Istilah Bhinneka Tunggal Ika diambil dari Kitab Sutasoma, karangan Mpu Tantular. Semboyan ini berasal dari bahasa Jawa Kuno dan ditulis pada abad ke-14 menggunakan aksara Bali. Secara harfiah, semboyan ini berarti “beraneka ragam itu satu” atau “berbeda-beda tetapi tetap satu juga”.
Semboyan tersebut mengafirmasi pluralitas sebagai kondisi alamiah bangsa Indonesia. Keberagaman suku, agama, ras, dan golongan merupakan kenyataan ontologis yang inheren dalam seluruh proses historis bangsa ini. Di hadapan fakta ontologis ini, segala bentuk upaya penyeragaman sosial, entah dengan dalih apa pun, merupakan ilusi yang sulit diterima akal sehat.
Secara ontologis, setiap entitas alam semesta memiliki eksistensi yang unik, singular, dan berbeda-beda satu sama lainnya. Diferensiasi ontologis ini tidak hanya terjadi dalam konteks suku, agama, ras, dan golongan, tetapi juga dalam konteks individu yang berbeda satu sama lain.
Sejak awal penciptaan, segenap anasir alam bereksistensi sebagai individu-individu konkret yang unik dan tak tergantikan. Singularitas setiap ciptaan ini, dalam ontologi John Duns Scotus (1265-1308), dijelaskan dengan istilah ‘haecceitas’. Istilah ini, yang muncul satu abad sebelum penulisan Kitab Sutasoma, diderivasi dari kata dasar haec, yang berarti ‘ini’. Dalam Bahasa Inggris, haecceitas diterjemahkan dengan kata ‘thisness’, dan dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan kata ‘ke-ini-an’.
Melalui haecceitas, Duns Scotus menunjukkan bahwa sejak awal mula (penciptaan), setiap individu ciptaan memiliki nilai esensial yang tunggal dan tak terulang. Seekor burung elang, misalnya, bersifat unik karena memiliki kedirian dan inferioritas dalam dirinya sendiri jauh sebelum kita mempersepsikannya sebagai burung atau menamakannya ‘elang’. Bahkan, ‘ke-ini-an’ burung elang tersebut berbeda dengan ‘ke-ini-an’ burung elang yang di sana atau yang bertengger di sampingnya.
Hal ini juga berlaku untuk entitas ciptaan yang lain, termasuk manusia. “Joan yang ini”, misalnya, berbeda dengan “Joan yang di sana”, sekalipun mereka memiliki kesamaan nama. Sebab, mereka memiliki ‘ke-ini-an’ masing-masing, yang sifatnya unik dan tak terulang. Singkatnya, setiap individu ciptaan, sekalipun berada dalam satu spesies, memiliki haecceitas masing-masing. Ini merupakan fakta ontologis yang tak dapat dielak.
Namun, menariknya, dengan pengaruh kuat dari spiritualitas kosmik Fransiskan dan alam pikir Abad Pertengahan, Duns Scotus lalu menegaskan: meskipun terdiferensiasi secara ontologis, seluruh anasir alam semesta tetap memiliki kesamaan esensial, yakni sama-sama lahir sebagai inkarnasi unik dari pribadi Sang Pencipta. Dalam cinta kasih penuh Sang Pencipta, setiap entitas ciptaan diterima menurut singularitasnya dan dihormati menurut interioritasnya.
Karena kesamaan esensial inilah, menurut Duns Scotus, setiap individu ciptaan bersaudara atas dasar kasih di dalam satu Pencipta dan menghormati satu sama lain menurut haecceitas masing-masing. Inilah Bhinneka Tunggal Ika versi Duns Scotus: “berbeda-beda dalam haecceitas, tetapi tetap satu dalam kasih Pencipta”.
Referensi
Cross, Richard. Duns Scotus. New York: Oxford University Press, 1999.
Ingham, Mary Beth & Dreyer. The Philosophical Vision of John Duns Scotus. Washington: Catholic University of America Press, 2004.
Penulis: Joan Damaiko Udu
Editor: Murteza Asyathri