PENULIS: Fadhila Hafizh Al-Mahdi
EDITOR: Wa Ode Zainab Zilullah T
Konon, kita sedang memasuki sebuah era yang dikenal sebagai era pasca-kebenaran (post-truth), di mana kebenaran dianggap berasal dari emosi dan subjektivitas keyakinan pribadi. Kebenaran tidak lagi dianggap berasal dari fakta yang benar-benar terjadi. Oleh karena itu, post-truth mengandaikan bahwa kebenaran acap kali muncul setelah keyakinan. Dengan kata lain, apa yang dianggap ‘benar’ bukanlah sesuatu yang secara faktual benar, melainkan sesuatu yang diyakini “benar” secara subjektif. Manusia pun kerap mempertanyakan ‘apa’ dan ‘bagaimana’ bentuk kebenaran yang mutlak. Hingga tulisan ini dibuat, manusia masih belum menemukan kesepakatan mengenai “apa yang benar” karena setiap individu memiliki persepsi mengenai kebenaran masing-masing.
Sejarah mencatat, perdebatan umat manusia mengenai “kebenaran” sering kali berujung pada konflik. Hal ini karena adanya sekelompok orang absolutis yang mengklaim bahwa kebenaran yang mereka yakini adalah yang paling benar. Keyakinan terhadap kebenaran yang membabi buta ini berpotensi menelan korban jiwa. Galileo Galilei, seorang ilmuwan dan filsuf, menyatakan bahwa matahari adalah pusat tata surya; pandangannya tersebut bertentangan dengan kepercayaan umum saat itu yang menganggap bahwa bumi adalah pusat tata surya. Akibat pernyataannya yang ‘kontroversial’ melawan keyakinan terhadap “kebenaran” yang dianut masyarakat pada masa itu, maka Galileo dihukum mati (Anisa, 2017).
Filsuf terkenal bernama Socrates juga menjadi korban serupa. Ia dieksekusi karena membuka ‘kajian’ sebagai upaya filsafat untuk mencari kebenaran (truth-seeking), yang dianggap menyesatkan masyarakat, terutama bagi anak-anak muda. Hal itu karena ajaran Socrates dianggap bertentangan dengan kepercayaan umum di Athena pada saat itu. Berdasarkan fenomena tersebut menunjukkan bahwa perbedaan pandangan mengenai kebenaran sering kali menjadi pemicu berbagai masalah, baik besar maupun kecil, bahkan dapat memicu perang, hanya karena kalimat sederhana seperti ‘kamu salah, aku benar’.
Lantas, bagaimana sebenarnya bentuk “benar” dari “kebenaran” itu?
Bertrand Russell, seorang filsuf dan ahli matematika terkenal asal Britania Raya, hadir dengan karyanya yang diterbitkan pada tahun 1912 berjudul “The Problems of Philosophy” —diterjemahkan menjadi “Persoalan-persoalan Filsafat.”
Kebenaran Melalui Penampakan
Russell memulai karyanya The Problems of Philosophy dengan menganalisis persepsi, menyatakan bahwa apa yang dikatakan mengenai penampakan bersifat relatif. Sebuah pintu terlihat berbeda apabila dilihat dari sudut pandang yang berbeda, tanpa harus menyatakan bahwa pintu itu sendiri mengalami perubahan. Pintu, misalnya, akan terlihat tipis jika dilihat dari samping, namun akan terlihat besar dan lebar jika dilihat dari depan. Namun, apakah pintu tersebut mengalami perubahan? Tentu tidak. Perubahan terjadi karena adanya perbedaan dalam sudut pandang. Oleh karena itu, Russell menyatakan bahwa perubahan dalam sudut pandang dapat mengubah penampakan sebuah objek, namun yang relatif adalah penampakan, bukan kenyataan. Objek dari kesadaran yang terlihat ini oleh Russell disebut sebagai data-inderawi.
Bagi Russell, yang bersifat relatif adalah penampakan, bukan kenyataan, antara bagaimana sesuatu tampak dan bagaimana ia sesungguhnya. Pernyataan Russell tersebut secara tidak langsung menentang pernyataan Rene Descartes yang menganggap kebenaran dan kenyataan bersifat relatif. Bagi Descartes, satu-satunya kebenaran mutlak adalah dirinya sendiri. Descartes tidak akan percaya apa pun yang tidak ia ketahui secara sungguh-sungguh, oleh karena itu, Descartes membangun sebuah metode keraguan sistematis.
Oleh karena itu, penting bagi Russell untuk memiliki pengalaman empiris untuk mengetahui kebenaran. Sebab, objek fisik yang terlihat lebih penting karena dapat melahirkan keyakinan naluriah dibandingkan dengan hasil data-inderawi. Meskipun Russell menyetujui fakta bahwa keyakinan naluriah tidak menjamin kebenaran, namun baginya keyakinan bersifat naluriah lebih rasional. Jika manusia tidak menerima keabsahan keyakinan naluriah yang rasional, maka tidak ada keyakinan sama sekali yang dapat dibenarkan.
Pertentangan Sains dan Agama Bagi Russell
Kehidupan Russell yang dipengaruhi oleh doktrin otoritatif radikal bahwa ajaran agama harus berlaku pada setiap orang, membuat Russell terlibat dalam konteks sosio-psikologis masyarakat Barat yang trauma akan dominasi agama. Tak jauh berbeda dengan kasus Galileo Galilei dan Socrates, pandangan ilmiah yang bertentangan dengan ajaran agama sering kali membawa para ilmuwan pada akhir kehidupan yang tragis. Pengalaman ini membentuk paradigma Russell terhadap sesuatu yang didasari pada akar ilmiah sebagai upaya perlawanan terhadap doktrin yang menghegemoni.
Dalam persoalan praktis, kita juga telah melihat keterlibatan sains dan teologi. Seperti dalam perdukunan dan pengobatan, sains berhasil mempertahankan usaha mengurangi penderitaan manusia. Penyebaran pandangan ilmiah, sebagaimana dipertentangkan dalam pandangan teologis, tak dapat disangkal bahwa selama ini telah berguna bagi kebahagiaan manusia (Russel, 2005).
Namun, pembahasan mengenai pertentangan sains dan agama oleh Bertrand Russell membawa kita pada pemahaman bahwa kita perlu mempertimbangkan pengetahuan atau perasaan yang akan dijadikan acuan dalam memilih nilai kebenaran. Ini menjadi landasan kita dalam bertindak dan berbuat. Meskipun kita dapat membedakan antara pertimbangan fakta pada wilayah sains dan pertimbangan nilai kebenaran,
Referensi:
Russell, Bertrand. (1997). The Problem of Philosophy. Oxford University Press.
Russell, Bertrand. (2021). Persoalan-persoalan Mendasar Filsafat. (Dwi Pratomo, Terjemahan). Yogyakarta: Penerbit Jalan Baru.
Septianingrum, Anisa. (2017). Revolusi Industri: Sebab dan Dampaknya. Yogyakarta: Penerbit Sociality
Titus, Harold H. (1984). Persoalan-persoalan Filsafat. Jakarta: Penerbit bulan Bintang
This article is under the © copyright of the original Author:
(Zona-Nalar)
Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.