memandang sejarah manusia sebagai perjuangan yang tak pernah selesai.

Pemikirannya tampak nyata dalam dukungan aktif terhadap gerakan anti-kolonial di Aljazair (1954–1962) melalui pidato dan esainya Kolonialisme adalah Sistem, yang menegaskan sikap konsistennya: kolonialisme adalah kekerasan yang lahir dari sistem kapitalisme. Sikap ini bahkan nyaris merenggut nyawanya, ketika apartemennya dibakar oleh kelompok nasionalis.

Sartre juga mengecam pendudukan dan perampasan tanah oleh Israel di Palestina, meskipun awalnya sempat mendukung Israel. Dukungan Sartre dalam Perang Enam Hari 1967 muncul karena kekhawatirannya akan potensi genosida kedua terhadap Yahudi, serta ketidaktahuannya tentang situasi yang sebenarnya terjadi.

Sayangnya, pemikiran Sartre menuai banyak kritik, terutama dari filsuf posmodernisme yang menilai ia gagal melihat keragaman masyarakat, sehingga bentuk penindasan pun tidak bisa disederhanakan menjadi satu jenis. Selain itu, Sartre dianggap belum merumuskan gagasannya dalam bentuk yang lebih praktis.

Meski begitu, pemikirannya tetap menyegarkan, karena berupaya memanusiakan Marxisme dengan menekankan peran kesadaran manusia, bukan semata-mata struktur. Ia menolak menyerahkan revolusi hanya kepada segelintir kelas atau kaum intelektual yang mudah diinstitusikan oleh lembaga borjuis.

Sikap Sartre juga menegaskan bahwa filsafat berpihak pada perlawanan terhadap kapitalisme dan kolonialisme. Tantangannya kini adalah bagaimana membangun kesadaran individu menjadi kesadaran kolektif dan mewujudkan aksi perlawanan yang bersatu.

Antonio Gramsci mungkin menawarkan strategi praktis untuk mengubah kesadaran individu menjadi kesadaran kolektif. Ia menekankan peran intelektual organik yang memobilisasi massa dengan membangun hegemoni tandingan. Selama ini, kekuasaan borjuis melanggengkan dominasinya lewat hegemoni, dengan menanamkan nilai-nilai yang tampak wajar. Misalnya, keyakinan bahwa siapa pun bisa kaya asal bekerja keras.

Padahal, banyak orang sejak awal sudah kalah kesempatan, sehingga tak mampu bersaing dengan mereka yang memulai dari posisi lebih unggul. Hegemoni borjuis ini membuat kita menyalahkan diri sendiri, alih-alih menyadari sistem yang sejak awal menindas dan memiskinkan kita.

Melalui hegemoni tandingan, nilai-nilai yang berpihak pada kelas tertindas dapat disosialisasikan untuk meruntuhkan dominasi nilai-nilai borjuis. Ini hanya bisa terwujud jika kita konsisten membangun dan merawat nilai-nilai tersebut.

Caranya, antara lain, dengan mengadakan diskusi dan literasi rutin, membentuk komunitas, turun ke jalan, dan menyebarkan nilai-nilai yang membangkitkan kesadaran individu. Semua instrumen [sekolah, media sosial, seni, karang taruna, dan komunitas] dapat dimanfaatkan sebagai alat perlawanan, karena di setiap ruang dan institusi, penindasan selalu berlangsung dengan berbagai cara.

Dari proses ini, kesadaran kolektif akan melahirkan aksi nyata, seperti serikat buruh, front pemuda, front pelajar, dan partai proletar yang bersatu untuk merebut kekuasaan dari kelas borjuis. Nilai-nilai tersebut pun harus terus dijaga, agar tak disetir kepentingan sempit, dan tetap konsisten melawan sistem penindasan.

Referensi:

Djanuard. (2023a, August 22). Jean Paul Sartre dan Perjuangan Menentang Kolonialisme, Sosok Kontroversial di Mata Rakyat Arab dan Palestina – BULIR.ID – Kenyang Jiwa, Sehat Akal. Retrieved April 28, 2025, from https://bulir.id/jean-paul-sartre-dan-perjuangan-menentang-kolonialisme-sosok-kontroversial-di-mata-rakyat-arab-dan-palestina/

Djanuard. (2023b, September 18). Filsafat Kebebasan Jean Paul Sartre. Retrieved April 28, 2025, from https://bulir.id/filsafat-kebebasan-jean-paul-sartre/

Gramsci, A. (2013). Prison Notebook: Catatan-Catatan dari Penjara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sartre, J. P. (1960). The Search for Method: An Introduction to Critique of Dialectical Reason. Retrieved April 28, 2025, from https://www.marxists.org/reference/archive/sartre/works/critic/sartre3.htm

Sartre, J. P. (2024). Marxisme dan Subjektivitas. Yogyakarta: Basabasi.





Citation format :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *